SINCERITY OF LOVE (END) (SUDAH TERBIT)

MENGETAHUI SISI GELAP MIRZA



MENGETAHUI SISI GELAP MIRZA

0Sepeninggal Mirza dan Anjeli, ada seorang laki-laki yang keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri pemilik toko.     

"Maaf bisa saya ngobrol sebentar?"     

"Iya bisa. Ada apa ya?"     

"Orang yang tadi itu mau menyewa tempat di sini ya?"     

"Iya Mas. Emangnya kenapa ya?"     

"Tempat ini buat saya saja ya. Saya akan membayarnya lebih mahal dua kali lipat."     

"Aduh bagaimana ya, soalnya orang tadi sudah memberi uang muka. "     

"Bagaimana kalau tiga kali lipat. Kalau anda bersedia, sekarang juga saya akan membayarnya lunas. Tapi batalkan sewa tempat ini pada orang yang tadi." Si pemilik toko itu tampak tergiur dengan tawaran yang diucapkan oleh laki-laki itu. Dia yang sedang membutuhkan uang tentu saja tergiur dengan tawaran ini.     

"Baiklah saya setuju. Tapi apa yang harus saya katakan kepada laki-laki tadi?"     

"Oh itu bukan urusan saya. Saya hanya menginginkan tempat ini masalah itu adalah urusan anda dengan orang tadi."     

"Baiklah. Tempat ini saya serahkan sama anda." Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan karena dia bisa merebut tempat ini dari Mirza.  Dia tidak suka jika Mirza membuka usaha di dekat kampus. Itu akan menyulitkan dia untuk mendekati Anjeli.     

'Ternyata semuanya memang mudah jika ada uang.'     

*****     

"Mas Kenapa kok sepertinya murung?"     

"Pemilik toko yang tadi baru saja telepon. Dia bilang kalau tokonya tidak jadi disewakan pada kita. Katanya mau dipakai sendiri oleh anaknya."     

" Astagfirullah. Kenapa tidak bilang dari tadi ya? Padahal kita sudah banyak berharap dari tempat itu."     

"Mas bingung An." Merah terus menunduk setelah menerima telepon tadi. Menyewa tempat memang tidak mudah. Lokasi yang didapat tadi selain harga sewanya yang tidak terlalu mahal, juga dekat dengan kampus. Apa dia bisa mendapatkan tempat yang lebih baik dari yang tadi?     

"Mas harus tetap semangat. Kita harus tetap ikhtiar, berdoa sama Allah agar dimudahkan jalan kita. Besok kita cari tempat yang lain lagi. Aku yakin Allah tidak akan mengecewakan kita. Pasti Allah punya rencana lain yang lebih baik dari ini."     

"Iya An. Semoga saja besok kita bisa mendapatkan tempat yang lebih baik. Terima kasih ya. "     

"Sama-sama Mas. Harus semangat ya."     

"Kamu kenapa? Kenapa wajahmu pucat sekali? "Mirza melihat Anjeli memijit keningnya, wajahnya juga terlihat pucat.     

"Mas, aku bisa minta tolong dibuatkan teh hangat tidak?"     

"Sebentar ya aku buatkan." Mirza melangkah ke dapur, dia membuatkan teh hangat untuk Anjeli. Untung saja masih ada sisa teh yang Anjeli bawa dari rumah lamanya.     

"Ini tehnya sudah jadi An. Ayo minumlah." Mirza membantu Anjeli untuk minum tehnya. Anjeli tampak lemah, karena dari tadi sore dia sama sekali tidak makan apa-apa.     

"Astagfirullah, Mas ingat.. kamu belum makan ya An? Maafkan aku ya, Aku tadi sampai lupa mengajakmu makan. Aku pergi dulu ya beli makanan." Mirza berdiri dengan tergesa.     

"Iya Mas hati-hati Ya." Mirza keluar dari rumah berjalan kaki mencari warung makan yang dekat dengan rumah mereka. Hanya ada warung nasi goreng yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Mirza membeli dua porsi nasi goreng untuknya dan Anjeli. Dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan istrinya.     

"Ayo An dimakan dulu nasi gorengnya." Ucap Mirza saat dia sudah sampai di rumah. Dan menyiapkan nasi goreng untuknya dan Anjeli.     

"Terima kasih ya Mas. Emmm.. Mas, bagaimana kalau mulai besok kita tidak usah jajan diluar lagi ya. Biar aku saja yang memasak."     

"Tidak boleh An. Kamu tidak boleh masak. Aku takut Kamu kecapean."     

"Tidak apa-apa Mas. Boros Mas kalau kita terus membeli makanan di luar." Mirza kelihatan memikirkan ucapan Anjeli. Memang benar jika dia terus membeli makanan di luar, bisa-bisa tabungannya habis hanya untuk makan. Sedangkan dia saat ini belum ada pemasukan sama sekali.     

"Baiklah kalau begitu Mas saja yang memasak ya. Tapi kamu ajari Mas ya."     

"Ya sudah kalau begitu. Memangnya mas tidak bisa masak apa-apa? "     

"Bisa.. Cuma masak mie instan atau goreng telur saja." Anjeli terkekeh mendengar penuturan Mirza. Anjeli tahu Mirza sangat sibuk. Tentu saja tidak akan punya waktu untuk menyentuh dapur.     

"Mas ini bisa aja. Kalau masak mie instan sama goreng telur sih semua orang juga bisa."     

"Hehehe.,  Eh An kapan ibu akan kontrol lagi?"     

"Kalau tidak salah biasanya minggu kedua, Tapi nanti aku tanyakan lagi ya Mas."     

"Iya. Nanti biar aku siapkan uangnya."     

"Pakai uangku saja ya Mas. Aku masih punya tabungan kok. Uang yang Mas kasih sejak kita menikah, Masih ada sisa di tabunganku."     

"Tidak boleh An. Simpanlah untuk dirimu. Aku adalah kepala keluarga, ini sudah tanggung jawab."     

"Terima kasih ya Mas, kamu sudah mau peduli pada ibu dan keluargaku."     

"Ibumu adalah ibuku juga An. Jadi aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik pada ibu An." Anjeli merasa bahagia karena memiliki suami yang begitu tulus mencintai dia dan peduli pada keluarganya.     

"Aku akan selalu berdoa untuk Mas, agar Mas bisa bangkit lagi. Dan usaha Mas bisa berjalan lagi."     

"Aamiin. Terima kasih An kamu sudah mau mendampingiku di saat susah seperti ini. "     

"Sama-sama mas. Aku akan selalu mendampingi Mas dalam suka maupun duka. Semoga ujian ini bisa menguatkan rumah tangga kita."     

******     

Pagi itu Anjeli berangkat ke kampus. Mirza mengantarkannya sampai di depan pintu gerbang. Kadang masih ada rasa kekhawatiran saat dia pergi ke kampus karena dia takut akan bertemu dengan Romi lagi. Tetapi memang beberapa minggu ini, Anjeli tidak pernah melihat Romi di kampus. Itu membuat Anjeli merasa lebih tenang sekarang.     

"Hati-hati ya Mas. Semoga Mas bisa cepat mendapatkan tempat yang baru. "     

"Aamiin. Doain Mas ya. Selamat belajar ya Anjeli. Kalau sudah pulang kabarin Mas ya."     

"Iya Mas." Anjeli berjalan menuju ke gedung tempat perkuliahannya. Saat dia sampai di depan kelas yang ia tuju, pandangannya mengarah pada lelaki yang menatapnya dengan tajam. Anjeli tampak ketakutan melihat laki-laki itu yang tiba-tiba saja muncul lagi di hadapannya. Kejadian 1 bulan yang lalu berkelebat lagi di pikirannya. Dia takut Romi akan berbuat nekat lagi seperti dulu.     

"Aku mau bicara sama kamu," ucap laki-laki itu pada Anjeli. Anjeli tidak menjawab dan terus berjalan menuju ke kelasnya. Seketika itu pula pergelangan tangan Anjeli ditarik oleh laki-laki itu. Tenaganya yang begitu besar membuat Anjeli yang terus meronta akhirnya kualahan.     

"Mau kamu apa sih Rom? Tolong jangan ganggu aku dan keluargaku lagi."     

"Mirza sekarang sudah bangkrut. Dan sekarang perusahaannya sudah jadi milikku. Tinggalkan Mirza. Jadilah milikku. Bukankah kamu menikah dengan Mirza karena harta?"     

"Jangan mimpi kamu Romi. Aku menikah dengan mas Mirza bukan karena harta."     

"Lalu karena apa? Karena akhlaknya? Mirza bahkan jauh dari kata sholeh. Kamu belum tahu siapa Mirza yang sebenarnya."     

"Aku tahu suamiku seperti apa dan aku akan tetap mendampingi dia walaupun dalam keadaan susah sekalipun."     

"Dia itu adalah seorang pemakai. Di itu tidak pantas untukmu Anjeli."     

"Kamu bohong. Aku tidak percaya sama kamu. Mas Mirza memang pernah mabuk dan aku tidak percaya dia seorang pemakai. Dan sekarang dia sudah berubah dia sekarang jauh lebih baik."     

"Kalau kamu tidak percaya dengan ucapanku, tanyakan saja kepada Mirza."     

Anjeli menangis dan merasakan pusing, dia terkejut dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Seketika itu pula tubuhnya ambruk tapi Romi segera menangkapnya.     

"Anjeli bangun An.." Romi tampak panik setelah melihat Anjeli pingsan. Dia mengangkat dan membopong Anjeli dan membawanya ke klinik terdekat.     

******     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.