CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

MEMBERI KABAR PERNIKAHAN



MEMBERI KABAR PERNIKAHAN

0Hanya tinggal menghitung hari saja Mahira akan melepaskan masa lajangnya. Dia akan dipersunting dengan laki-laki pilihan Abinya. Aydin. Entah siapa nama lengkapnya, atau bagaimana parasnya, Mahira tak ingin tahu. Selama satu bulan ini dia berubah jadi pendiam dan pemurung. Umi Hanum sudah menyuruh Abi Wahyu untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi Wahyu tetap pada pendiriannya. Dia ingin pernikahan putrinya berkesan. Mahira harus belajar tentang sesuatu.     

"Mahira, makan dulu sayang. Lusa kamu akan menikah, kamu tidak boleh seperti ini terus. Kamu bisa sakit nanti." Hanum membawakan makanan untuk Mahira di kamar. Sejak kemarin, Mahira cuti mengajar. Rahma sudah mengizinkannya. Dan sedari pagi, Mahira belum mau keluar kamar untuk makan. Hanum sangat khawatir melihat putrinya yang pucat dan tak mau makan.     

"Biar saja Mahira sakit, Mi. Biar saja Mahira mati sekalian" Mahira menatap kosong jendela kamarnya. Sama sekali tidak mau melihat makanan enak yang terhidang di depannya.     

"Hushh.. jangan ngomong begitu. Ga boleh doa jelek untuk diri sendiri, ga bagus, Nak."     

"Mahira putus asa, Mi. Abi jahat sama Mahira." Mahira menangis dipelukan Hanum. Wanita itu sedih melihat putrinya seperti ini. Tapi ini untuk kebaikan Mahira. Memang terlihat kejam. Tapi Mahira lusa akan sangat bahagia dengan kejutan yang akan diberikan oleh Abinya. Laki-laki yang menikahinya adalah orang yang ia inginkan selama ini.     

"Tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, Nak. Tidak ada orangtua yang ingin anaknya menderita. Abi sudah memilihkan yang terbaik untukmu. Kamu jangan bersangka buruk terus pada Abi. Memangnya kamu tidak ingin melihat foto calon suamimu? Kamu pasti akan terpesona saat berjumpa nanti. Dia tampan, sholeh, baik."     

"Memangnya Umi pernah bertemu dengan Aydin aydin itu?"     

"Pernah.. Kapan ya waktu itu Aydin datang bersama Abinya mau berta'aruf sama kamu. Tapi kamu malah pergi. Ga mau ketemu sama Aydin."     

"Aku ga suka sama dia, Mi. Aku sudah punya pilihan sendiri. Aku sudah shalat istikharah dan jawabannya itu dia, Mi. Tapi Abi bersikeras untuk tetap menikahkan aku dengan anak sahabatnya. Bahkan aku tidak pernah menyebut nama Aydin dalam doaku, Mi." Mahira melepaskan pelukannya. Mengusap airmata kasar. Dia sudah lelah. Karena hampir setiap hari dia menangis.     

"Sudahlah kamu jalani saja dulu ya, InsyaAllah Umi yakin kamu akan bahagia nanti."     

"Bagaimana bisa aku bahagia, Mi? akj menikah dengan orang yang tidak aku kenal, dan tidak aku cintai."     

"Cinta akan datang dengan sendirinya, Mahira. Dulu Umi dan Abi juga begitu. Umi mencintai Abi baru setelah kami menikah dan menjalani rumah tangga. Itu lebih baik dari pada harus pacaran sebelum menikah."     

"Kenapa Umi mau menikah dengan Abi? Padahal Umi tidak cinta?"     

"Karena Allah, Nak. Waktu itu Umi masih sangat muda. Ketika ada lelaki sholeh yang mau meminangmu, apa salahnya?"     

"Alhamdulillah kami bahagia, Umi Aida juga menerima Umi dan menyayangi Umi seperti adiknya sendiri. Walau kadang ada rasa cemburu, tapi kami memilih ikhlas."     

"Mahira takut pilihan Abi akan sama juga dengan Abi. Aku takut dipoligami, Umi."     

"Abi secara pribadi sudah bilang pada Aydin tentang hal ini. Dan dia bilang tidak bisa janji."     

"Tuh kan, Mi. Pasti dia mau poligami."     

"Hei sebentar, Umi belum selesai bicara, Nak. Dia tidak mau janji sama Abi, karena baginya Janji di hadapan Allah ketika ijab Kabul itu jauh lebih besar tanggung jawabnya. Jadi dia tidak ingin menyakiti istrinya dengan cara berpoligami. Intinya begitu." Mahira merasa ucapan Umi barusan sama dengan yang pernah Wira ucapkan padanya waktu itu.     

'Apa kabarmu bang Wira? Apa kamu masih mengingatku?' batin Mahira.     

"Sudahlah Umi, aku hanya bisa pasrah sekarang. Kelak kalau suamiku berani berpoligami, aku tidak akan segan meminta cerai, Mi. Setidaknya aku sudah menjalankan keinginan Abi."     

"Ga boleh ngomong gitu ah. Belum aja nikah, udah ngomongin cerai. Intinya Aydin adalah laki-laki yang baik, Nak. Percaya sama Umi."     

"Sudah ayo makan dulu. Umi mau pergi sama abi dulu ya," Hanum beranjak dari ranjang Mahira.     

"Kemana Umi?"     

"Ke tempat nenek."     

"Nenek?"     

"Sudah ya. Kamu habiskan makannya. Umi pulang, makanan harus sudah habis. Tapi tidak boleh dibuang. Ingat Hira, banyak orang di luar sana yang tidak bisa makan."     

"Iya, Umi." Mahira menunduk. Dia memang terpaksa harus makan. Karena perutnya sangat lapar. Menangis telah menguras energinya. Dan membuat dia sangat lapar.     

**     

"Abi sudah siap?" tanya Hanum pada Wahyu yang sudah rapi dengan pakaian khasnya. Yaitu baju koko dan celana bahan. Tak lupa peci hitam sudah bertengger di kepalanya. Meski telah berumur lebih dari kepala lima, Wahyu memang masih terlihat tampan.     

"Sudah, Mi. Ayo berangkat." Aydin menggandeng tangan Hanum mesra. Mereka naik ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke tempat yang berhubungan dengan masa lalunya.     

"Ibu akan marah apa tidak ya, Bi kalau kita tiba-tiba ngasih kabar tentang pernikahan Mahira yang akan di adakan besok lusa?"     

"Semoga saja tidak, Mi. Bu Nuriyah insyaAllah mau mengerti. Walau kita memberitahunya mendadak."     

"Iya itu masalahnya, Bi. Umi takut Ibu marah karena tidak memberitahunya jauh-jauh hari."     

"Berdoa saja semoga tidak." Mobil mereka melaju dengan kecepatan sedang. Ada sopir yang mengemudikannya. Sedangkan Wahyu dan Hanum duduk di bangku penumpang. Perasaan Hanum tak karuan. Dia khawatir orang yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu marah karena tidak memberitahu tentang pernikahan cucunya yang akan dilangsungkan esok lusa.     

Kurang lebih empat puluh lima menit yang mereka butuhkan untuk sampai di sana. Jauh memang. Karena letaknya ada di pinggiran kota. Tak pernah berpindah tempat sejak dia memutuskan menikah dengan Wahyu dan meninggalkan tempat itu.     

"Assalamualaikum, Bu." ucap Hanum sambil mengerti pintu pesantren yang masih mempertahankan bangunan kunonya itu. Hanum mengetuk lagi untuk yang kedua kalinya. Dan akhirnya wanita yang berusia kira-kira lebih dari setengah abad itu  membuka pintu.     

"Waalaikumsalam warohmatullah.." Nuriyah langsung memeluk Hanum dengan Erat. Dia merindukan perempuan yang pernah menikah dengan putranya.     

"Ibu sehat?"     

"Alhamdulillah sehat. Ayo-ayo masuk dulu. Nak Wahyu ayo silakan masuk."     

"Iya Bu." Wahyu mengikuti mereka berdua. Dan disinilah mereka saat ini. Duduk di atas kursi kayu dengan ukiran khas jaman dulu.     

"Tumben kalian ke sini? ada apa?"     

"Ibu, sebelumnya saya minta maaf karena baru bisa ke sini sekarang. Kami ingin ibu bisa hadir esok lusa di pernikahan Ziya, Bu." Ziya adalah nama kecil Mahira yang diambil dari nama depannya Ghaziya. Tapi sejak pindah ke rumah Wahyu, dia lebih sering dipanggil Mahira.     

"Ya Allah Alhamdulillah.. Ziya sudah besar. Sudah mau menikah. Tentu tentu saja. InsyaAllah ibu akan datang. Ibu sangat merindukannya."     

"Terimakasih Bu. Kalau saja abangnya Ziya ketemu, mungkin dia akan menjadi walinya Ziya. Tapi karena sampai sekarang Idris belum ketemu, terpaksa kami menggunakan wali hakim untuk menikahkan Mahira, Bu."     

"Astaghfirullah.. Maafkan Ibu, Num, Ibu sampai lupa. Idris sudah kembali, Num. Satu bulan yang lalu dia pulang ke pesantren ini. Alhamdulillah Allah kasih ibu umur panjang. Jadi masih bisa bertemu dengan Idris.     

"Alhamdulillah, Bu. Ya Allah, Abi... Idris pulang Bi." Hanum menangis terharu. Bertahun-tahun dia mencari anak sulungnya tapi tak pernah ia temukan jejaknya. Dan sekarang anak itu kembali sendiri.     

"Dia sedang pulang ke rumahnya di rumah anak-anak jalanan. Dia selama ini hidup di dunia gelap, Num. Aku sampai tak tega mendengar ceritanya selama ini. Kalau saja dia tidak kabur waktu itu, mungkin sekarang dia jadi anak baik-baik. Tapi Alhamdulillah doa kita terkabul. Idris pulang lagi ke sini. Sebenarnya dulu dia tinggal tak jauh dari pesantren ini. Dia juga sering melihat dari kejauhan. Tapi dia tidak berani masuk. Sampai dia remaja dan terlibat dengan preman. Jadilah dia sekarang ketua preman.     

"Ketua preman, Bu?"     

"Iya. Tapi dia katanya ada niat untuk meninggalkan dunianya itu. Hanya saja akan butuh waktu. Semoga Idris nanti pulang. Agar ibu bisa menyampaikan kabar ini."     

"Aamiin.. Alhamdulillah ya Allah."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.