INDIGO

#Timpalan Jiwa



#Timpalan Jiwa

0Kuatkan Diri Dengan Perisai Iman     

-------------------     

"Ada apa memangnya?"     

Aku bartanya sambil menaiki tangga perlahan menuju lantai 3.     

"Gak tahu kak, katanya ada yang lihatin dia terus di ranjangnya!"     

Yuni menjelaskan.     

Tanpa banyak ngobrol, aku dan Yuni langsung bergegas menuju kamar Anis.     

Ahhhhhhhhhh     

AaaahhHhhhhhh     

Dari lorong sudah bisa terdengar teriakkan dari salah satu kamar di lantai 3 ini.     

Itu pasti Anis.     

Ku percepat langkah ku dan segera menuju ke kamar Anis.     

"Tolong... Siapapun tolong aku. Dia gak mau pergi dari tadi!!!"     

Dia berteriak sambil melihat  lurus ke tembok sebelah ranjangnya.     

Dan disana juga sudah ada empat anak yang sedang berusaha menenangkan Anis. Karena dia memberontak dan berteriak-teriak.     

Aku datang dan melihat ke arah tembok yang di lihat oleh anis.     

Tapi aneh gak ada siapapun.     

Lantas aku berbalik.     

BRaakkkkkkk     

Aku terjatuh kebelakang saat mendapati sosok wanita tua memakai baju adat di hadapanku.     

Dia yang hanya diam dan melihat ke arahku, muka keriput yang sangat-sangat keriput membuat kesan semakin gak enak melihatnya.     

Dan dia membawa semacam sesajen di tangannya.     

"Eh kak kenapa!?"     

Yuni bertanya sambil memegang tanganku. Mencoba membantuku untuk berdiri.     

"Ah gak papa kok, cuma kepleset aja!"     

Aku bangun dan berjalan menuju ranjang Anis.     

Sosok wanita tua itu hanya berdiri mematung di ujung ranjang Anis. Berdiri sambil mulutnya yang komat-kamit mengucapkan sesuatu yang tidak bisa aku dengar.     

"PERGIIIII, PERGIIII!!!"     

Teriak Anis sambil memalingkan wajah dari sosok wanita tua itu.     

Aku datang dan memegang dahi Anis. Dan mencoba menenangkan nya.     

Gila, nih anak badannya panas banget.     

"Anis, Anis lihat kaka sekarang!"     

Aku mencoba untuk membuat perhatian dari Anis berpindah ke aku. Karena dengan melihat mataku dia akan sadar dari ketegangan nya.     

Aku pegang lehernya dan mencoba mengarahkan matanya agar bisa membuat kontak mata denganku.     

Dan belum sempat aku membuat kontak mata dengannya. Wanita tua itu sudah berada di unjung ranjang Anis, di atas kepalanya. Dia memegang kepalanya Anis menggunakan kedua tangannya.     

Mata yang semula biasa di Anis, berubah menjadi putih semua, bola matanya yang hitam tidak kelihatan sama sekali.     

Dia melihat ke arah atas dimana wanita tua itu berada.     

Dadanya terangkat naik ke atas dan badannya kaku semua.     

Aduh aku harus berbuat apa ini?     

Karena aku bingung aku langsung memegang pundak Anis dan mencoba mengangkat nya dari ranjang.     

Brakkk     

Dan aku di tampar oleh wanita tua itu.     

Aku terjatuh ke lantai. Sedangkan badannya anis masih pada posisi yang sama. Semakin lama semakin naik. Dadanya terangkat naik.     

Kepalaku pusing sekali, tamparan dari nya sangat terasa nyata sekali.     

Kulihat kilasan berbeda dari badannya Anis.     

Roh Anis, berada di ambang dari badannya. Seolah ingin keluar dari badannya.     

Aduh, jangan-jangan wanita tua ini ingin mengambil Anis.     

Anak-anak yang sebelumnya memegangi Anis, semua pada menepi di ujung kamar karena takut dengan kondisi Anis saat ini.     

"Tolong ada yang bisa panggilin Ayah JJ, untuk bisa ke kamar ini! Segera!"     

Aku meminta bantuan kepada anak-anak agar memanggil Ayah JJ, siapa tahu dia bisa mengerti hal ini. Karena lukisan itu adalah karyanya.     

Aku masih terduduk di lantai dan belum bangkit. Hanya bisa melihat Anis yang sedang berjuang di ranjangnya.     

Sosok Wanita Tua ini sungguhlah sangat kuat. Aku sampai tidak bisa berkutik di buat olehnya.     

Anis posisinya masih sama, dan Rohnya semakin lama semakin keluar dari tubuhnya.     

"Permisi"     

Ku lihat ke arah pintu. Ayah JJ datang bersama dengan anak-anak dan membawa Lukisan Yang tadinya terpasang di dinding.     

"Hei, kamu gak papa nak Ejh?"     

Dia berjongkok di sebelahku sambil memegang pundakku.     

"Gak papa yah. Tolong Anis!"     

Saat ku sampaikan pada ayah JJ bahwa Anis sudah dalam posisi yang sangat membahayakan.     

Ayah JJ langsung menuju ke ranjang Anis dan menaruh lukisan itu di atas tubun Anis.     

Ayah JJ mengucapakan beberapa kalimat dengan bahasa Jawa. Aku tidak tahu apa artinya.     

Tapi kuperhatikan dia dengan tanpa putus kontak.     

Perlahan lukisan itu di ambil dan di arahkan ke wanita tua itu.     

Dan dengan sendirinya kulihat wanita tua itu masuk ke dalam lukisan tersebut.     

Tanpa adanya pemberontakan dia hanya menurut.     

Anis yang tadinya terangkat dadanya sampai naik. Sekarang sudah dalam kondisi tidur di ranjang. Badannya sudah lemas, tidak kaku lagi. Dan matanya sudah kembali normal.     

Anis tertidur.     

Aku tahu pasti dia sangat kecapean dengan kejadian barusan.     

Ayah JJ, langsung membungkus lukisan tersebut dan membawanya pergi.     

"Terimakasih ya nak Ejh"     

Sambil tersenyum kepadaku dan pergi meninggalkan kamar.     

Kulihat dia berbincang dengan beberapa anak yang ada di kamar Anis tadi.     

Intinya mewanti-wanti untuk berjaga dan menemani Anis tidur.     

Aku yang masih duduk di ranjang, kemudian kupustukan untuk meninggalkan kamar Anis.     

Aku sangat kelelahan, rasanya wanita tua tadi juga menyerap energiku hingga membuatku lemas.     

Dia sudah pasti Jin yang mendiami lukisan tadi, dan merubah sosoknya menjadi yang ada di lukisan.     

Aku kembali ke kamarku untuk beristirahat.     

Kutaruh tas di meja dan kurebahkan badanku di ranjang.     

Hmmm mengapa aku jadi selemah ini ya.     

Aku hanya bisa bergumam dalam hati. Karena aku bingung dengan diriku sendiri.     

Apakah karena aku sudah jarang menggunakan kemampuan ku?     

Mangkanya di saat aku gunakan tadi menyerap energi yang sangat banyak.     

Hmmm aku juga tidak tahu...     

Andai kamu disini, tanpa aku tanya pun kamu pasti akan memberitahuku.     

------------------     

Hari yang melelahkan, semoga cuma hari ini saja.     

Dan tidak berlanjut...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.