Ciuman Pertama Aruna

IV-117. Bermain Teka-teki



IV-117. Bermain Teka-teki

0[Dua orang yang kau cari berada di tempat yang sama. Ini menakjubkan. Aku akan mengirim informasi tersebut pada rekan-rekan kita,] Rey terlihat tak sabar ketika dia lekas membuat panggilan, selepas mengirim pesan.     

[Jangan dulu!] Suara Gibran terdengar khawatir, [Temui aku. Mari kita bicara].     

.     

.     

"Kau tak akan percaya apa yang aku lihat," mobil menderu membawa lelaki bersurai hitam dan putra Barga sebagai pengemudinya. "Adikmu dan Hendra, mereka berjalan bersama," ujar Rey berikutnya.     

Terlihat tak terkejut, Gibran sekedar mengangguk ringan. "Dengan begitu, dia akan aman dari ayah kami,".     

"Aku tahu kau menyesal memintanya menjadi mata-mata di keluarga itu dan mereka menjadi dekat, tapi bukan berarti kau akan membiarkan dia mendukung musuh kita," dari kalimat yang diucapkan putra Barga, jelas pemuda itu terlihat keberatan mendengar kalimat Gibran.     

"Aku tidak pernah memintanya berada di keluarga pesaing kita, dia yang memilih masuk dan menjadi bagian mereka," Gibran menutup percakapan dengan tak lagi menanggapi apapun kalimat yang keluar dari bibir Rey berikutnya. Seburuk-buruknya hubungan dia dengan Gesang, masih ada sesuatu yang mustahil sirna dari angannya, bahwa adiknya banyak menderita dan pria tersebut berharap si bungsu selalu dalam keadaan baik.     

"Beritahu Bianca untuk mengirimkan surat resmi ku pada Mahendra, aku ingin bertemu dengannya sebagai pertemuan bisnis. Maaf, aku sempat gegabah dan melibatkanmu," Gibran meninggalkan mobil tersebut dan meminta kendaraan lain membawanya ke suatu tempat.     

***     

"Istri di dalam tuan," Tita menghentikan langkah Mahendra dengan kabar yang dia selipkan di antara langkah gesit pria itu menuju ruangannya. Merenung sejenak, lelaki dengan surai coklat dan mata biru cemerlang itu menoleh pada Herry dan meminta ajudan tersebut membawa pergi Juan dari hadapannya. "Temui human resource kita dan minta mereka memberi anak ini pekerjaan," ujarnya, memberi perintah pada ajudannya.     

"Apa aku tak bisa punya tempat seperti Herry?" Juan menyelipkan ke-engganannya.     

"Jangan melewati batasmu, ikuti perintahku," dan Mahendra baru beranjak menuju ruangan, selepas dia melihat dua pemuda itu menghilang dari tatapannya.     

"Istriku di dalam sendirian?" dia berjalan mendekati meja resepsionis yang khusus menangani ruang kerjanya dan ruang meeting yang biasa digunakan tuan muda Djoyodiningrat mengatur pertemuan mereka.     

"Tadi bersama dua orang, lelaki dengan rambut panjang berwarna platinum dan perempuan berseragam hitam, tapi kemudian mereka berdua keluar bersama. Sepertinya, nona menginginkan mereka meninggalkan ruangan anda," jawab Tita. Suaranya menyenangkan untuk diperdengarkan.     

"Oh, baiklah," Mahendra menghela nafas sejenak sebelum memutar daun pintu dan lekas menyadari seseorang di dalam berdiri untuknya. "Sudah lama, sayang?" ujarnya ringan, berjalan lebih cepat untuk menyambut perempuan hamil yang menawarkan pelukan.     

"Tidak juga," balas Aruna yang detik berikutnya memilih duduk kembali di sofa, "Aku membawakan sesuatu untukmu," dia mendorong bekal makan yang dia letakkan di atas meja. Perempuan hamil dengan dress berwarna krem itu menunggu dengan tidak sabar detik ini. Mereka tak bicara dengan benar tadi pagi.     

"Kau membuatnya?" mencoba menghibur istrinya dengan cara terbaik, Mahendra menampilkan ekspresi pura-pura terkejut dan senyum yang mengembang.     

"Di bantu, tidak sepenuhnya buatanku," jujur Aruna.     

"Kalau sepenuhnya buatanmu, aku yang akan marah," tangannya yang kanan bergerak membuka kotak bekal di hadapannya, "Kau tak di ijinkan terlalu lelah," dan tangan kiri lelaki tersebut mengusap-usap ringan punggung sang perempuan, "Sepertinya enak,".     

"Semoga," desah Aruna. Mata coklat perempuan itu menatap gerakan tangan ringan lelakinya menyendok satu suapan ke dalam mulutnya.     

"Kau membuatku gemetar jika matamu menatapku seperti itu," ucap Mahendra, menggoda istrinya. Detik berikutnya, tangan pria itu benar-benar bergetar, lebih tepatnya tersentak sampai kuah pada sendokan keduanya tumpah. Aruna secara mengejutkan memberinya kecupan di pipi, "Jangan menggangguku," keluhnya.     

Perempuan hamil itu bangkit dari duduknya, menanggalkan usapan nyaman yang diberikan suaminya pada punggungnya. Dia berjalan memutari kursi guna mencari tisu dan kembali dengan beberapa helai, kemudian membersihkan meja yang basah oleh tumpahan kuah pada sendok Mahendra.     

Menggenggam tisu yang kotor, Aruna berjalan menuju tong sampah terdekat, menginjak pedal—agar tutup dari benda penampung sampah itu terbuka, lalu membuangnya.     

Berdiri beberapa detik di dekat tong sampah kecil yang terletak di sudut ruangan, perempuan dengan mata coklat itu sudah membulatkan tekad dengan duduk lama mengamati ruang kerja yang baru milik suaminya. Tak banyak yang berubah dari sebelumnya. Bahkan, foto pernikahan yang dia sendiri siapkan sebagai background meja kerja Mahendra, masih menjadi pusat perhatian di ruangan baru ini.     

Aruna menoleh ke beberapa sisi. Perubahan yang paling menonjol sekedar jumlah rak buku yang bertambah lebar, sepertinya itu disengaja. Sebab, pada sela-sela tempat deretan buku tersebut, perempuan yang hari ini mengenakan dress berwarna krem itu bisa melihat foto maternitynya yang diambil beberapa minggu silam. Satu foto yang nampaknya pilihan pribadi Mahendra berdiri dengan nyaman pada meja kerja pria itu.     

"Apakah kau sudah membaca semua buku yang ada pada rak bukumu, -yang menakjubkan ini?" Aruna bertanya ketika dirinya telah berdiri di depan salah satu foto dirinya sendiri dengan konsep bunga-bunga baby breath.     

"Sebelum aku berjumpa denganmu, bahkan beberapa buku telah aku baca lebih dari dua kali," dia yang bicara masih menikmati makannya.     

"Jadi sejak aku datang, kamu kehilangan kebiasaan itu?" Aruna bisa mendengar pria itu berdehem.     

"Berada di dekatmu dan mendapatkan bonus bercinta, lebih mengesankan daripada buku," pria itu tahu perempuan yang menjadi lawan bicaranya sempat meraih sebuah buku di tangannya, sebab dia mendengar benturan buku dengan kayu—tanda Aruna meletakkan kembali kumpulan kertas itu dengan kasar pada tempatnya. "Aku tidak bisa memungkiri kenyataan itu," Mahendra meletakkan sendoknya, dia menoleh ke belakang dan dua iris berbeda warna itu saling bertautan. "Bahkan hari ini, aku melihatmu semakin cantik,".     

Perempuan bermata coklat membuang senyuman dan kembali pada rak buku. Meninggalkan mata biru yang masih menatapnya.     

"Aku meletakkan tiga buku baru di rak ini. Aku tidak tahu ada dimanakah dua yang lain—sekarang, sebab aku hanya menemukan satu saja," Mahendra melihat istrinya memegangi sebuah buku berwarna ungu di tangannya. Sepertinya itu buku yang tadi di letakkan, yang diiringi benturan nyaring oleh Aruna.     

"Kau ingin aku membacanya?," pria yang tadinya menolehkan arah pandangannya pada sang istri, kini kembali pada makanannya. Menyantap kembali apa yang dibawa perempuan hamil itu.     

"Bisa jadi," ujar Aruna, asal. Kembali mengamati suaminya dan dia mendapati punggung pria itu, "Atau mungkin lebih dari itu," Mahendra masih bisa mendengar gumaman ini.     

Langkah-langkah kaki berjalan dari sisi belakang menembus gendang telinga lelaki bermata biru, semacam ritme yang menyenangkan. Mahendra menikmatinya, ketika dia bisa mendengar bunyi sepatu Aruna yang kini sudah lebih nyaman dengan flat shoes cantik di pandang mata—menurut pria itu.     

Namun, saat Mahendra merasa istrinya hanya tinggal selangkah untuk menyentuh lebih dekat dengannya, perempuan itu berhenti berjalan. _Dia pandai membuatku berdebar_ lelaki itu berpikir istrinya akan mendekapnya dari belakang. Kenyataannya, Aruna membelokkan langkahnya ke sisi lain. Dia memutari kursi panjang dan kembali duduk, tapi tidak di samping suaminya, melainkan di hadapannya.     

Manik mata biru cemerlang naik untuk melihat perempuan bermata coklat, yang melihat secara lugas caranya menikmati makanan. "Aku suka melihat bros di dadamu," Mahendra memecah keheningan yang tercipta sesaat di antara mereka.     

"Apa menurutmu ini sangat cantik?" Aruna menyentuhnya. Menyentuh bros di dada kirinya. "Apakah kalau aku menanggalkannya, aku akan kehilangan kecantikanku?" dia benar-benar menanggalkan benda tersebut dari bajunya dan meletakkannya di atas meja, lalu menatap pria yang mengerutkan alis padanya. "Temukan tiga buku yang aku selipkan di rak bukumu," ujar perempuan hamil itu berikutnya.     

"Kamu sedang bermain teka teki denganku?" pria yang kini sepenuhnya mengabaikan makanannya, mencoba mengurai keramahan di balik firasatnya yang tak jenak.     

Tampak enggan menjawab pertanyaan tersebut, perempuan hamil di hadapan Mahendra terlihat mendorong bros berkilau indah ke arahnya. Gesekan antara benda dengan meja kaca terdengar.     

Tindakan tersebut menyadarkan Mahendra bahwa Aruna menyimpan amarah kemelut di hatinya—dengan pemahamannya terkait bros yang tanpa sadar di tekan istrinya, hingga perempuan itu bahkan tidak tahu jika lelaki bermata biru itu paham akan gejolak samar yang ditunjukkan olehnya.     

"Aku yakin kamu tahu letaknya, jika kamu yang menyelipkannya. Kenapa tidak memberitahuku secara langsung?,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.