CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

TIDAK PANTAS



TIDAK PANTAS

0Sekitar satu jam Mahira berada di kamar perawatan Aydin. Dia malah lebih banyak mengobrol dengan Hamidah dibanding dengan Aydin. Aydin akhirnya hanya bisa bersandar sambil menonton televisi. Melihat kebersamaan Umi dan calon istrinya sudah membuat dia merasa bahagia. Bibirnya melengkung ke atas saat mengingat sudah pantaskah dia menganggap Mahira sebagai calon istri? padahal gadis itu sejatinya belum mau membuka hati untuk Wira. Nama yang dikenal oleh Mahira .     

"Tante, saya pulang dulu ya," ucap Mahira saat dia dan Hamidah berhenti mengobrol. Sebenarnya dia ingin pulang dari tadi. Tapi karena Hamidah mengajaknya ngobrol terus, dia jadi sungkan menjeda obrolannya untuk izin pulang.     

"Kenapa tidak di sini saja nemenin Umi, Ra?"     

"Maaf Tante.. saya juga mau menengok temen saya yang satunya lagi. Dia juga dirawat di sini. Bang Wira kenal juga koq." Aydin menoleh, saat Mahira bilang ingin menjenguk seseorang dan sudah dipastikan itu Edo.     

"Kamu mau jenguk Edo?"     

"Iya, bang.. Kasihan bang Edo pasti sendirian. Paling cuma sepuluh menitan."     

"Tapi nanti kamu cuma berdua sama dia, Hir."     

"Memangnya kenapa, Bang? Kita ga mungkin mau macem-macemlah. Aku cuma mau menjenguknya saja. Barangkali dia butuh sesuatu. Lagian dia juga sudah punya pacar."     

"Ya sudah kalau itu maumu. Salam buat Edo ya."     

"InsyaAllah nanti aku sampaikan." Mahira mencium tangan Hamidah. Lalu menangkupkan kedua tanganya saat berpamitan pada Aydin. Lelaki itu semestinya khawatir jika Mahira hanya berdua dengan Edo. Tapi dia juga tidak punya hak untuk melarang Mahira menjenguk Edo.     

"Hati-hati ya, Nak. Tolong dipertimbangkan ya," ucap Hamidah saat mengantarkan Mahira keluar dari kamar Aydin.     

"Apanya yang dipertimbangkan Tante?"     

"Anak tante. Barangkali Mahira mau ta'aruf sama Wira."     

"Oh itu, Iya tante nanti saya pertimbangkan. Tapi tidak wajib kan tante?"     

"Enggak nak.. Tante rasa kamu wanita yang baik. Dan cocok untuk Wira. Tapi ya kembali lagi ke hatimu sendiri. Tante tidak bisa memaksamu, Kan?, tapi tante sih berharap kamu mau. Hehehe."     

"Ah Tante ini bisa saja. Senang berjumpa dengan tante. Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam. Tante juga senang berjumpa dengan kamu."     

Mahira berbalik meninggalkan Hamidah. Dia berjalan menuju ke kamar Edo yang lumayan jauh dari kamar Wira. Dia masih menyusuri lorong yang sama dengan ruang Aydin. Lalu berbelok ke kanan. Saat dia sampai di kamar Edo, Mahira melihat ada sandal wanita di dekat pintu kamar. Mahira ragu antara masuk atau tidak. Sedangkan pintunya saat ini tidak terkunci.     

"Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam." Kedua orang yang ada di dalam kamar menoleh saat Mahira masuk. Mahira meneteskan airmata saat melihat Perempuan itu berada sangat dekat dengan Edo. Posisinya seperti orang yang sedang ingin berciuman. Mahira tidak tahu siapa perempuan itu. Tapi mungkin itu adalah Kekasihnya Edo. Sepertinya niat dia ke kamar Edo adalah suatu kesalahan. Mahira memakai sepatunya kembali lalu setengah berlari meninggalkan kamar Edo.     

"Mahira... tunggu." Edo tangannya kini sudah tidak terpasang infus karena akan pulang, terpaksa mengejar Mahira yang entah kenapa menangis saat melihatnya dan Nita. Salah satu anak buah Edo. Biasanya Andri dan Iren bergantian menjaga Edo. Tapi karena tawuran tadi malam, Andripun sedang pemulihan di rumah. Karena lukanya tidak separah Aydin.     

"Bang mau kemana?"     

"Ngejar Mahira."     

"Tapi lo masih sakit." Edo tidak menjawab. Dia berlari menyusuri lorong yang kira-kira dilewati Mahira. Satu-satunya tempat tujuan adalah tempat parkir. Maka Edo langsung menuju ke tempat parkir. Edo yang masih bertelanjang dada tak peduli dirinya dilihat oleh banyak orang. Dan tak menghiraukan rasa sakit di punggungnya. Yang ada di pikirannya ada Mahira. Dia takut Mahira menangis karenanya.     

Edo telah sampai di tempat parkir. Lama dia mencari keberadaan Mahira. Karena saking banyaknya motor yang ada di sana. Pandangannya tertuju pada Mahira yang sedang mengenakan helm. Edo segera menghampiri gadis itu.     

"Mahira, tunggu..!!" Mahira yang melihat Edo berlari ke arahnya, buru-buru naik ke motornya. Lalu memundurkan motornya keluar dari barisan motor.     

"Berhenti Hira." Edo tiba-tiba di belakang Mahira dan menahan motor mahira agar tidak berjalan.     

"Lepasin..!!"     

"Enggak.. gue ga mau lepasin. Sebelum lo bilang, lo nangis kenapa?"     

"Pergi sana sama cewek lo."     

"Jadi gara-gara itu lo nangis?"     

"Bukan urusan lo Bang. Udah cepet lepasin. Gue mau pulang."     

"Gue ga punya cewek, Ra. Itu tadi Nita anak buah gue."     

"Ga penting gue tahu siapa dia." Mahira menarik motornya dengan kuat. Dan akhirnya dia bisa lari dari Edo. Edo memang sengaja mengendurkan cengkramannya. Satu sisi hatinya tak rela Mahira pergi, tapi sisi lain hatinya ia harus membiarkan Mahira pergi. Dia tak pernah tahu Mahira juga menyukainya atau tidak. Tapi dari sikap Mahira ia tahu, kalau gadis itu mempunyai perasaan yang sama dengannya.     

Edo berjalan dengan lesu. Dia tak sadar dirinya menjadi pusat perhatian orang. Karena bertelanjang dada dan tidak memakai sandal. Tak peduli pandangan orang terhadapnya. Yang dia tahu, mungkin Mahira salah paham dengan yang ia lihat tadi. Padahal Nita hanya meniup mata Edo yang kelilipan.     

'Ya sudahlah biar saja dia salah paham. Agar dia tidak berharap banyak ma gue. gue ga pantas buat lo Hira. Lo berhak dapet yang lebih baik. Ustadz Wira lebih pantas buat lo.'     

Edo kembali lagi ke kamarnya. Dia melihat Nita yang masih berada di kamarnya.     

"Bang, lihat penampilan lo. Apa tadi orang-orang di luar ga ngliyatin lo?"     

"Bodo amat. Gue ga peduli."     

"Ya yang lo peduliin cuma cewek tadi kan? Siapa namanya? kayaknya gue kadang lihat dia di rumah pelangi."     

"Mahira. Iya dia sering ngajar di rumah belajar pelangi."     

"Dia cemburu bang."     

"Dari mana lo tahu?"     

"Walau tomboi begini, gue juga cewek bang. Gue paham arti tatapan dan airmatanya tadi."     

"Sok tahu lo kayak Andri."     

"Jadi bang Andri juga mikir begitu? Jadi gue ga salah kan ngomong begitu? siapapun juga tahu kalau tu cewek punya perasaan lebih ke elo. Dan sikap lo yang spontan ngejar dia juga nunjukin kalau lo suka sama dia."     

"Tapi gue ga pantas buat dia."     

"Tuh kan bener lo suka sama dia. Iya kalian kayak bumi dan langit. Jauh banget. Cewek sholihah dengan jilbab lebar begitu bisa suka sama preman kayak lo. Bener-bener langka."     

"Lo tu yang langka. Onderdil cewek. Tapi kelakuan kayak cowok."     

"Ga usah ngalihin pembicaraan. Kayak lo pernah liat onderdil gue aja. Ini membicarakan soal lo sama cewek tadi. Koq jadi gue yang dibawa-bawa."     

"Terus menurut lo gue harus mengejar dan merjuangin cinta gue buat dia? Ga mungkin Nyit."     

"Kenapa ga mungkin. Cewek itu bakal luluh kalau dikasih perhatian."     

"Udahlah gue ga mau berharap. Karena ada seseorang yang suka sama dia. Dan laki-laki itu jauh lebih pantas sama dia."     

"Lo itu ya ternyata cemen bang. Badan aja lo gedein. Tapi koq minder mau dapetin cewek."     

Edo hanya diam. Perkataan Nita ada benarnya. Haruskah dia memperjuangkan cintanya. Tapi bagaimana dengan janjinya pada Wira? Tapi bagaimana dengan hatinya? kalau benar Mahira juga mencintainya, apa salah jika dia dan Mahira ingin bersama?     

********     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.