Ciuman Pertama Aruna

IV-116. Ungkapan Permohonan



IV-116. Ungkapan Permohonan

0"Anda tidak mengenal saya?" Mahendra menjawab dengan melempar pertanyaan lagi.     

"Saya hanya pernah dengar pewaris tunggal," _yang dibenci setengah mati oleh Rio_ "Berambut coklat dan bermata biru," jawab perempuan tersebut.     

Mahendra masih enggan mengiyakan pernyataan lawan bicaranya. Yang dia lakukan detik ini ialah mengamati perempuan berumur tersebut, sampai gendang telinganya mendengar pintu kamar di buka lebar-lebar dan seseorang berdiri di sana. Tampaknya, pemuda—yang membuka pintu—tersebut mencoba untuk memastikan beradaannya dengan tergesah.     

Mengalihkan pandangannya, Mahendra menatap sepupunya yang juga menatapnya dengan terheran, "Kau?"     

Pemuda yang mengenakan pakaian santai berwarna coklat itu menunduk sedalam-dalamnya. Mengambil nafas sebanyak dia bisa, "Ma, dia—" kalimat ini belum usai ketika Mahendra menyahutnya.     

"Ya, benar. Saya Mahendra Hadyan Djoyodiningrat," dan lelaki bermata biru itu menjadi lebih bersahabat daripada sebelumnya kepada perempuan yang kian tertegun oleh pengakuan lawan bicaranya. Mahendra mundur dan memasuki kamar Jav, diikuti oleh Juan yang mendapatkan pesan bervolume rendah dari pria yang berjalan melintasinya.     

Berkebalikan dengan ekspresi tergugah ibunya yang lekas panik dan memilih menuruni tangga, berharap bisa menghidangkan sesuatu. Langkah Juan menjadi berat untuk memasuki kamar Jav, sebab dia sudah menciptakan kegaduhan luar biasa bagi pria yang kini berada dalam ruangan tersebut.     

Jav mencoba bangit ketika mengetahui tuannya memasuki kamarnya, dan dengan isyarat, Mahendra memintanya tetap berbaring. Lelaki itu melirik sesuatu, kursi di sudut ruangan. Seperti tengah berebut kecepatan, Juan mendahului Herry dengan gerakan gesitnya menggeser benda tersebut untuk tuan muda Djoyodiningrat tersebut.     

Mahendra memandang pemuda—yang berhasil menarik kursi untuknya—itu dengan tatapan kurang menyenangkan, bersama gerakannya duduk, "Katakan, apa alasan yang masuk akal sampai aku bisa meloloskanmu dari amarahku?," to the point, dia menyudutkan sepupunya sendiri.     

Pemuda yang ditanya mengedipkan matanya beberapa kali. Sampai merasa siap menjawab, pandangannya masih enggan mengarah pada pria yang duduk di atas kursi, "Anda pernah menyukai seseorang dengan cara gila, jangan bilang tidak—karena saya korbannya. Anggap saya dalam posisi kelam anda waktu itu," kini matanya mengarah pada Mahendra dengan tatapan berani.     

"Hah! Sial!" dia berdecih dan membalas tatapan Juan dengan lebih tajam. Masalahnya, sepupunya tampak tak memiliki kegentaran sedikitpun oleh tatapannya. "Kau!" keluh Mahendra, "Kita memiliki pertalian darah, kalau tidak? aku sudah—,"     

"Sudah memukul saya?" pernyataan berani Juan, "Anda pernah melakukannya kepada saya, waktu anda berada di titik mengenaskan itu," kata-kata di ujung kalimat Juan, sengaja disampaikan dengan intonasi lambat.     

Mahendra spontan berdiri, membuat Herry waspada dan berusaha menghalangi tuannya, "Tuan, ada seorang ibu di sini," peringatan tersebut tampaknya sangat berefek, sebab pria dengan ekspresi geram itu lekas duduk kembali pada tempatnya.     

"Kau benar-benar beruntung kali ini," dia mendorong mundur Herry supaya tak begitu dekat dengannya. Merapikan jas dengan spontan, Mahendra kembali duduk dan memangku salah satu kakinya. Suasana hatinya terlihat sangat buruk, tapi tak bisa berbuat apa-apa.     

Ketiganya mengabaikan seseorang yang sakit, yang berada di tengah-tengah mereka, "Boleh saya memberi saran?," suara lemah Jav memecah atmosfer panas dan canggung di ruangan tersebut.     

"Diam!" kalimat ini keluar bersamaan dari mulut Mahendra dan Juan. Detik berikutnya, keduanya saling memandang, sesaat kemudian masing-masing membuang muka satu sama lain. Ketegangan itu masih berlangsung sampai suara ketukan hadir dan seorang ibu mengantar empat cangkir minuman beserta snack ringan ke dalam kamar yang bernuansa panas.     

Meletakkan minuman di atas meja dengan hati-hati, ibu Juan kembali memandang Mahendra, sesaat sebelum izin keluar dan tiba-tiba menghentikan langkah kakinya di ambang pintu, "Saya tahu anda telah menjamin keselamatan saya dan putra saya," berdiri tegap mengarah pada tuan muda bermata biru, perempuan berumur itu membungkukan sedikit badannya—condong empat puluh lima derajat dari posisi tegap—dia memberi isyarat rasa terima kasih yang demikian mendalam. Jelas sangat kebalikan dengan anaknya yang dengan sengaja melakukan kesalahan fatal tapi masih mencoba untuk menyangkal perbuatan gilanya.     

"Apa itu?" selepas ibu Juan keluar dari kamar, Mahendra memandang satu persatu dari ketiga pemuda yang berada dalam satu ruangan. "Tak ada yang ingin menjelaskannya padaku?" dia tidak mengerti, mengapa dirinya mendapatkan ucapan terima kasih. Dia merasa tidak menjamin apapun atas keselamatan perempuan tersebut atau putranya. Lelaki bermata biru itu baru tahu sekarang bahwa sepupu termasuk ibu pemuda tersebut tinggal bersama Jav.     

Herry spontan menggeleng terkait ketidak tahuannya, dan pemuda tersebut tertangkap jujur di mata tuannya. Juan pun sama. Dia tidak menggelengkan kepala, tapi sepupu sialan itu sama terkejutnya dengan dirinya. Gaya keterkejutan yang dia tunjukkan pada yang lain bahkan serupa dengan lelaki bermata biru, dan itu yang membuat Mahendra kian muak.     

Kini, giliran Jav. Terlihat pemuda penuh lebam yang terbaring itu, lagi-lagi tampak diliputi banyak dosa, "Tetua," hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, namun bisa membuat yang lain langsung paham.     

Mahendra mengangkat tangannya, tanda meminta pemuda itu tidak melanjutkan kata-katanya. Pria ini sudah tahu kata berikutnya, yang tak lain tak bukan pasti permintaan maaf yang membuat telinganya gatal. Jav sudah mengatakan kata itu berulang kali semalam.     

Pemuda yang sudah melakukan kesalah fatal itu tidak mungkin berani menampung dua orang berbahaya tersebut secara percaya diri, kalau dia tidak mendapat dukungan dari seseorang. Yang paling tidak terduga, dukungan tersebut berasal dari tetua Wiryo. Keluarga yang menyebalkan bagi Mahendra, sebab dengan keputusan tersebut segalanya sekedar berputar saja.     

"Cepatlah sembuh," kata Mahendra, selepas menegak minuman hangat dengan sekali tegak dalam satu gelas penuh dan tak menyisakan setetes pun. Lelaki dengan mata biru cemerlang itu hendak pergi, tatkala sepupunya yang menyebalkan kembali berulah. Pemuda itu berlari menutupi pintu yang akan dia lewati, "Ahh! Kau pikir kau masih bocah?! Jangan konyol!"     

"Ajari aku bebas dari titik paling mengenaskan itu," ujar Juan.     

"Apa kau bilang?!" Mahendra menjadi beringas, berjalan lebih cepat dan meraih kerah baju sepupunya sendiri. Kini, Herry sudah tak sanggup lagi menyelamatkan pemuda tersebut, "Kenapa kau selalu mengatakan kata mengenaskan!!" dia yang bicara berdesis tak terima. Tiap kata itu diucapkan oleh Juan, pria dengan manik mata menyala itu sesungguhnya sedang ditampar rasa malunya sendiri atas bayangan di masa lalu, bahwa dia terlihat konyol tatkala menghajar ajudan bodoh yang dia analogikan sebagai pesaingnya yang berhasil menghancurkan pernikahannya menjadi kacau balau, terutama dirinya sendiri.      

Kini, saat dia sudah melewati berbagai masalah dan memenangkan hati perempuan—yang dulu menjadi penyebab tindakan impulsifnya tersebut—yang tengah mengandung babynya, itu terasa sangat memalukan. Telinga dan wajahnya memerah. Sesungguhnya bukan karena marah, melainkan karena malu pada diri sendiri.     

"Karena aku tahu kau bisa membantuku. Kau bisa bangkit dari keterpurukan itu, dan aku ingin mengikuti jejakmu," Juan berusaha membalas kalimat ancaman yang ditujukkan Mahendra, tersengal, ia berupaya mendorong tubuh tegap di hadapannya.     

"Aku rela memulainya dari dasar, aku akan jadi pesuruhmu. Tak masalah, kak!," dan akhirnya tubuh lelaki bermata biru terdorong, sehingga pemuda itu terbebas.     

"Dasar penjilat!" tukas Mahendra, bengis. "Beraninya memanggilku kak!"      

"Baiklah, tuan. Angkat aku jadi muridmu," pemuda bernama asli Gesang mengangkat tangan dan menyatukan dua telapak tangannya, sehingga menciptakan ungkapan permohonan.     

"Aku tidak mau pergi dari negara ini. Aku mau disini sampai aku bisa menemukan sesuatu yang benar, yang bisa kukerjakan. Minimal, aku bisa membahagiakan ibuku. Aku mohon," dia berujar masih dengan menciptakan tanda permohonan, dengan mata tertutup dan tangan menyatu. "Dan mengambil dia lagi, seperti yang anda lakukan pada istri anda," kalimat berikutnya terdengar lebih serius daripada permohonan yang lain.     

"Gadis itu mustahil menghindari pernikahan dengan kakakmu," Mahendra berujar tak kalah seriusnya, "Ini sekedar prediksiku, tapi," pria ini tampak enggan mengatakan kalimat berikutnya.     

"Prediksi anda jarang meleset," nada bicara Juan menjadi lebih sopan. "Saya sudah siap menelan pil terburuk, saya sekedar ingin terlihat lebih baik di tengah keadaan yang bakal menyakiti kami berdua," dia dan Mahendra bertukar pandang, sebelum kedua lelaki yang masih memiliki ikatan darah itu berjalan bersama meninggalkan rumah Jav dan seorang ibu yang menatap punggung putranya dengan lega.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.