CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

PENASARAN



PENASARAN

0Mahira terkesima mendengar merdunya suara Aydin. Hingga rakaat ketiga dia baru bisa benar-benar khusyu' dengan shalatnya.     

"Assalamualaikum warohmatullah..     

Setelah salam, Aydin melanjutkan dengan berdzikir dan berdoa. Begitu pula dengan Mahira. Gadis bermata sipit itu melepaskan mukena dan melipatnya. Aydin pun melakukan hal yang sama dengan sarung yang ia pinjam dari mushola.     

"Yuk kita ambil motormu. Mungkin sudah selesai."     

"Iya, Bang.."     

"Kenapa diem Hira?" tanya Aydin saat mereka berjalan bersama menuju ke tempat tambal ban.     

"Ah enggak koq bang. Aku cuma heran aja. Abang ini sebenarnya preman atau bukan? Soalnya bacaannya fasih banget. Aku ga percaya kalau abang ini preman."     

"Memangnya aku pernah memperkenalkan diriku sebagai preman?" Mahira berfikir sesaat. Dia mengingat lagi obrolannya dengan Aydin dari awal. Memang tidak pernah satu kalimatpun dari mulut Aydin yang memperkenalkan dia sebagai preman. Tapi Mahira sendiri yang menganggap Aydin adalah preman. Salahkah dia?     

"Jadi Bang Wira ini bukan preman?"     

"Terserah kamu saja anggep aku apa, Hira." Aydin berjalan lebih dulu dengan tersenyum simpul. Dia hanya ingin membuat Mahira penasaran dengan akudirinya.     

"Terimakasih ya Bang. Aku antar ngambil sepeda ya."     

"Tidak usah Mahira, aku jalan kaki saja."     

"Lumayan jauh lho bang."     

"Gapapa Hira. Sekalian olahraga. Kamu tentu tidak mau berboncengan dengan yang bukan mahrom kan?" Mahira bertambah penasaran. Siapa lelaki yang ada di depannya ini sebenarnya. Kenapa tahu aturan mahrom juga?     

"Oh ya sudah bang. Maaf ya.. aku jadi ngrepotin kamu bang." Mahira baru sadar bahwa dirinya kini ber aku, kamu dengan Aydin. Mungkin setelah mendengar Aydin tadi membaca Al-Qur'an dengan fasih, dia jadi segan ber lo gue dengan Aydin.     

"Tidak usah dipikirin, Hira. Aku tidak merasa direpotin koq."     

Mahira segera menyalakan mesin motornya. Sudah sangat terlambat baginya untuk pulang ke rumah. Mahira selalu malas jika pulang ke rumah. Apalagi jika bertemu kakak sulungnya. Pulang jam segini bisa diceramahi habis-habisan dengan kakaknya.     

Tiba di depan gerbang rumahnya, ada lelaki empatpuluhan, berkumis tebal membukakan pintu untuk Mahira.     

"Assalamualaikum, Pak Sapto."     

"Waalaikumsalam, Mbak Mahira. Jam segini koq baru pulang?" ucap Sapto, penjaga rumah Mahira. Yang sudah bekerja di rumah Wahyu sejak Mahira belum lahir ke dunia.     

"Iya Pak, tadi ban motor saya bocor. Harus cari tukang tambal ban dulu Pak." Mahira menuntun motornya masuk ke dalam halaman. Lalu Sapto membuka garasi untuk Mahira.     

"Terimakasih Pak."     

"Sama-sama Mbak."     

Mahira merasa capek sekali karena habis jalan kaki bersama Aydin. Mengingat nama itu lagi membuat Mahira semakin penasaran tentang sosok laki-laki tampan itu.     

Laki-laki tampan? Bahkan Mahira kini pun mengakui kalau Aydin laki-laki yang tampan. Dan yang membuat terpesona adalah suara merdunya Aydin dan cara Aydin yang memperlakukan dia dengan lembut dan sopan.     

'Tidak-tidak...Aku tidak mau mengingatnya lagi.' Mahira berkali-kali menggelengkan kepalanya ingin sekali melupakan bayang wajah Aydin.     

"Dari mana saja kamu, Mahira? sudah berani pulang malam ya?"     

"Maaf Mas, tadi ban motorku bocor."     

"Alesan kamu."     

"Terserah apa katamu Mas. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Aku ke kamar dulu."     

"Dasar anak tak tau diuntung. Anak pelakor." ucapan Furqon yang selalu membuat telinganya panas, kali ini diabaikan oleh Mahira. Kalau dia tidak sedang capek, mungkin dia akan meladeni Furqon. Selalu saja ucapan itu yang dia dengar.     

"Abi, lihat anak bungsunya Abi. Kelakuannya semakin hari semakin urakan saja. Ga punya aturan." Furqon menghampiri Wahyu yang sedang membaca hadist di ruang kerjanya.     

"Kenapa lagi dengan adikmu? kamu jangan terlalu keras sama dia, Fur. Dia jadi membenci Abi, salah satunya karena sikapmu dan kedua adikmu yang selalu memusuhi dia." Wahyu menutup hadist yang ia baca lalu melepaskan kacamatanya. Menanggapi serius ucapan Furqon.     

"Aku membencinya karena dia anak pelakor, Bi."     

"Cukup Nak, kamu jangan mengatai Umi Hanum pelakor lagi. Dia itu ibumu juga."     

"Aku tidak mau menganggapnya ibu sampai kapanpun, Bi. Dia yang merusak rumah tangga Abi dan Umi Aida."     

"Kamu tidak melihat dirimu sendiri? kamu saja sekarang punya istri dua. Dan alasanmu punya istri lagi itu malah lebih parah dari Abi. Kamu introspeksi dirilah Fur."     

"Aku menikah lagi karena Alina tidak bisa memberiku keturunan. Dan dia setuju."     

"Iya tapi setelah itu, kamu menikah dengan wanita yang lebih cantik dan lebih subur darinya. Itu sama saja kamu menyakiti perasaan istri pertamamu."     

"Tapi Alina tidak pernah mengeluh, Bi."     

"Terserah kamulah Furqon. Abi menikah dengan Umi Hanum itu karena ingin menolongnya. Bukan semata-mata karena syahwat. Jadi kalau kamu membenci Umi Hanum dan Mahira sampai sekarang, itu salah alamat. Karena kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."     

"Maaf Abi."     

"Mahira sekarang mengalami trauma dengan laki-laki alim karena dia melihat lingkungannya yang dikelilingi laki-laki yang menurut dia sering menyakiti wanita. Yaitu Abi dan kamu. Abi akan merasa berdosa jika pada akhirnya Mahira memilih lelaki yang tidak tahu ilmu agama untuk menjadi pendampingnya. Yang bahkan mungkin malah bisa menjerumuskan dia ke hal yang buruk. Abi takut dia terjebak pada pola pemikiran yang keliru."     

"Mahira terlalu berlebihan, Bi."     

"Tidak, Fur.. Dia hanya melihat realita di sekitarnya untuk dijadikan acuan. Abi benar-benar khawatir dengannya."     

"Maafkan Furqon, Bi."     

"Minta maaflah pada Umi Hanum dan Mahira. Berilah kasih sayang pada Mahira seperti adikmu sendiri. Jangan musuhi mereka, Nak. Mereka itu juga bagian dari keluarga kita."     

"Baiklah Abi. Maaf jika selama ini perbuatanku, Latifah dan Azizah telah membuat Mahira seperti ini." Furqon mulai menyadari kesalahannya.     

"Abi menjodohkan Mahira dengan Aydin. Anaknya Ustadz Fajar. Karena menurut Abi, Aydin lelaki yang sholih dan baik. Abi juga yakin dia tidak akan berpoligami karena keluarganya yang harmonis. Dia juga tahu tentang trauma yang dialami Mahira. Tapi Aydin masih keukeh untuk mendapatkan cinta Mahira. Entah bagaimana nanti Aydin bisa meyakinkan Mahira."     

******     

Di dalam kamarnya Mahira menangis seorang diri. Selalu saja ucapan anak pelakor yang keluar dari mulut Kakak-kakaknya setiap kali mereka bertengkar.     

"Apa salahku, Ya Allah. Hamba tidak pernah meminta dilahirkan sebagai anak dari istri kedua. Kenapa mereka selalu saja menghakimi hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tolong jagalah Umi hamba. Bahagiakanlah dia." Ditengah kepedihannya, Mahira selalu ingat pada sang Umi. Dia tahu yang terluka tidak hanya dia. Tapi juga Uminya. Ketiga kakak tirinya itu selalu memperlakukan dia dengan buruk.     

"Mas, kamu sekarang juga mengalami hal yang dilakukan oleh Abi. Semoga kelak anak-anakmu tidak mengalami takdir sepertiku," ucap Mahira lirih. Mahira tetap mendoakan kebaikan untuk anak-anak kakaknya. Dia jadi ingat pada kakak iparnya yang bernama Alina. Yang harus dipoligami oleh Furqon karena tidak juga memiliki keturunan setengah tiga tahun mereka menikah. Mahira tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Alina saat dipoligami dengan wanita yang lebih cantik dan mampu memberikan keturunan.     

*******     

Maaf ya kalau cerita ini tidak hanya fokus ke Mahira saja. Tapi juga keluarganya. Karena inti masalah yang dihadapi Mahira adalah berasal dari keluarganya. Selama dia belum berdamai dengan keadaan, mungkin dia tidak akan bisa percaya dengan laki-laki.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.