CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

MASIH DALAM KERAGUAN



MASIH DALAM KERAGUAN

0Malam harinya, Mahira dan Aydin menghabiskan waktu malam mereka di dalam kamar. Mereka bicara tentang banyak hal. Aydin sengaja shalat magrib dan Isya di rumah bersama istrinya. Hari ini adalah pertama kali ia sah menjadi imam untuk Mahira. Dia ingin mengimami Mahira dalam salat.     

Setelah salat isya, mereka bercerita, bertanya jawab tentang kebiasaan mereka. Ibaratnya mereka sekarang sedang menyelami kepribadian masing-masing. Beginilah enaknya pacaran setelah menikah. Penuh kejutan. Aydin begitu dewasa, pembawaannya tenang dan kalem. Sedangkan Mahira ternyata mempunyai selera humor yang cukup tinggi. Dari tadi Aydin menahan tawanya karena Mahira sering mengeluarkan candaan.     

"Aku ga nyangka kamu humoris juga ternyata." ucap Aydin sambil menghapus airmata di sudut matanya karena tertawa terpingkal akibat candaan Mahira.     

"Aku emang suka becanda bang, sama Anisa apalagi. Tiap kita ketemu selalu becanda. Sampai sakit perut. Hehehe."     

"Tapi jangan berlebihan. Hal-hal yanh dilarang saat bercanda adalah yanf pertama tidak boleh berlebihan, yang kedua bukan cacian atau cemoohan, yang ketiga tidak menjadikan candaan sebagai kebiasaan, yang keempat isi canda bukan dusta, tidak menjadikan aspek agama sebagai bahan candaan."     

"Maaf ya Bang." Mahira menunduk, dia kadang bercanda dengan Anisa saling melemparkan cemoohan satu sama lain. Tapi hanya mereka berdua. Tidak pernah dilakukan sama orang lain.     

"Tidak apa-apa. Lagipula yang kamu jadikan bahan candaan tadi bukan termasuk dalam lima hal itu, kan? Abang bukannya marah sama kamu lho, Dek. Jangan tersinggung ya." Aydin dan Mahira tadi telah sepakat panggilan di antara keduanya adalah Abang dan adek.     

"Enggak Bang. Aku enggak tersinggung. Tapi lebih introspeksi diri. Jadi ke depannya, aku harus lebih hati-hati dalam berucap terutama saat bercanda."     

"Alhamdulillah kalo kamu mau mengerti. Mulai sekarang aku adalah imammu. Tanggung jawab seorang imam sangat berat. Apalagi imam dalam keluarga. Seorang suami harus bisa membimbing istrinya. Kalau dia gagal, dia juga akan bertanggung jawab pada Allah nantinya."     

"Iya bang. Tapi kalau aku salah, ingatkan aku dengan cara yang baik ya, Bang. Jangan dimarahi dan dibentak ya Bang."     

"InsyaAllah.. semoga Allah menjaga lisanku agar tidak berkata kasar pada istri tercintaku. Sini sayang." Aydin menyuruh Mahira mendekat dan kemudian merengkuhnya.     

"Abang mencintaiku?" Tiba-tiba saja Mahira ingin bertanya lagi. Wanita memang seperti itu bukan? tidak percayaan pada suami. Cinta harus diucapkan berulang kali baru dia akan percaya.     

"Sedikit sih."     

"Koq sedikit?" Mahira melepaskan pelukan Aydin.     

"Sekarang sedikit, nanti cintanya jadi banyak kalau..." Aydin menggantung kalimatnya.     

"Kalau apa?" Mahira memanyunkan bibirnya. "Abang tega." Ia pun memalingkan wajahnya. Aydin tersenyum geli melihat tingkah istrinya yang sedang merajuk seperti itu.     

"Cup." Aydin mencium lagi tepat dibibir Mahira tanpa permisi. Entah kenapa Mahira mulai menjadi candu untuknya. "Yuk shalat sunnah dulu." Ajak Aydin saat melepaskan ciumannya.     

"Mau ngapain?" Mahira menangkup tubuhnya dengan kedua tangan yang menyilang di depan dadanya. Matanya melotot ke arah Aydin.     

"Aku mau ngasih kamu nafkah batin. Mau enggak?" Mahira menggeser tubuhnya menjauh dari Aydin.     

"Jangan macam-macam ya, Bang."     

"Hahaha... Kamu lucu, Dek. Masa Abang ga boleh macam-macam sama istri sendiri. Mahira menarik selimut, lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidak mau mendengar apa-apa dari mulut suaminya.     

"Enggak.. aku belum siap.." teriak Mahira dari dalam selimutnya. Aydin hanya tertawa. Dia tahu istrinya masih polos. Padahal dia sudah kebelet ingin melakukannya. Tapi kalau memang istrinya belum siap, dia juga tidak akan memaksa.     

"Inget lho dek, kalau suami pengen tapi istri ga nurutin tanpa ada uzur syar'i, istri akan berdosa lho, Dek." Niat Aydin hanya ingin mengingatkan Mahira. Tapi tidak bermaksud memaksa. Dia hanya ingin istrinya tahu hukum islam tentang istri yang menolak ajakan suami berhubungan. Tapi bukan berarti menjadi alasan bagi seorang lelaki memaksa istrinya. Berhubungan suami istri kan harus sama-sama rileks.     

"Abang.." Mahira membuka selimutnya saat Aydin hendak membuka pintu kamar.     

"Jangan marah ya, Bang." Mahira turun dari ranjang lalu berlari mengejar Aydin. "Abang marah ya?"tanya Mahira penuh penyesalan.     

"Hehehe.. Enggak. Abang cuma mau ngingetin kamu aja. Tapi kalau kamu belum siap ya sudah. Kita bisa melakukannya lain kali. Atau saat kita bulan madu nanti? Abang menghargai kamu, Dek." Aydin mencubit ujung hidung Mahira.     

"Tapi abang koq mau pergi? mau kemana?"     

"Oh, mau bikin kopi. Kamu mau? Nanti aku bikinin sekalian."     

"Koq abang ga nyuruh aku buatin? aku kan sudah jadi istri abang."     

"Sekarang aja bilang kalo kamu istri abang. Hehehe.. Udah gapapa. Aku udah biasa bikin kopi sendiri koq. Jadi sesuai dengan yang kuinginkan."     

"Kalau begitu ajarin aku. Biar aku bisa bikinin kopi buat abang."     

"Ya sudah ayo ikut ke dapur. Nanti aku ajarin. Lumayan mulai besok ada yang mau bikinin kopi." Aydin tertawa, lalu menggandeng Mahira.     

"Kopi dan gulanya dimana dek?" tanya Aydin pada Mahira.     

"Di situ. Sebentar tak ambilin." Mahira mengambil toples kopi dan gula dari almari dapurnya.     

"Terimakasih." Aku sukanya kopinya satu sendok saja. Gunanya satu setengah sendok. Airnya harus air mendidih. Aku ga suka air panas dari tesmos ya. aku lebih suka manual begini dari pada pake coffee maker."     

"Oh begitu ya?" Mahira mengintip proses pembuatan kopi sesuai selera Aydin. Satu pelajaran lagi tentang suaminya.     

"Kamu mau?"     

"Aku sukanya cappucino, Bang. Kalo pure kopi hitam, aku kurang suka."     

"Mana cappucinonya? biar abang buatin sekalian."     

"Aku bikin sendiri saja, Bang."     

"Ya sudah kalau begitu." Aydin menggeser tubuhnya sambil membawa secangkir kopi. Tak lama Mahira membuatnya. Mereka berjalan sambil membawa secangkir kopi masing-masing.     

"Pada kemana sih, Dek? koq sepi banget?" tanya Aydin melihat rumah sebesar ini, tapi hanya ada mereka berdua.     

"Yang tinggal disini hanya Abi dan dua Umiku lalu aku. Dan ada tiga asisten rumah tangga. Tapi mereka sudah tidur kalo jam segini." ucap Mahira.     

Mahira mengajak Aydin duduk di tepi kolam renang. Mereka asyik berbincang sambil minum kopi. Menikmati semilir angin. Jika dulu Mahira sering kesepian karena tidak ada teman yang bisa diajak ngobrol ketika di rumah, sekarang dia punya teman ngobrol. Yaitu suaminya. Dia merasa Aydin adalah teman ngobrol yang menyenangkan.     

"Apa yang kamu inginkan dariku, Dek?"     

"Kesetiaan, kejujuran, kasih sayang Bang. Aku tidak mau abang membagi cinta dengan perempuan lain. Walau sampai sekarang aku masih ragu akan hal itu."     

"Apa kamu tidak percaya padaku?"     

"Percaya, Bang. Tapi tidak mau percaya sepenuhnya. Aku mencintai abang. Tapi aku tidak mau mencintai sepenuhnya. Aku takut jika kamu kelak mengecewakanku, aku akan sangat terluka.     

"Berarti kamu belum percaya sama aku."     

"Memang belum, Bang. Dan abang tentu tahu kan apa alasannya."     

"Iya aku tahu. Aku hanya bisa berusaha, Dek. Jika kamu punya prinsip, akupun punya prinsip. Aku hanya ingin mempunyai satu istri hingga akhir hayat. Dan kelak istriku menjadi bidadari surgaku." Ucapan Aydin membuat Mahira menatap laki-laki itu dengan kagum. Tapi tetap masih ada yang mengganjal di hatinya.     

***     

Minimal 50 komentar, besok saya up lagi. :smiling_face_with_heart-eyes::smiling_face_with_heart-eyes::face_blowing_a_kiss::face_blowing_a_kiss:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.