CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

ABI MENOLAK



ABI MENOLAK

0Memilih pasangan tidak bisa terburu-buru. Paling tidak kita harus tahu bagaimana bibit, bebet, bobotnya. Nasehat orang tua itu ada benarnya. Bagaimana agamanya, sifatnya. Lalu bagaimana caranya agar kita tahu dia adalah orang yang tepat? haruskah mengenalnya lewat pacaran? tentu tidak. Islam memberi solusi yaitu dengan berta'ruf. Kita bisa mengenal orang yang dijodohkan kita dari orang terdekatnya. Di sinilah pentingnya. Orang terdekat tidak boleh berbohong.     

Mahira sejatinya tak mau dipilihkan jodoh oleh abinya. Dari pada ia di desak untuk segera menikah terus, akhirnya dia mencari sendiri orang yang tepat untuknya dan tepat juga untuk orangtuanya. Meski dia membenci Abinya yang poligami, bukan berarti dia ingin jadi anak yang durhaka. Dia tetap ingin mencari yang memang memenuhi kriterianya dan kriteria abinya.     

Edo memang cinta pertamanya. Tapi dia juga masih bisa berfikir logis. Edo yang minim agama tak akan mungkin mendapat restu dari abinya. Dan beberapa minggu belakangan ini dia mengenal sosok yang sejak awal memang membuatnya penasaran. Dan kemarin dia sudah mendapat kepastian dari Wira kalau lelaki itu menaruh hati pada Mahira. Bahkan ada niat Wira untuk menemui abinya. Tapi Mahira melarangnya. Dia ingin meyakinkan dirinya dulu kalau Wira adalah yang terbaik untuknya dan abinya juga setuju.     

"Mahira, kemarilah. Ayo kita sarapan." Aida memanggil Mahira saat gadis itu terlihat olehnya. Aida dan Hanum sedang menyiapkan sarapan berdua. Sedangkan Wahyu entah kemana.     

"Iya Umi. Emm Umi maaf Abi kemana ya?" tanya Mahira sambil duduk berhadapan dengan Uminya di meja makan."     

"Oh Abi.. Lagi jogging sebentar katanya. Memang ada apa, Nak?"     

"Mahira ingin bicara dengan Abi, Mi."     

"Ya sudah kamu makan saja dulu sambil nunggu Abi pulang. Nanti kamu malah telat ngajarnya."     

"Iya Umi." Hanum mengambilkan nasi untuk Mahira. Sedangkan aida menuangkan teh hangat untuknya. Kadang Mahira merasa beruntung mempunyai dua orang ibu yang sangat baik. Mereka berdua sangat menyayanginya. Bahkan sampai dia bekerja seperti sekarang, kedua Uminya ini masih memperlakukan dia seperti anak kecil. Maklum karena Mahira memang anak bungsu. Dan satu-satunya anak yang tinggal bersama mereka.     

"Assalamualaikum." terdengar ucapan salam dari arah pintu rumahnya.     

"Waalaikumsalam. Eh Abi sudah pulang."     

"Wah sepertinya enak sekali nih."     

"Nasi goreng, Bi. Ayo kita makan bersama."     

"Iya ya.. Umi nunggu abi?"     

"Iya biar kami menunggu abi pulang. Mahira Umi suruh makan dulu biar dia tidak terlambat sampai di sekolah."     

"Ah iya, sekarang Mahira sudah punya pekerjaan. Dan sebentar lagi semoga akan ada pernikahan. Bagaimana Mahira?" Wahyu segera makan. Karena tadi sebelum masuk, dia sudah mencuci tangan dan kakinya di luar.     

"Ini yang mau Mahira bicarakan Abi."     

"Kalau bahas masalah serius ini, sebaiknya pas selesai makan malam saja. Kalau jam segini takut Mahira telat ke sekolahnya." Hanum mengingatkan pada Mahira. Dan setelah Mahira berfikir memang benar yang dikatakan oleh Uminya     

"Baiklah Umi. Nanti malam saja Mahira bicara sama Abi." Mahira segera menghabiskan sarapannya. Lalu meneguk segelas air putih hingga tandas. Dilanjut menyeruput teh hangatnya.     

Mahira memutari meja makan untuk bersalaman dengan abi dan kedua Uminya.     

***     

Ini adalah hari kedua Mahira mengajar. Murid-muridnya mulai bisa menerima kehadirannya sebagai guru kelas pengganti guru yang cuti melahirkan. Wajah ceria anak-anak ini setidaknya bisa membuat Mahira melupakan Wira. Ya sejak semalam, Mahira jadi sering memikirkan lelaki itu.     

Cara bicaranya yang santai dan dewasa, membuat Mahira semakin terpesona dengan lelaki itu. Nyatanya sekuat tenaga ia membenci laki-laki yang kelihatan sholeh, pada akhirnya dia luluh juga dengan pesona Wira. Yang mungkin tak ada seorangpun gadis jomblo yang menolaknya.     

"Bu Ghaziya, sudah belum?" ucapan salah satu murid Mahira membangunkannya dari lamunan.     

"Eh, maaf sayang.. sebentar ibu koreksi dulu. Sebentar ya." Anak itu mengangguk. Mahira berdzikir dalam hati. Setidaknya dengan mengingat Allah bisa membuatnya lupa akan sosok Wira.     

'Udah ga bener ini otak.' Mahira memukul-mukul kepalanya pelan. Semakin dia ingin melupakan, semakin sering bayangan Wira muncul. 'Begini amat ternyata kalo orang lagi jatuh cinta ya? Eh, emangnya aku jatuh cinta ya?' Mahira akhirnya berdiri, menjelaskan pelajaran di depan kelas. Satu cara yang belum ia coba adalah matematika. Sibuk menghitung mungkin akan membuat Mahira melupakan Wira untuk saat ini.     

"Anak-anak kita belajar matematika penjumlahan bersusun ya."     

"Iya bu guru." Mahira mengajari murid-muridnya menjumlahkan bilangan dengan bersusun. Rupanya memang benar. Dengan menghitung, dia jadi lupa. Sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi.     

Hari ini sangat melelahkan. Bukan hanya lelah mengajar. Tapi juga lelah memikirkan Wira. Lelaki yang harusnya belum boleh ia pikirkan. Saat tiba di depan ruang guru, Mahira melihat Rahma yang juga sedang melihatnya. Mahira canggung setelah tahu kalau Wira adalah adiknya Rahma.     

"Bu Ghaziya.." Panggil Rahma yang berjalan cepat ke arahnya.     

"Iya bu, ada apa?"     

"Bagaimana sudah yakin mau menerima adik saya?"  Mahira tersenyum.     

'Aduh si Ibu to the point aja deh ah.'     

"Bang Wira maksudnya ya Bu?"     

"Iya adik saya siapa lagi? kan hanya Wira. Heheheh."     

"Heheheh.. pertanyaan yang bodoh ya bu?"     

"Ga juga sih. Tapi lebih pada pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab karena anda sudah tahu jawabannya."     

"Heheheh.. Bu Rahma ini ternyata suka bercanda juga ya?"     

"Iya saya memang suka bercanda. Anda akan tahu semua tentang saya, ya nanti kalau Bu Ghaziya menjadi adik ipar saya."     

"Aduh.. bu Rahma to the point aja."     

"Ya mau bagaimana lagi, saya sayang sekali sama Wira. Jadi saya ingin dia cepat-cepat menikah. Apalagi kalau nikahny sama Anda. Saya pasti akan sangat bahagia.     

"Saya baru sekali shalat istiharoh bu."     

"Bagaimana jawabannya sudah ada?"     

"Sudah bu tapi saya mau bilang sama abi dulu tentang hal ini.     

"Oh ya sudah kalau begitu. Saya tunggu kabar anda ya Bu."     

"Ya bu saya pulang dulu ya, Bu."     

"Oh iya bu silakan."     

Mahira mengendarai motornya. Dia harus segera sampai di rumah. Dan mempersiapkan diri untuk memberitahu sesuatu pada Abinya.     

Saat maghrib, ia habiskan waktu untuk shalat di masjid bersama dua uminya. Dulu waktu awal-awal Mahira belajar shalat di masjid, pemandangan bertiga seperti ini adalah hal yang kadang menjadi celaan tetangga-tetangganya. Dulu Abinya belum menjadi imam di masjid ini. Kalau sekarang mungkin karena orang menghormati Wahyu jadi tidak ada lagi yang berani mengganggu Mahira.     

Setelah sampai di rumah mereka melanjutkan dengan makan malam bersama. Rasanya jantung mahira berdegub kencang sedari tadi. Apakah dia akan sanggup mengatakan pada Wahyu.     

"Oh ya Mahira, katanya kamu mau ngomong sesuatu sama Abi?" tanya Wahyu yang sudah selesai menyantap makan malamnya.     

"Iya Abi. Sebelumnya Hira minta maaf sama abi. Kalau Mahira tidak mau dijodohkan sama Abi."     

"Kenapa, Nak?" Wahyu berharap Mahira akan memberikan alasan seperti yang dia inginkan. Dia cukup mendengarkan apa yang akan Mahira katakan setelah ini.     

"Mahira sudah punya calon sendiri, Bi namanya Wira."     

"Enggak Abi tidak setuju. Abi hanya ingin Aydin yang jadi suamimu. Abi dan ustadz Fajar sudah bersahabat dari dulu, Nak. Kamu mau buat Abimu malu?"     

"Hik hik... Tapi Wira sama juga. Dia laki-laki sholih seperti yang Abi inginkan. Dia juga sudah mapan. Keluarganya juga terpandang. Kurang apa lagi, Bi?"     

"Apa yang membuatmu yakin pada Wira?"     

"Karena dia satu-satunya laki-laki yang bisa menjawab pertanyaan Mahira dengan bijak."     

"Soal poligami?"     

"Iya, Bi."     

"Aydin pun juga bisa melakukan hal yang sama, Ra. Pokoknya Abi sudah putuskan bulan depan, kamu dan Aydin akan melangsungkan pernikahan. Ini yang Abi khawatirkan dari dulu." Wahyu berdiri, melihat Mahira yang menangisi Wira membuatnya senang. Dia melihat ke arah dua istrinya yang sedang menahan tawa.     

"Umi.." Mahira merengek di bahu Umi Hanum.     

"Sudah ya, Nak. Kamu turutin saja maunya Abi. InsyaAllah pilihan beliau tidak salah, Nak."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.