CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

BINCANG AKRAB



BINCANG AKRAB

0Mahira pipinya bersemu merah setelah satu ciuman mendarat di bibir mungilnya. Bibir yang selalu mengeluarkan ocehan yang membuat Aydin tertawa. Ya selama ini Aydin selalu menyukai sifat Mahira yang cerewet dan apa adanya.     

"Abang kenapa ga ngomong dari dulu sih?" Mahira cemberut karena masih tak terima dengan sikap Aydin.     

"Ngomong apa sayang?" Wira memangku istrinya. Mencubit lembut ujung hidup Mahira yang mancung.     

"Kenapa ga bilang kalau Aydin dan Wira adalah orang yang sama."     

"Kamu ga pernah nanya." Aydin terkekeh melihat Mahira semakin cemberut.     

"Ih... nyebelin.."     

"Nyebelin tapi kamu suka. Ya kan?"     

Mereka berdua terlibat obrolan ringan di dalam kamar pengantin. Mereka tidak tahu kalau keluarga mereka justru sedang harap-harap cemas menunggu di luar. Sedangkan kenyataannya mereka malah bermesraan di dalam kamar.     

"Yuk kita keluar, Abi dan Umi pasti nungguin kita. Tapi sebelumnya, kamu harus tanda tangani dulu buku nikah kita. Mulai sekarang Aydin Wira akan menjadi imam dari Ghaziya Mahira."     

"Iya bang. Sini biar aku tanda tangani dulu." Setelah menandatangani buku nikah, Mahira merapikan kembali make up dan jilbabnya yang berantakan akibat ulah suaminya. Dengan bergandengan, mereka keluar dari kamar menemui orangtua mereka. Tamu-tamu sebagian besar sudah pulang setelah kejadian mengejutkan tadi. Yang tinggal hanya keluarga Mahira dan Aydin.     

"Mahira, kamu sudah baikan, Nak?" Hanum menghampiri putrinya. Saat melihat Mahira keluar bersama Aydin. Tak terkecuali anggota keluarga yang lain. Termasuk Wahyu dan Edo.     

"Mahira, Aydin, duduklah, Nak. Kita ngobrol bareng di sini." Titah Wahyu yang kini duduk bersebelahan dengan Fajar. Mahira dan Aydin juga duduk berhadapan dengan mereka. Sedangkan Edo berdiri di ambang pintu ditemani Anisa. Tatapan Edo masih mengarah pada sosok Mahira dan Aydin yang terlihat lebih sumringah setelah mereka keluar dari kamar. Berbeda dengan dirinya.     

"Sabar ya." ucap Anisa lirih. Tangannya memegang bahu Edo. Anisa tahu apa yang dirasakan Edo sekarang.     

"Idris, ke sini Nak. Duduk sini sama kami." perintah Wahyu pada Edo. Edo pun menghampiri merek dan meninggalkan Anisa.     

"Semua sudah kumpul ya, sekarang Abi akan menjelaskan semuanya. Terutama pada Putri Abi yaitu Mahira." Di ruangan itu hadir pula anak-anak Wahyu dari Aida. Agar mereka juga bisa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Berharap setelah ini tidak akan ada lagi kesalahpahaman di antara mereka.     

"Sebenarnya ada apa Abi?" tanya Furqon yang terlihat heran dengan sikap orangtuanya.     

"Kalian semua tentu bertanya-tanya siapa pemuda ini?" Wahyu menepuk Idris yang duduk di sebelah kirinya. "Dia adalah Idris, kakaknya Mahira. Anak sulung dari Umi Hanum. Kalian pasti ingat kan waktu Abi membawa Umi Hanum dan Mahira ke rumah ini? Mahira memang bukan anak kandung Abi. Abi menikahi Umi Hanum karena beliau adalah seorang janda dan memiliki anak yang masih kecil. Kebetulan almarhum Ayahnya Mahira adalah sahabat Abi di pesantren. Setelah berdiskusi dengan Umi Aida, dan Abi diijinkan berpoligami, maka Abi berani. Kalau tanpa izin Umi, Abi juga tidak akan menikah lagi. Mungkin dari kalian ada yang masih keberatan sampai sekarang. Abi mohon maaf karena mungkin secara tidak langsung membuat kalian membenci poligami seperti Mahira. Tapi Alhamdulillah Abi terus berdoa agar Mahira dipertemukan dengan jodoh yang baik. Dan tentu saja yang bisa memenuhi kriteria Mahira untuk tidak berpoligami. Aydin bersedia kan?"     

"InsyaAllah, Abi. Aydin akan berusaha untuk tidak berpoligami. Bukankah ada takdir yang bisa diusahakan? jadi saya akan berusaha untuk tidak melakukannya. Tapi saya tidak mau berjanji atau bersumpah. Biarlah ketakutan saya pada Allah yang akan menjaga hati saya." ucap Aydin dengan yakin.     

"MasyaAllah.. Beruntung sekali kamu, Mahira mendapatkan suami seperti Aydin."     

"Alhamdulillah Abi. Meski pada tega sama Mahira." Mahira memanyunkan bibirnya. Aydin merangkulnya dengan mesra. Mencubit pipi Mahira yang menggemaskan.     

"Hahaha.. sebenarnya ini bukan sepenuhnya rencana kami, Nak. Kami juga kaget saat Ustadz Fajar bilang kalau kamu dan Aydin sudah saling kenal. Malah kamu mengajar di sekolah keluarga Ustadz Fajar. Abi pikir ini memang sudah jalannya. Sekarang kamu paham kan Mahira? kalau apa yang dipilihkan orangtua, InsyaAllah yang terbaik untuk anaknya. Ga mungkin kan orangtua menjerumuskan anaknya sendiri? Dan mulai sekarang jangan pernah berfikir kamu anak kandung abi atau bukan. Bagi Abi, kamu tetap anak Abi sampai kapanpun. Jangan merasa tersisihkan ya, Nak."     

"Iya Abi. Maafkan Mahira. Selama ini sudah su'udzon terus sama abi."     

"Sama-sama, Nak. Ustadz Fajar mau menambahkan pesan apa untuk pasangan pengantin ini?" Wahyu menepuk tangan sahabatnya itu.     

"Pesan saya kalian harus selalu sabar. Menikah itu ibadah seumur hidup. Jadi apapun masalah yang ada di dalam rumah tangga kalian nanti, hadapi dengan sabar dan ikhlas. InsyaAllah pasti akan ada jalan keluarnya. Dan pesan yang kedua, Abi ingin cepet-cepet punya cucu dari kalian. Betul tidak Ustadz Wahyu?" Mahira dan Aydin saling pandang. Mahira tampak malu-malu dengan permintaan sang mertua.     

"Iya iya betul Ustadz. Saya juga tidak sabar ingin gendong cucu dari Mahira. Cucu saya sudah lima. Tapi mereka sudah pada tidak mau kalau digendong." Wahyu dan Fajar tertawa bersama.     

"Alhamdulillah semua masalah sudah selesai. Dan besok tinggal syukuran pernikahan kalian. Semoga tidak ada halangan lagi." perkataan Fajar di aamiini oleh semua yang hadir.     

"Idris, mulai sekarang kamu adalah bagian dari keluarga kami. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini. Karena sebentar lagi Mahira pasti akan ikut suaminya. Kami hanya bertiga di rumah ini. Kakek dan Nenek yang kesepian." Idris melihat neneknya yang sudah tua. Beliau sedang duduk di sebelah Hanum.     

"Terimakasih Abi sudah menerima aku di keluarga ini. Tapi maaf aku ingin tinggal di pesantren saja dengan nenek, Bi." Idris tidak tega meninggalkan neneknta seorang diri di pesantren. Biarlah dia yang akan merawat Nuriyah hingga akhir hidupnya.     

"Baiklah kalau kamu inginnya seperti itu. Tapi sering-seringlah main ke sini. Dan untuk pekerjaan, mulai hari senin nanti kamu kerja di perusahaan Abi ya. Kamu bisa bantu Furqon. Furqon, kamu mau kan mengajari adikmu ini?"     

"InsyaAllah Bi." Furqon telah menyadari kekeliruannya selama ini. Memiliki adik laki-laki tentu membuatnya bahagia. Setidaknya sekarang ada yang bisa dia andalkan.     

"Alhamdulillah.. Abi senang jika semuanya rukun seperti ini. Abi bersyukur sekali Allah akhirnya mengijabah doa Abi."     

Idris hanya diam. Dia belum pernah bekerja di kantor sebelumnya. Ada rasa khawatir jika dia tidak bisa. Tapi dia juga tidak bisa menolak. Ini adalah untuk masa depannya. Setidaknya dia kelak bisa memperbaiki pesantren dari gajinya.     

Mahira melihat Edo. Rasa cinta yang dulu pernah ada di hatinya, kini menguap entah kemana. Pandangannya pada lelaki itu kini berubah jadi rasa sayang. Apa mungkin selama ini yang dia rasakan adalah cinta Adik pada kakaknya? karena dia mempunyai hubungan darah dengan Edo. Makanya dia selalu merasa nyaman di dekat laki-laki itu.     

Pertemuan itu terdengar riuh karena masing-masing berbincang dan ikut menimpali. Aydin menggenggam tangan Mahira dengan erat. Laki-laki berjambang tipis itu kini telah sah menjadi suaminya.     

"Eh ayo kita foto-foto dulu. Aydin dan Mahira belum foto buat akad lho." ucap Furqon sambil menarik lengan sang fotografer.     

"hoek.. hoek.." semua mata tertuju pada perempuan yang tengah berlari menuju toilet. Semuanya ikut panik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.