CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

BERUSAHA MENERIMA



BERUSAHA MENERIMA

0Setelah mendengar apa yang dikatakan Anisa tadi, Edo merasa bahwa usahanya selama ini sia-sia. Dia ingin menjadi lebih baik karena Mahira. Karena ingin mendapatkan hati Mahira dan orangtuanya. Tapi kini semua seolah mempermainkan perasaannya. Dulu Anisa bilang kalau Mahira memiliki perasaan yang sama dengannya. Lalu dia bertekad memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Dan kini Anisa pula yang mengatakan kalau Mahira akan dinikahi orang lain dalam waktu kurang dari empat puluh delapan jam Mahira akan menjadi milik orang.     

Dia menuju ke kantor tempat laki-laki yang akan menikahi Mahira. Edo tahu  dimana Wira bekerja. Dia akan ke sana untuk mengajak Wira bicara.     

"Permisi mbak, saya ingin bertemu dengan CEO di sini," ucap Edo tanpa menyebutkan namanya.     

"Pak Aydin?" jawab resepsionis dengan senyum manis.     

"Setahu saya namanya Wira."     

"Oh memang namanya Aydin Wira Althafurrahman. Sebentar saya telepon sekretarisnya dulu ya," Edo mengangguk. Lalu resepsionis itu memencet sesuatu yang kemungkinan menelpon sekretaris Aydin.     

"Maaf Mas, nama Anda siapa?"     

"Edo, mbak. Bilang saja Edo dari rumah singgah pelangi."     

"Oh ya sebentar." Edo melihat sekeliling kantor yang sangat luas. Rupanya Wira memang sangat kaya. Mendadak dia merasa tidak pantas untuk Mahira. Dia tidak akan mungkin bisa bersaing dengan Wira. Laki-laki yang cerdas, mapan dan agamanya bagus. Kalaupun Mahira mencintainya, apa dia bisa diterima di keluarga Mahira?     

"Mas, silakan masuk. Pak Aydin menunggu anda di ruangannya. Pak Aydin ada di lantai lima. Mas naik lewat lift itu ya. Nanti sampai di lantai tiga tanya saja ruangan Pak Aydin.     

"Mbak, memangnya tidak ada tangga biasa ya? saya tidak pernah naik lift," ucap Edo dengan polosnya. Resepsionis itu ingin tertawa tapi di tahan karena takut tidak sopan dengan tamu bosnya.     

"Ada Mas. Tapi apa nanti Mas tidak capek kalau naik tangga biasa? lantai lima lho mas."     

"Tidak apa-apa Mbak. Saya sudah biasa latihan fisik," ucap Edo percaya diri. Resepsionis itu melihat tubuh Edo yang kekar. Dia percaya kalau laki-laki ini tidak akan pingsan jika naik hanya ke lantai lima.     

"Baiklah kalau mas memaksa. Mas jalan ke sana, mentok paling ujung nanti di sebelah kiri ada tangga."     

"Begitu ya Mbak. Oke.. makasih ya." Edo berjalan ke arah tangga. Dia yang sudah terbiasa latihan fisik dijalan setiap hari, tak ada masalah jika hanya naik ke lantai lima.     

Ternyata naik tangga sampai lantai lima itu melelahnya. Tapi bukan Edo kalau menyerah. Saat sampai di lantai lima, Edo segera mencari ruangan milik CEO. baru masuk saja sudah berasa dinginnya AC. Edo celingukan mencari ruang CEO. Hingga dia melihat ada seorang laki-laki yang duduk di belakang meja.     

"Mas, maaf ruang CEO dimana ya?"     

"Anda yang namanya Edo ya?" tanya laki-laki itu.     

"Iya Mas."     

"Silakan masuk Mas. Itu ada tulisan Ruang CEO Mas. Pak Aydin sudah menunggu." Edo menoleh. Dan benar saja ada tulisan CEO besar begitu kenapa tidak terlihat? Edo merasa seperti orang kampung yang datang ke kota. Tidak tahu apa-apa. Sedikit malu, tapi dia cuek saja.     

"Tok Tok Tok."     

"Masuk."     

Ceklek..     

Sekeretaris itu membuka pintu lalu mempersilakan Edo masuk ke dalam. Ruangan yang sangat besar. Edo baru tahu kalo gedung-gedung pencakar langit yang setiap hari ia lihat dari jalanan itu ternyata dalamnya seperti ini.     

"Eh.. Edo... Ayo duduk sini." Aydin menghampiri Edo lalu merangkulnya. Dan menyuruhnya duduk di sofa yang memang tersedia di ruangannya yang sangat besar.     

"Bang, maaf aku ga ngabari kalau mau ke sini." Edo duduk berhadapan dengan Aydin.     

"Tidak apa-apa. Untung saja aku belum pulang. Mau minum apa, Do?"     

"Tidak perlu repot-repot, Bang. Aku ke sini mau menanyakan sesuatu." Wajah Edo berubah serius saat mengatakan ingin bertanya sesuatu.     

"Iya mau tanya apa, Do?"Aydin menangkap ada sesuatu yang serius. Kalau tidak serius mana mungkin Edo sampai menemuinya di kantor.     

"Aku tadi mendengar dari Anisa kalau Mahira akan menikah dengan orang yang dijodohkan oleh ayahnya. Bukankah yang dijodohkan itu adalah-- Abang?"     

"Iya benar, InsyaAllah lusa kami akan menikah. Aku sudah menitipkan undangan pernikahan lewat Andri. Apa kamu belum menerimanya?" Edo menggeleng.     

"Bang, maaf aku tidak tahu tentang hal ini. Yang aku tahu ada sesuatu yang harus abang tahu sebelum kalian menikah."     

"Ada apa, Do?"     

"Aku dan Mahira saling mencintai, Bang. Tadinya aku pikir bertepuk sebelah tangan tapi saat Anisa bilang kalau Mahira juga menyukaiku, aku jadi yakin ingin memperjuangkan Mahira."     

"Edo!!"     

"Maaf Bang, aku memang pernah ingin membantu abang. Karena waktu itu aku mengingkari perasaanku sendiri. Tapi semakin lama aku semakin yakin kalau aku memcintainya. Dan setelah Anisa mengatakan Mahira juga menyukaiku, aku rela masuk pesantren agar bisa pantas untuk Mahira, Bang. Tapi ternyata setelah aku pula ada berita yang begitu mengejutkan."     

"Maksud kamu, kanu ke sini ingin membatalkan pernikahanku dengan Mahira karena merasa kalian saking mencintai?"     

"Tadinya memang seperti itu, Bang. Tapi setelah sampai di sini, aku urungkan. Aku tahu aku bukan takdirnya Mahira. Aku bukan orang yang pantas untuk Mahira. Kata orang cinta tak harus memiliki. Mungkin seperti ini rasanya ya, Bang. Sakit sekali. Tapi ya sudah. Aku juga sadar diri tak mungkin bisa menyaingi abang."     

"Kamu serius mau menyerah, Do?"     

"Iya, Bang. Aku tidak mau mengharap sesuatu terlalu tinggi. Kalaupun aku egois mengambil Mahira, apa nantinya Mahira akan bahagia hidup bersamaku di jalanan? Abang pantas untuk Mahira."     

"Edo, kalau saja aku tahu perasaanmu dari dulu, mungkin aku juga akan ikhlas melepas Mahira untukmu. Jika memang benar kalian saling mencintai. Tapi kenyataannya sekarang semua sudah dipersiapkan. Dan hanya hitungan hari saja Insyaallah aku dan Mahira akan menikah. Undangan sudah disebar, dua keluarga sudah menyiapkan semuanya. Apa jadinya jika aku tiba-tiba membatalkan semuanya? akan ada banyak orang yang terluka hatinya. Kamu mengerti kan? Maaf bukannya aku egois, Do."     

"Iya bang aku mengerti. Itu juga yang aku pikirkan dari tadi. Aku juga bukan orang yang tidak tahu terimakasih. Abang sudah banyak membantuku dan anak-anak di rumah singgah. Kalau aku menyerah, hanya aku yang akan berkorban. Tapi kalau aku egois membatalkan pernikahan kalian, maka akan ada banyak orang yang terluka.     

"Edo, kamu orang yang baik. Aku berterimakasih kamu sudah mau mengerti posisiku dan Mahira saat ini. Aku yakin suatu saat nanti kamu akan mendapatkan wanita yang baik."     

"Aku tidak yakin akan ada wanita yang mau sama preman sepertiku, Bang."     

" Kenapa kamu pesimis begitu? kamu ingin wanita sholehah untuk jadi istrimu kan? Maka perbaiki dulu dirimu. Pendamping adalah cerminan dirimu sendiri. InsyaAllah jika kamu sudah baik, Allah pun juga akan menyiapkan jodoh yang terbaik untuk mu."     

"Aamiin.. terimakasih, bang. Semoga abang dan Mahira selalu bahagia. Tolong jaga Mahira, ya Bang. Mungkin mulai hari ini aku tidak akan muncul lagi di depan kalian. Dengan cara ini, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk melupakan Mahira. Aku akan muncul lagi jika aku sudah menemukan wanita yang bisa membuatku jatuh cinta."     

"Aamiin.. semoga apa yang kamu inginkan akan tercapai, Do. Aku akan selalu mendokanmu."     

"Terimakasih bang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.