CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

MENJENGUK EDO



MENJENGUK EDO

0Andri masuk ke ruang IGD bergantian dengan Mahira. Di dalam tadi dia memang di suruh Andri menunggui Edo sebentar karena dia akan menerima telepon dari Wira. Lalu tetap berada di luar menunggu sampai Wira datang.     

"Gimana kondisi Edo?" Wira yang kini duduk berjajar dengan Anisa dan Mahira akhirnya angkat bicara. Wira belum bisa membesuk karena harus bergantian. Nanti kalau sudah dipindah ke ruang perawatan baru bisa dijenguk.     

"Alhamdulillah udah sadar setelah tadi sempat dijahit. Luka robek di punggungnya lumayan parah sih bang." Mahira menjelaskan pada Wira.     

"Kenapa kamu bisa ada di sini?"     

"Oh.. Tadi bang Andri yang bilang. Pas kebetulan Anisa telpon bang Andri. Katanya Bang Edo masuk rumah sakit. Ya kita khawatir lalu ke sini." penjelasan Mahira membuat Wira sedikit lega. Ia pikir Edo yang sengaja menelpon Mahira untuk datang. Karena entah kenapa dia merasa Mahira dan Edo cukup dekat. Tapi dia tidak pernah bertanya pada Edo tentang perasaannya pada Mahira. Dan bodohnya lagi waktu itu dia malah meminta petolongan Edo untuk mendekati Mahira.     

"Oh begitu ya?"     

"Bang Wira tadi ke rumah singgah ya?"     

"Iya Hira. Ketemu Retro bilangnya kalau Edo masuk rumah sakit. Terus aku langsung kesini setelah mendapat kepastian dari Andri."     

"Oh... "     

"Bagaimana tadi?"     

"Apanya bang?     

"Bukannya tadi kamu melamar kerja?"     

"Oh iya, maaf lupa. Tadi aku sudah ketemu sama kepala sekolahnya. Dan bilang kalau besok aku akan dites micro teaching dulu. Semoga aku diterima ya bang?" Mahira tampak antusias saat menceritakan. Wira pun hanya tersenyum.     

"Kalian ini pada ngobrol, aku kayak obat nyamuk aja diantara kalian." Anisa memang duduk di tengah, di antara Mahira dan Wira.     

"Kalau kamu obat nyamuk, aku sama bang Wira jadi nyamuk donk?" Mahira memukul pelan bahu sahabatnya.Wira terkekeh melihat kedekatan Mahira dan Anisa.     

"Bang Wira jadi ga ngajar ngaji ya hari ini?"     

"Iya libur dulu. Anak-anak biar di tempat yang aman dulu. Takutnya tiba-tiba di serang kelompok timur "     

"Bang, aku masih penasaran deh. Abang ini beneran bukan preman kan?" Mahira melihat Wira dadi ujung rambut hingga ujung kaki. Wira yang sekarang hanya memakai kaos oblong dan celana jeans, sangat berbeda dengan Wira yang ia temui saat di masjid tadi siang.     

"Aku ga pernah bilang aku preman lho. Tapi aku kenal sama preman. Dan aku memang lebih suka bertemna dengan mereka. Terutama kelompoknya Edo. Mereka memang terlihat garang di luar tapi hatinya baik.     

"Lalu kenapa tadi abang pakai pakaian kantoran? Mobil sedan mewah di depan masjid tadi juga mobilnya siapa?" skak mat. Wira panas dingin. Dia bingung harus mengatakan apa pada Mahira. Dia tidak mungkin berbohong.     

"Eh Hira, itu bang Edo udah keluar sama bang Andri." Celetukan Anisa lagi-lagi menyelamatkan Wira dari pertanyaan Mahira.     

"Eh Iya, ayo kita ikutin." Mahira berdiri diikuti Anisa dan Wira. Anisa sedari tadi mencuri-curi pandang pada Wira yang menurutnya sangat tampan dengan jambang tipis yang menambah kesan dewasa.     

Edo tidur dengan posisi tengkurap. Karena punggungnya memang terluka.     

"Edo, tadi Retro bilang kamu sekarat. Aku sampai panik dengernya." Wira yang sekarang berdiri di samping ranjang Edo, bercerita tentang kabar yang tadi ia dapat tentangnya.     

"Ah anak itu terlalu lebay, Bang. Cuma kena sabetan parang aja. Dulu waktu abang nyelametin aku, lebih parah dari ini kan, Bang?" Edo sekarang sedang duduk. Karena tidak nyaman jika tengkurap terus.     

"Bisa saja kamu. Luka parah begitu masih aja bisa becanda." Wira menunjuk Edo yang punggung dibiarkan terbuka tanpa kaos di badannya.     

"Buat preman kayak aku, hal begini sudah biasa bang. Yang aku pikirkan adalah berurusan dengan polisi aja. Mungkin sebentar lagi aku dicari polisi lagi."     

"Kenapa kamu ga ninggalin pekerjaan ini sih, Do? terlalu berbahaya. Kamu ga akan bisa hidup tenang nanti. Kamu kan pasti ingin berkeluarga kan?"     

"Iya bang. Tapi kalau aku pergi, bagaimana dengan anak-anak jalanan yang jumlahnya ratusan itu? aku harus melindungi mereka."     

"Bawa saja ke dinas sosial, biar di sana mereka bisa dilindungi."     

"Mereka sudah pernah aku tawari, Bang. Tapi pada ga mau." Wira akhirnya mencoba mengerti apa yang dirasakan Edo. Dia juga tidak akan memaksa.     

"Ya sudah terserah kamu saja."     

"Bang, itu.. " Edo menunjuk Mahira yang sedang berbincang dengan Anisa dan Andri. Dia berbicara lirih pada Wira agar tidak terdengar oleh Mahira.     

"Kenapa?"     

"Sudah ada perkembangan soal hubungan kalian?"     

"Beberapa kali takdir memang seperti sengaja mendekatkan kami. Tapi tujuan awalku adalah menyembuhkan traumanya dulu."     

"Abang cinta ya sama Mahira?"     

"Emm.. sebelum menjawab itu, aku ingin tanya sama kamu, Do. Hubunganmu dan Mahira terlihat sangat dekat. Apa mungkin ada hubungan spesial di antara kalian?"     

"Hahaha.. Abang ini bisa aja. Mana mungkin aku suka cewek judes kayak Mahira. Kamu hanya teman, Bang. Tidak perlu khawatir tentang itu."     

"Oh begitu, baiklah kalau begitu. Maaf ya, Do. Aku ga bermaksud menyinggung perasaanmu."     

"Gapapa bang santai saja."     

"Aku balik dulu ya, Do. Udah mau maghrib. Kamu cepat sembuh ya. Masalah biaya rumah sakit nanti biar aku yang urus. Yang penting kamu cepet sembuh."     

"Tidak perlu, bang. Aku masih ada uang koq."     

"Sudah kamu pegang saja uangmu untuk keperluan lain. Udah ya. Aku balik dulu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku."     

"Iya, bang. Makasih banyak." Itulah kenapa Edo kemarin memilih merapat ucapannya yang mengatakan suka pada Mahira. Karena dia tidak mungkin menyakiti hati Wira yang begitu baik padanya. Bahkan seringkali membantunya.     

"Mahira, Anisa, Andri saya balik dulu ya. Mau maghrib soalnya."     

"Ah iya bang. Kita juga mau balik koq."     

"Ya sudah yuk bareng ke parkiran."     

Mahira menghampiri Edo lalu berpamitan dengan preman itu.     

"Bang Edo, aku pulang dulu ya. Abang cepat sembuh ya. Obatnya diminum. Jangan bandel ya." Edo mengangguk lalu tersenyum. Padahal dia sedang menekan perasaan cemburunya. Mahira dan Anisa keluar bersama Wira. Saat Sudah sampai tempat parkir, adzan maghrib berkumandang. Wira diam dulu sambil menunggu adzan selesai. Dia mengambil sepedanya yang lumayan jauh dari Motor Mahira. Mahira yang sedang mengambil motornya, memperhatikan gerak gerik Wira. Di bertambah kagum pada lelaki yang masih misterius itu. Sangat sederhana. Berbeda dari Wira yang ia temui di Masjid tadi.     

"Sebenarnya dia itu siapa ya Nis? gue penasaran sama sosoknya."     

"Apalagi gue, Hir. Tapi aku terpesona sama ketampanannya Hir. Lo kenal kan sama dia? kenalin donk Hira. Aduh gue jadi deg-degan deh ngliyat si abang Wira."     

"Huss.. Dia itu misterius. Apa jangan-jangan ada sesuatu yang ia sembunyikan? Apa dia itu polisi yang sedang menyamar? atau mafia kelas kakap?"     

"Puk.." Anisa memukul bahu Mahira dengan tasnya. "Gue ga percaya orag seganteng dia itu mafia kelas kakap. Lo kebanyakan nonton film action kali."     

"Enggak.. aku sukannya romance yang tentang Mafia mencintai gadis sholihah."     

"Wkakaaka... dasar baper."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.