CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

HATI YANG MASIH BEKU



HATI YANG MASIH BEKU

0Edo yang berada di atas ranjang pasien, hanya bisa diam. Dia tidak mengerti dengan sikap Mahira. Dia asal mengatakan kalau mau bertemu dengan ceweknya. Apa itu yang membuat Mahira marah? Apa Mahira juga menyukainya? Seulas senyum ada di bibir Edo. Tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia tidak pantas untuk Mahira. Apalagi Mahira adalah orang yang disukai oleh Wira. Orang yang banyak berjasa dalam hidupnya. Bahkan sekarangpun dia sedang meminta bantuan pada Wira untuk melindungi anak buahnya.     

"Mahira tunggu...." Anisa berlari mengejar Mahira. Dia sangat heran dengan perubahan sikap Mahira yang tiba-tiba. Apa ada hubungannya dengan ucapan Edo? "Eh... lo kenapa sih?" Anisa menarik tangan Mahira saat ia berhasil mengejar sahabatnya itu.     

"Gapapa.." Mahira mengusap airmata saat dipandang oleh Anisa. Dan mereka kini saling berhadapan.     

"Lo suka sama bang Edo?" Mahira diam tapi matanya masih mengeluarkan airmata. "Lo cemburu bang Edo mau ketemu ceweknya?" Tak ada tanggapan dari sahabatnya. "Susah deh ngomong sama orang yang lagi cemburu."     

"Gue ga tahu suka apa tidak. Tapi kenapa gue sakit waktu bang Edo bilang mau ketemu ceweknya."     

"Yuk pulang ke rumah lo dulu. Gue anter. Nanti kita cerita di sana. Udah mau maghrib soalnya." Anisa memang yang menjemput Mahira tadi. Dia pikir Mahira butuh bercerita. Tapi tidak di tempat umum seperti ini. Mahirapun akhirnya mengangguk. Mereka naik ke motornya Anisa.     

Mahira tak tenang sepanjang perjalanan. Apa benar dia sudah jatuh cinta pada Edo? seorang preman tampan yang sejak awal mereka bertemu telah mencuri hatinya. Mahira yang tak pernah jatuh cinta bingung mengartikan perasaannya sendiri.     

**     

"Ayo sekarang lo boleh cerita, Hira," ucap Anisa yang saat ini berada di kamar Mahira. Gadis itu menelisik wajah sahabatnya yang terlihat murung.     

"Gue ga tahu gue suka apa enggak sama Bang Edo. Tapi kenapa gue sakit rasanya waktu bang Edo bilang mau ketemu ceweknya."     

"Itu namanya cemburu, Non."     

"Masa sih?"     

"Oh iya lo kan ga pernah jatuh cinta. Jadi lo ga tahu rasanya cemburu itu kayak apa."     

"Gitu ya Nis?"     

"Otak lo emang encer Ra, tapi urusan cinta lo kalah jauh dari gue."     

"Iya elo kan sering naksir cowok. Tapi ga ada yang balik suka sama lo."     

"Hehehe.. standar gue ketinggian soalnya. Dan kalau gue lihat sekarang, standar lo terlalu rendah Ra."     

"Maksud lo?"     

"Iya, elo dijodohin sama laki-laki sholeh tapi malah milih preman. Apa itu bukan standar terlalu rendah?"     

"Jangan membeda-bedakan orang seperti itu, Nis. Kita tidak tahu akhir hidup manusia akan seperti apa. Bisa jadi yang sholih, di akhir hidupnya ditakdirkan meninggal dalam keadaan ingkar. Dan sebaliknya bisa jadi yang terlihat buruk sekarang, di akhir hidupnya ditakdirkan meninggal dalam keadaan beriman."     

"Tapi kan bisa saja sebaliknya. Iya kalau premannya mau taubat. Kalau tidak? apa kita ga menyesal seumur hidup? bukannya seorang muslim itu harus hati-hati dalam mengambil keputusan ya? untuk mencari pendamping, kita harus melihat agamanya juga kan? Karena kelak dia yang akan jadi imam kita. Dan laki-laki yang bisa jadi imam yang baik adalah yang tahu tentang agama."     

"Ya gue tahu. Tapi gue ga pernah tahu kemana hati gue bakal berlabuh. Kalau ternyata gue emang berjodoh sama preman gimana?"     

"Jodoh itu perlu diusahakan, Ra. Dan ketika lo milih suami, dia yang akan mendampingi lo seumur hidup. Jadi menurut gue, mending lo nurut sama abi lo deh."     

"Enggak gue ga mau dijodohin sama pilihan abi. Gue takut di poligami."     

"Kan ada shalat istikharah. Kenapa ga lo coba? Lo payah, Hira. Kalau gue jadi lo, gue malah seneng dijodohin sama orang sholih. Lo ketemu aja dulu sama orangnya. Siapa tahu jodoh."     

"Enggak ah gue ga mau."     

"Dasar keras kepala. Pantesan lo berantem terus sama bang Edo, soalnya lo sama-sama keras kepalanya.     

"Biarin lah."     

"Tapi beneran lo cinta sama bang Edo?"     

"Gue ga ngerti Nis." Mahira merebahkan diri di atas kasur. Lalu menutup wajahnya dengan bantal.     

"Ga ada minum atau cemilan nih, Ra?"     

"Eh Iya maaf Nis. Elo sih ngajak ngobrol terus. Makan aja yuk. Umiku kayaknya tadi masak banyak deh."     

"Iya deh boleh. Gue mau makan masakan umi lo yang enak banget. Lumayan malam ini gue bisa makan enak."     

"Emang masakan Mama lo ga enak?"     

"Enak sih. Tapi ga seenak masakan Umi lo."     

"Siapa dulu donk?"     

"Ga kayak anaknya, ga bisa masak. Paling cuma mie instan doank."     

"Enak aja. Gue bisa bikin puding tau."     

"Udah ayo buruan. Katanya mau ngajakin gue makan."     

***     

"Assalamualaikum Umi, Abi." Mahira dan Anisa bergantian mencium tangan Wahyu, Aida dan Hanum yang sekarang sedang makan di ruang makan. Meja yang berukuran lumayan besar mampu menampung sekitar sepuluh orang. Dan di situlah Mahira dan Anisa sekarang. Duduk menikmati makan malam bersama Orangtua Mahira.     

"Waalaikumsalam. Eh ada Anisa. Duduk Nak. Ayo kita makan bersama." ucap Aida yang suaranya selalu menenangkan hati.     

"Iya, Umi. Maaf nih jadi ngrepotin."     

"Eh gapapa.. sering-seringlah ke sini. Biar Mahira ada temennya."     

"Dicariin temen aja Umi." Mahira menyenggol lengan Anisa lalu melotot pada sahabatnya itu.     

"Iya nih Nis. Udah dicariin sama Abi tapi dianya nolak terus. Tahu tuh pengennya kayak gimana."     

"Kayak bang Edo, Bi."     

"Ishhh... Anisa.. ember banget jadi orang." Mahira cemberut mendengar sahabatnya yang tidak bisa menjaga rahasia.     

"Edo? siapa itu Edo, Nak?"     

"Ah bukan siapa-siapa Abi. Anisa boleh mulai makan?"     

"Oh iya Nak silahkan. Ayo dicicipin semua masakan Umi."     

"Wah Masyaallah enak-enak sekali kayaknya. Boleh dibungkus ga Umi?" Anisa sengaja membuat lelucon agar Mahira mau tersenyum. Tapi dilihatnya, Mahira malah memanyunkan bibirnya sambil mengunyah makan.     

"Oh iya boleh. Bentar umi bungkusin ya."     

"Eh.. enggak enggak Umi. Cuma becanda aja koq. Hehehe."     

"Eh gapapa Nisa. Nanti Umi bungkusin yang di dapur masih banyak koq."     

"Aduh Umi jadi enak nih."     

Di sela mereka makan malam, ponsel Wahyu berdering..     

"Abi di angkat dulu telponnya. Siapa tahu penting." ucap Aida.     

"Iya Umi." Wahyu melihat layar ponselnya dan tertera nama ustadz Fajar di sana. Buru-buru Wahyu menerima telpon itu.     

"Halo.. Assalamualaikum."     

"....."     

"Ada apa ustadz Fajar?"     

"....."     

"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Di rumah sakit mana ustadz?" mendengar ucapan Wahyu, membuat semua yang ada di meja makan menoleh ke arahnya dengan pandangan panik. Antara ada yang meninggal atau ada yang tertimpa musibah.     

"....."     

"Baik.. setelah ini InsyaAllah saya akan ke sana menjenguk Aydin."     

"..."     

"Ada apa Abi? apa yang terjadi dengan Aydin?" Aida terlihat sangat khawatir.     

"Abi ke rumah sakit ya, Mi. Aydin masuk rumah sakit. Dia habis dikeroyok preman. Karena belain temannya. Mahira kamu ikut ya nak. Kasih support buat Aydin."     

"Nggak mau Bi. Mahira ga mau ikut."     

"Ya sudah terserah kamu. Hatimu memang sudah terlanjur beku, Nak." Wahyu terlihat marah walau tidak dengan membentak. Tapi dari nada suaranya Mahira tahu kalau abinya sedang marah padanya.     

*****     

Aduh jadi deg-degan.. Bang Ustadz Wira gimana keadaannya ya? Apa Mahira akan mau menjenguk ustadz Aydin?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.