CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

BAITI JANNATI



BAITI JANNATI

0Baiti jannati, rumahku surgaku. Bagi sebagian besar orang, memiliki keluarga yang harmonis adalah harapan. Memiliki pasangan yang sholih, sholihah, anak-anak yang sholih sholihah adalah bukti bahwa rumah adalah ibarat surga bagi penghuninya. Tapi ketika sebuah rumah menjadi tidak nyaman, apakah bisa disebut baiti jannati?     

Mahira sering merasa tidak nyaman dengan rumah yang ditinggalinya. Dia sering berfikir bagaimana bisa, dua istri tinggal dalam satu rumah. Dan saling akur. Menurutnya Abinya sangat keterlaluan. Meski kedua istrinya tidak pernah mengeluh, Mahira sebagai anak merasa tak terima dengan keadaan ini.     

"Umi kenapa menangis?" Mahira yang tidak sengaja melihat uminya menangis di kamar sendirian. Merasa prihatin dengan uminya yang seringkali menangis saat sendirian.     

"Eh, Mahira. Koq tidak mengetuk pintu dulu, Nak?" ucap Hanum sambil mengusap airmatanya.     

"Maaf Umi, tadi Mahira mengetuk pintu tapi tidak dibuka-buka. Jadi Mahira membukanya. Maafkan Mahira, Umi."     

"Ya sudah tidak apa-apa, Nak. Memang ada apa kamu ke sini? Bagaimana skripsimu? apa bulan depan jadi wisuda?"     

"Nah itu yang mau Mahira sampaikan. Alhamdulillah sudah acc Umi, insyaAllah bulan depan Mahira bisa wisuda."     

"Alhamdulillah. Selamat ya, Nak. Semoga Allah memudahkan jalanmu setelah ini."     

"Aamiin.. Semua berkat doa Umi." Hanum memeluk putrinya, lalu menciumnya. Meski Mahira sudah dewasa, Hanum tak pernah berhenti menunjukkan kasih sayangnya. Termasuk hal sederhana seperti ciuman di kening putrinya lalu mendoakannya.     

"Jadi kamu sudah siap untuk menikah, Nak?"     

"Umi, Mahira tidak mau dijodohkan sama Abi. Tolong bilang sama Abi, Hira tidak mau dipilihkan jodoh sama beliau."     

"Kenapa kamu takut sekali dengan poligami, Nak? sampai enggan untuk menikah."     

"Mahira tidak mau menderita seperti Umi."     

"Umi tidak pernah menderita, Nak."     

"Umi bohong.. Hira sering melihat Umi menangis, lalu apa coba yang buat Umi memangis kalau bukan karena kehidupan poligami yang dijalankan Abi?"     

"Kamu salah, Nak. Umi menangis karena merasa tidak bisa mengurus Abi, sebaik Umi Aida. Beliau begitu baik hatinya sampai tidak pernah menyakiti hati Umimu ini."     

"Hira tahu Umi Aida baik. Dan Mahira juga tahu cintanya Abi ke Umi Aida lebih besar dari pada Umi Hanum."     

"Sudah seharusnya seperti itu, Hira. Karena sejatinya kehadiran Umi ini memang bukan kemauan Abi Wahyu."     

"Ada apa sih dengan kalian ini. Kenapa ada orang yang rela mendzolimi diri sendiri seperti kalian."     

"Jangan bilang begitu, Hira. Yang penting sekarang Umi bahagia. Umi Aida tidak pernah mempermasalahkan."     

"Iya Mahira tahu Umi, Tapi bagaimana dengan anak-anaknya? Apalagi Mas Furqon yang sangat membenci kita."     

"Sudahlah, Nak. Mereka Kakak-kakakmu juga. Mengalahlah dengan mereka."     

"Tapi mereka tidak pernah menganggap kita keluarga mereka, Umi." Sejenak Mahira ingat bagaimana masa kecilnya dulu. Yang sering ingin bermain dengan ketiga kakak tirinya itu, namun mereka tidak pernah memperdulikan Mahira. Mahira kesepian karena sejak kecil diperlakukan berbeda. Bahkan dia sering melihat ketiga kakaknya berlaku tidak sopan pada Uminya.     

"Umi mengerti perasaan mereka, Nak. Siapa yang rela jika kehidupan harmonis mereka waktu itu harus terusik dengan kehadiran Umi di tengah keluarga mereka. Umi paham akan hal itu."     

"Tapi kenapa waktu itu Umi tidak menolak, waktu Abi meminang Umi?"     

"Umi pernah bercerita kan? alasan apa yang mendasari Abi menikah lagi dengan Umi?"     

"Mahira tahu Umi. Tapi apa tidak ada cara lain untuk menghindar?"     

"Umi hanya berusaha ikhlas menerima takdir. Jika ada seorang lelaki sholih datang meminang, kenapa Umi harus menolak? Waktu itu Umi Aida juga tidak keberatan. Bahkan sangat senang."     

"Mahira tak habis fikir dengan wanita-wanita seperti Umi Aida dan Umi Hanum. Cuma gara-gara Abi laki-laki sholih, Umi mau saja dipoligami?"     

"Maafkan Umi ya, Nak. Jika kebencianmu pada seorang lelaki alim, karena kesalahan Umi yang mau menjadi istri kedua." Hanum menunduk. Membuat Mahira menjadi merasa bersalah.     

"Bukan begitu maksud Mahira, Umi. Maafkan Hira, Umi."     

"Mahira, tidak semua laki-laki sholih itu bisa berpoligami. Banyak para ustadz dan ulama hanya memiliki satu istri. Kamu tidak boleh menyamaratakan seperti itu, Nak. Dan belum tentu lelaki yang berandalan juga tidak poligami. Justru mereka yang tidak tahu agama, bisa saja malah berselingkuh dengan banyak wanita di belakang istri sahnya. Kalau lelaki sholih, dia lebih baik menikah lagi dari pada berselingkuh."     

"Mahira tahu, Umi. Tapi sampai kapanpun Mahira tidak akan mau dipoligami."     

"Kamu bisa mengajukan keberatan jika suamimu nanti akan berpoligami. Karena putri Rasulullah, Siti Fatimah Azzahra salah satu bidadari surga, juga menolak untuk dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib waktu akan menikahi putri dari Abu Sufyan. Dan Rasulullah pun akhirnya melarang Ali karena tidak ada kesediaan dari Fatimah. Rasulullah tidak mau anaknya disakiti hatinya. Karena menyakiti hati Fatimah, sama saja dengan menyakiti hatinya. Jadi seorang wanita itu boleh menolak, sayang. Bukan berarti dia durhaka pada suaminya jika menolak koq."     

Mahira memikirkan perkataan Uminya. Lalu jika suatu saat dia menikah, dan suaminya ingin menikah lagi, apakah Abinya akan membela dirinya dan tidak akan mengizinkan menantunya menikah lagi? Seperti yang dilakukan Rasulullah?     

"Kalau suatu hari nanti Mahira menikah, dan beberapa tahun kemudian suami Mahira akan menikah lagi, apa Abi akan berada di garda terdepan untuk membelaku Umi? Aku rasa tidak, Mi. Lihat saja Mbak Latifah. Dia juga dipoligami oleh suaminya. Mas Furqon apalagi. Punya dua orang istri malah. Apa keluarga kita memang harus seperti ini Umi? Jadi salahkah jika Mahira menolak untuk dijodohkan karena ada kekhawatiran tentang hal itu?" Latifah adalah anak kedua dari Wahyu dan Aida.     

"Umi tidak bisa menyalahkan mereka Hira. Karena Mas Furqon dan Mbak Latifah punya alasan sendiri-sendiri."     

"Lalu aku yang harus kena imbasnya di katain sama tetangga dan teman-teman kalau keluargaku itu terkenal karena poligami. Mahira malu, Umi."     

"Iya Umi tahu, karena umipun merasakan bagaimana rasanya dikatakan sebagai pelakor. Tapi kamu harus yakin satu hal ya, Nak. Jika kamu ingin suamimu nanti tidak berpoligami, berdoa saja terus sama Allah. Karena hanya Allah yang berhak membolak balikkan hati seseorang. Tapi juga ingat, jangan terlalu mencintai suamimu. Bisa jadi sikap cemburumu yang besar pada suamimu, malah mengurangi cintamu pada Allah."     

"Naudzubillah min dzalik. Jangan sampai Umi. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Mahira sendiri dulu ya Umi. Tolong bilang ke Abi, Mahira belum mau menikah. Mahira ingin kerja, punya penghasilan dan membahagiakan Umi dulu. Lalu akan memikirkan menikah dan Mahira akan tetap dengan prinsip tidak mau dipoligami. Mahira akan membuat surat perjanjian pranikah, Umi."     

Hanum hanya bisa menghela nafas panjang. Putrinya ini memang sangat keras kepala. Hanum juga menyadari sikapnya yang demikian keras, juga mungkin disebabkan trauma dengan kehidupan rumahtangga orangtua dan kakak-kakak tirinya. Kali ini Hanum tidak akan memaksa. Dia akan mendukung apapun yang Mahira lalukan, selagi tidak bertentangan dengan agama. Mungkin dia akan membujuk Wahyu untuk menghentikan rencana perjodohan Mahira dan Aydin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.