Ciuman Pertama Aruna

IV-118. Terganggu



IV-118. Terganggu

0"Aku yakin kau tahu letaknya, jika kau yang menyelipkannya. Kenapa tidak memberitahuku secara langsung?," mata itu mencoba mengamati dengan lamat, meminta jawaban.     

Diam beberapa saat seolah mengumpulkan keberanian, Aruna mengatakan, "aku ingin kau mencarinya,"     

Mahendra awalnya sekedar menduga, namun kali ini lelaki tersebut paham bahwa istrinya benar-benar sedang berkecamuk hebat.     

Menanggalkan makan sebab kehilangan selera, Mahendra merapikan makanan di hadapannya, "Aku harus bekerja," Aruna membuat anggukan ringan kala mendengarkan kalimat ini, "Aku berharap istriku kembali ke hotel dan istirahat,"     

"Aku akan menunggumu," Mahendra spontan menghentikan gerakannya. Waktu seolah berhenti beberapa detik untuknya. Lalu, sebuah desahan kembali keluar dari bibirnya kala perempuan itu kembali berujar, "Apakah aku tak boleh menunggumu disini?"     

"Aku tidak ingin membuat larangan, namun kau tak akan nyaman" tukas Mahendra, "Gedung ini tidak memiliki kamar yang bisa kau gunakan untuk istirahat,"     

"Aku bisa memanfaatkan sofa yang saat ini kau duduki," suara Aruna memberi kesan keras kepala bagi benak lelaki bermata biru.     

"Terserah kau," dia bangkit dari duduknya dan dari sekilas pandang, Mahendra tahu bahwa Aruna tengah menggerakkan tangannya untuk meringkus, lalu meletakkan bekal makan yang dia sempat rapikan ke bawah meja.     

Perempuan hamil itu berjalan menuju sofa—yang suaminya duduki, ketika lelaki bermata biru membuat panggilan melalui sambungan telepon. Menanyakan jadwalnya, Mahendra menoleh sesaat dan melihat istrinya menanggalkan coat merah. Lalu meraih bantal kursi dan meletakkannya di ujung sofa paling kanan dari tempatnya duduk, menepuk beberapa kali sebelum Aruna melepaskan sepatunya lalu berbaring di sana.     

[Wawancara akhir sebelum penandatanganan pengganti sementara CEO Surya, lalu—] Tita belum usai bersuara, tatkala Mahendra memotong penjelasan perempuan tersebut.     

[Berhenti di situ, cari pemuda berambut platinum yang tadi datang bersama istriku. Dia kandidatnya,] jelas Mahendra.     

[Baik.] diujung sana, Tita menutup panggilan Mahendra, kemudian lekas melaksanakan perintahnya.     

Dan di dalam ruang kerja, lelaki bermata biru membalik penuh tubuhnya ke arah dimana istrinya telah menutup mata dan terdiam membujur. Membuat pengamatan beberapa saat, Mahendra berjalan menuju sela antara sofa dan meja di hadapan tubuh perempuan hamil tersebut.     

Duduk di ujung meja kayu rendah, manik mata biru itu mengamati pemandangan yang mengganggunya. Dia merasa khawatir seandainya tanpa sadar—tubuh tersebut membuat gerakan berlebih, perempuan hamil di hadapannya itu bisa terjatuh.     

Meletakkan telapak tangan kanannya pada perut yang membesar, Mahendra membuat elusan dan mendekatkan bibirnya menuju daun telinga sang perempuan. "Kau sangat mengganggu, aku kalah," dia yang membuat bisikan, mendapati mata coklat istrinya terbuka lebar.     

Menolehkan wajah kepada Mahendra, Aruna menjawab bisikannya, "Kita tidak sedang bersaing, kenapa kau bilang kalah?"     

Bibir merah alami itu menampakkan senyuman kecil, "Kalau begitu anggap saja aku pasrah dengan semua keinginanmu. Apapun yang kau inginkan akan aku lakukan, asal aku tidak melihatmu,"     

"Kau merasa terganggu dengan keberadaanku?" serobot Aruna.     

"Tidak. Bukan begitu," Mahendra buru-buru mengkonfirmasi.     

"Kalau begitu, biarkan aku disini," dia yang bicara kembali menutup mata.     

Menunduk sejenak sebab merasa tidak berhasil membujuk istrinya, Mahendra berdiri. Memutari meja dan mendorong meja kayu tersebut—jelas bukan benda yang ringan untuk digeser—sampai benda itu menyentuh tepian sofa.     

"Apa yang kau lakukan?" mata Aruna kembali terbuka.     

"Membuat diriku sendiri nyaman," ujar Mahendra, mengangkat bahunya. "Tak perlu memikirkan kemungkinan kau akan jatuh,"     

"Hendra, aku bukan anak kecil yang tak mampu membedakan sofa dan ranjang," kilah perempuan hamil itu.     

"Masalahnya, aku selalu berlebih terhadapmu. Dan, hal itu tak bisa kukendalikan," pria yang tadinya mengangkat bahu, detik ini mengangkat kedua telapak tangannya menampilkan ekspresi pasrah.     

Sekejap sang perempuan melirik lelaki tersebut sebelum menutup kembali matanya, dan Mahendra melangkah keluar ruangan.      

***     

Lantai tertinggi gedung pencakar langit pusat aktivitas seluruh perusahaan Djoyo Makmur Group adalah kafetaria, atau lebih tepatnya sebagai tempat melepas penat. Tempat paling atas itu dibiarkan lapang, menawarkan dinding kaca dan panorama kota.     

Sambil menunggu tugas berikutnya, dua orang duduk di ujung paling sunyi dan berbatasan langsung dengan kaca-kaca membentang dari lantai hingga langit-langit ruangan. Satu diantaranya lebih banyak menatap luar, dan yang lain memegang cangkir kopi dengan pandangan menerawang.     

"Aku pergi dulu," lelaki yang memegangi cangkir bangkit dari duduknya. Sedangkan gadis yang mendengar kalimat kedua, setelah rangkaian kata "Apakah aku boleh menjenguk keluargamu?" sekitar dua puluh menit yang lalu dan kemudian dia hanya mengangguk, menjadikan segalanya senyap sampai detik-detik berikutnya.     

Detik ini, dia yang berkenan menatap pria itu langsung mengernyitkan dahinya, menyadari sesuatu yang kurang menyenangkan, "Sejak kapan merokok?" pandangan gadis itu jatuh pada benda yang dia tahu adalah korek api dan sebuah pak marek rokok tertentu, yang spontan kembali masuk saku.      

"Milan kadang membosankan," ujar pria itu, sebelum melangkah meninggalkan cangkir kopi yang telah kosong.     

'Jangan sekali-kali mencoba mengambil celah di antara kami,' gadis ini menatap pemukiman metropolitan di bawah sana. 'Rasa balas budi dan ikatan pertunangan kami bukan sesuatu yang layak disandingkan. Dia hanya mengasihanimu dan terjebak dengan traumanya karena tragedi itu. Saat waktu berlalu, aku yakin hubungan kami akan membaik,'     

'Kau menemuiku hanya ingin mengatakan ini?' Kihrani menghirup udara sebanyak ia bisa. Kejadian beberapa hari lalu, kini mengudara bak atmosfer panas yang menyerang paru-parunya, 'Simpan tenagamu karena kau hanya buang-buang waktu, aku bahkan tak memiliki pikiran apa pun. Kau telah menurunkan standarmu dengan memberiku peringatan,' gadis yang detik menghirup udara sebanyak-banyaknya masih mengingat suara ketukan sepatu hak tinggi yang bahkan tak mampu dia kenakan.     

***     

"Kau tidak akan menyesal mengambil cuti dan menunda kelulusanmu?" ujar Mahendra pada lelaki berambut platinum, yang detik ini memeriksa tiap kata pada surat keputusan pengangkatannya.     

"Saya melanjutkan pendidikan karena perintah, bahkan saya akan mundur dan meninggalkan pendidikan jika anda menginginkannya," dia mengambil pena, dan dalam waktu singkat goresan dari gerakan tangan singkatnya menandakan kemantapan hatinya.     

"Kita mendapatkan banyak masalah akhir-akhir ini" jawab Mahendra, "Mencapai kestabilan seperti semula, sudah cukup bagiku,"     

"Saya akan mencoba mendekati pencapaian anda yang belum pernah terkalahkan," ujar Thomas, mencuri perhatian Mahendra.     

"Aku suka semangatmu, tapi jangan kehilangan logikamu," nada pesimis terdengar dari kalimat itu. Lelaki bermata biru tengah realistis detik ini.     

"Eksponensial, tidak ada yang mustahil, saya hanya butuh kepercayaan anda," dan Mahendra hanya mengangguk, memberi kesan bijaksana. "Mengapa kita tidak membuat pesta tiga tahunan Djoyo makmur grup di langsungkan? Penundaan berlarut-larut, menimbulkan tanda tanya di cabang,"     

"Surya yang menghandlenya dan aku melupakan banyak hal akhir-akhir ini, lakukan jika menurutmu itu akan membawa dampak positif. Cobalah berdiskusi dengannya," saran Mahendra mendapatkan anggukan. Tita dari arah belakang terlihat merapikan lembaran kertas di hadapan Thomas dan keluar lebih awal.     

Sebelum lelaki berambut platinum itu keluar ruangan, Mahendra memintanya berhenti melangkah, "Apa kau bersama ajudan istriku?"     

"Hah' apa??" nada terkejut Thomas membuat lelaki bermata biru mengernyit.     

"Maksudku, apa kau bisa memanggilkan ajudan perempuan istriku? Em' Kih? Siapa namanya?" dia yang bicara berusaha mengingat.      

"Anda, menginginkan Kihrani datang ke ruangan ini?" Thomas mencoba memahami keinginan Mahendra.     

"Ya. Tepat sekali," jawabnya singkat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.