CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

MENINGGALKAN DUNIA GELAP



MENINGGALKAN DUNIA GELAP

0"Semoga kamu mendapatkan kebahagiaanmu, Do. Dan mendapat jodoh wanita sholehah," ucap Aydin sambil memeluk Edo.     

"Aamiin.. makasih bang."     

Aydin sudah menganggap Edo seperti adiknya sendiri. Oleh sebab itu, setelah mendengar pengakuan Edo tadi, dia merasa kasihan dengan pemuda itu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena semua sudah dipersiapkan dengan matang. Dan lusa dia akan siap mengucap ijab qabul di depan penghulu.     

Edo menahan rasa sakit di hatinya. Setelah berbicara dari hati ke hati dengan Aydin, dia berusaha untuk ikhlas. Ini bukan tentang memperjuangkan cinta. Tapi ini tentang pengorbanan. Dia ingin melihat Mahira bahagia. Apa yang dia rasakan akan hilang seiring berjalannya waktu. Meski dia tidak yakin. Namun dia tidak ingin egois dengan mempertahankan perasaannya pada Mahira.     

Edo telah mantap dengan keputusannya. Dia akan menjauh, dia akan menjadi orang yang lebih baik jika ingin pendamping yang baik. Dia mengemudikan motornya ke arah rumah singgah. Dia akan mengadakan pertemuan dengan semua anak buahnya. Dia akan membuat keputusan besar kali ini.     

Edo menepikan motornya. Dia mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan kepada Andri untuk mengumpulkan anak buahnya di basecamp. Setelah itu, dia melanjutkan lagi perjalanannya. Sepanjang jalan dia sambil memikirkan langkah apa yang akan dia ambil setelah ini. Dia harus meninggalkan dunia gelapnya. Meski dia harus kehilangan semua kenangannya bersama Mahira.     

Mahira gadis manis, nan lucu, tapi kadang sering marah-marah. Edo ingat bagaimana dulu waktu pertama bertemu dengan Mahira. Mereka pernah bertengkar hanya karena Edo melarangnya mengajar di rumah singgah. Siapa sangka jika Mahiralah yang meluluhkan hatinya.     

Akhirnya sampai juga dia di basecamp. Di luar dugaan ternyata di sana sudah ramai dengan anak buahnya. Salah satunya adalah Andri. Sahabatnya dari kecil. Yang selalu bersama-sama dengannya dari mereka kecil.     

"Hei bro.. Sudah pada di sini rupanya." Edo menjabat tangan anak buahnya satu persatu. Hal yang jarang ia lakukan selama ini.     

"Ada apa sih, Do? tumben kamu pengen kita ngumpul semua di sini?" tanya Aydin yang mulai merasa aneh dengan sikap Edo.     

"Yuk kita duduk dulu." Edo mengajak duduk di dalam. Mereka duduk sembarangan..Ada yang di kursi, ada yang lesehan, ada yang kebagian di luar. Edo berdiri di depan anakbuahnya. Dia melihat mereka semua satu persatu. Mereka inilah yang selalu ada untuknya selama ini. Mereka yang sering dilihat sebelah mata oleh orang-orang di luar sana, nyatanya adalah orang begitu baik terhadapnya.     

"Sudah berapa lama lo gabung sama kelompok barat ini, Jez?" tanya Edo pada Bojez.     

"Sudah dua tahunan Bos."     

"Kalo lo berapa Ret?" tanya Edo lagi pada Retro.     

"Sudah dua tahunan juga, Bos."     

"Yang lain mungkin lebih lama dari Bojez dan Retro. Sekarang gue mau tanya, apa kalian mau seperti ini terus? hidup dalam bahaya?"     

"Maksud lo apa sih, Do?" tanya Andri penasaran. Dia yakin akan ada keputusan besar setelah ini.     

"Kita hidup di jalanan. Hidup dalam bahaya setiap hari. Bahkan beberapa sudah ada yang meregang nyawa jika ada tawuran antar kelompok preman. Apa kalian tidak mau hidup normal seperti manusia pada umumnya?"     

"Pengen sih Bos. Tapi kita udah nyaman begini, Bos. Kalau kita keluar dari dunia ini, apa kita bisa diterima di masyarakat? Kita akan selalu di cap sebagai sampah masyarakat Bos." ucap salah seorang anak buah Edo.     

"Iya betul itu Bos," jawab yang lain.     

"Kalian hanya memikirkan buruknya saja. Padahal jika kalian sungguh-sungguh mau meninggalkan semua ini, InsyaAllah ada jalan." Mereka kaget saat Edo mengucap Insyaallah. Apakah bos mereka ini sudah bertaubat?     

"Sebenarnya apa yang mau lo katakan, Do? sepertinya lo mau memutuskan sesuatu. Jarang lo ngumpulin kita kayak gini."     

"Iya lo bener, Ndri. Gue mau memutuskan sesuatu yang besar untuk kelompok kita ini. Gue mau mundur jadi ketua kalian." terdengar suara riuh di antara anak buah Edo. Mereka kaget dengan keputusan Edo yang tiba-tiba.     

"Lo becanda, Do? Gimana dengan nasib kita yang jumlahnya ratusan ini? Kita butuh pemimpin, Do. Jangan sembarangan kalo ngomong. Kita bakal jadi bulan-bulanan kelompok timur kalo lo ngundurin diri."     

"Sory Ndri. Keputusan gue udah bulat. Lo bisa gantiin gue. Gue yakin lo bisa memimpin mereka."     

"Tapi gue ga setangguh lo, Do. Gue ga punya kekuatan seperti lo."     

"Gue mau mendalami agama, Ndri. Gue pengen ngurusi nenek gue yang udah tua. Gue ga mau hidup dalam dunia gelap seperti ini terus. Sudah saatnya gue berubah. Dan gue mundur dari semua ini."     

"Lo egois, Do. Lo punya keluarga yaitu nenek lo. Sedangkan kita, kita ga punya siapa-siapa. Apa begitu yang namanya pemimpin? tega meninggalkan anakbuahnya dalam keadaan bahaya, sedangkan lo memilih hidup tenang dan nyaman."     

"Bukan begitu, Ndri."     

"Lo kebangetan, Do. Gue udah mau nemenin lo waktu lo ngajakin gue kabur dari pesantren waktu itu. Tapi sekarang lo tiba-tiba mau balik lagi ke sana dan ninggalin gue yang udah setia jadi sahabat lo selama ini."     

"Bukan begitu, Ndri. Gue cuma.."     

"Udah-udah gue ga mau denger alasan lo lagi, Do." Andri pergi meninggalkan ruangan itu. Edo menahan sesak di hatinya. Kenapa ingin menjadi orang baik aja susah begini. Pikir Edo. Dia tahu. Andri dalah sahabat yang menemani dia selama ini. Bahkan Andri yang sejak kecil menemani dia tinggal di jalanan. Segala suka duka pernah mereka lalui bersama.     

"Bos, memang tidak ada cara lain selain meninggalkan kami?" tanya Bojez yang tampak sedih dengan keputusan Edo.     

"Ini sudah keputusan gue. Kalau suatu hari kalian juga ingin meninggalkan dunia ini, datanglah ke pesantren milik nenekku di pinggiran kota. gue minta maaf sama lo semua. Gue pamit ya." Semua anak buah Edo di dalam ruangan itu tidak ada yang berani bicara. Mereka semua menunduk lesu. Edo walau keras perangainya, tapi mereka merasa aman berada di bawah pimpinan laki-laki itu. Edo mampu mengurus semuanya tanpa banyak bicara. Selalu berada di depan untuk melindungi anak buahnya. Bahkan sudah berapa kali dia terluka untuk melindungi anak buahnya.     

Keputusan dia kali ini benar-benar mengejutkan semua anak buahnya. Mereka sedih, semuanya keberatan. Tapi mereka tak punya hak untuk melarang. Hanya Andri yang berani mengambil sikap.     

Edo keluar membawa tas ransel yang tadi sempat ia tinggal saat akan menemui Aydin. Dia melihat Andri duduk di bantaran rel kereta api. berjongkok, dengan kepala menunduk.     

"Ndri, maafin gue ya. Kalau lo mau, lo bisa ikut sama gue ke pesantren yang dulu sempat kita tinggalin. Kita bisa belajar jadi orang baik di sana."     

"Kita udah terlanjur terjun di dunia kayak gini, Do. Kalau saja elo ga ngajakin gue kabur waktu itu, mungkin gue ga akan hidup sengsara di jalan kayak gini sama lo."     

"Maafin gue, Ndri. Tapi hidup di dunia ini sementara. Sampai kapan kita berada di dunia gelap seperti ini? gue bahkan ga tahu tujuan hidup gue apa. Sampai gue ketemu sama bang Wira. Ditambah gue harus merelakan Mahira. Karena gue merasa memang tidak pantas untuknya. Gue pengen hidup tenang dan normal. Ga dikejar-kejar bahaya kayak gini terus Ndri."     

"Iya gue ngerti. Tapi lo bakal jadi orang yang egois kalo pergi sendirian. Kalau lo emang niat berubah jadi lebih baik, ajak juga mereka karena lo pemimpin kita. Lo tahu resikonya jika kelompok timur sampai tahu kalau kelompok kita ga ada pemimpin? Kita mungkin bakal habis sama mereka, Do."     

"Gue udah bilang sama mereka, kalau mereka ingin meninggalkan dunia gelap ini, gue bakal terima mereka di pondok pesantren. Lo juga Ndri. Gue titip mereka sama lo ya." Edo menepuk bahu Andri sebagai salam perpisahan mereka. Edo menoleh ke arah punggung sahabatnya yang mulai menjauh.     

"Edoooo!! suatu hari nanti gue bakal nyusul lo," teriak Andri. Spontan Edo menoleh ke arahnya, mengacungkan jempolnya dan tersenyum pada Andri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.