Ciuman Pertama Aruna

IV-121. Gambaran Menyakitkan Bagi Karakter Pria



IV-121. Gambaran Menyakitkan Bagi Karakter Pria

0Dia duduk tepat di samping keberadaan kepala istrinya, sembari menekan tiga buah garis di antara dua alis yang mengerut. Perempuan tidur itu mengabaikan sentuhannya dan kembali menenang dalam kantuknya.     

Beberapa menit berlalu, Mahendra mencukupkan perenungannya. Mendekati tubuh Aruna, lelaki bermata biru menuruti instingnya untuk mengecup bibir istrinya. Berawal dari kecupan lembut, dia tergoda untuk menyesap.     

Dia tidak tahu mengapa, tapi entah bagaimana dirinya merasa membutuhkan sentuhan lembut yang mampu meredam kemelut hatinya, dan itu tak lain adalah bibir lembut istrinya.     

Mendorong kesadaran Aruna, Mahendra berhasil membuat perempuan itu terengah oleh caranya menyesap bibir bawah istrinya. Dia melepas tautan ketika menyadari perempuannya telah membuka mata lebar-lebar.     

Aruna berusaha bangkit dari caranya tidur ketika Mahendra berakhir duduk di sisinya. Beberapa helai surai perempuan itu jatuh tak beraturan, sebab ikatannya koyak ketika dia tertidur. Manik mata biru mengamati hal tersebut secara detail, seolah hal itu sayang untuk dilewatkan.      

Mengulurkan tangan kanannya untuk menarik ikat rambut sang istri—hingga surai memanjang tersebut terurai lepas dan bebas, Mahendra lekas memberinya elusan lembut dengan niat merapikan rambut istrinya.     

Saat dimana perempuannya memberinya senyuman tipis, dia tak kuasa untuk menahan hasratnya. Mahendra perlu merengut dan merasakan sekali lagi rasa manis bibir lembut yang mampu membuatnya melalaikan sejenak terkait protes keras, yang sejujurnya tengah disuarakan perempuan—yang detik ini—dalam dekapannya.     

"Aku mencintaimu," bisiknya lirih di telinga Aruna. "Jangan meragukan itu," _Aku hanya butuh lebih dalam mempelajari semua tentangmu_      

"Percayalah, aku ingin kau selalu bahagia," pelukannya mendapatkan balasan dan kini, pria itu bisa merasakan pelukan lain yang seolah hadir dari perut buncit istrinya, yang mendesaknya. Dia tak kuasa untuk tak merabanya. "Aku tidak sabar menunggu baby hadir di antara kita,".     

"Sama," gumam Aruna. Dan kalimat berikutnya dari perempuan hamil itu hilang ditelan bibir lelaki bermata biru, yang detik ini perlahan menutup matanya.     

Sejalan berikutnya, Aruna sudah tidak mengingat lagi bagaimana Mahendra berhasil menandai lehernya dan mulai berusaha menarik resleting dressnya yang berada pada punggung.     

Ditarik mengikuti alur resleting, punggung yang dulu menjadi korban tragedi itu terbuka sebagian. Dan dengan gerakan pasti, pria itu telah berhasil menyentil penyangga dua buah benda kenyal yang kini lebih berisi dari sebelumnya.     

Ketika mengetahui penyangga tersebut kini merenggang—dengan bibir yang masih enggan meninggalkan tautan—lelaki bermata biru mulai membuat gosokan hangat pada punggung, lalu perlahan menyusup ke bagian yang lebih dalam dan berhasil meraih apa yang dia mau.     

Memijat dengan gerakan lembut nan menggoda dua buah benda kenyal milik istrinya, Aruna berhasil dilucuti dengan gerakan halus—akan tetapi menuntut—dari lelaki bermata biru yang tampaknya kehilangan kesabaran.     

Mendorong sang istri secara perlahan, hingga kini, perempuan hamil itu jatuh dengan posisi berbaring pada sofa yang tadi menjadi tempatnya terbaring. Mahendra mulai menindihnya sembari melepas jas yang membalut tubuhnya dan dengan begitu gesit, si lelaki yang detik ini raut wajahnya telah memerah atas desakan hasrat di hatinya mulai melepas satu persatu kancing bajunya dan membiarkan dirinya telajang dada. Berbeda dengan Aruna yang dibiarkan dadanya terbuka, namun perutnya masih dilapisi dress.     

Mengikuti instingnya, lelaki bermata biru mendorong kaki sang istri dan berusaha meraih sesuatu dibawah sana, ketika sebuah ketukan membuat keduanya menoleh pada pintu dengan panik. Tangan mungil Aruna spontan menepuk bahu telanjang itu kuat-kuat supaya pria di atasnya lekas sadar, bahkan mereka belum sempat mengunci pintu ruang kerja Mahendra.     

Melompat dengan gesit—bahkan setengah berlari, Mahendra menghampiri pintu. Dia membukanya sedikit dan berusaha berkomunikasi dengan memanfaatkan celah sempit.     

"Tuan, utusan Tarantula grup datang," ujar Tita, ragu-ragu.     

Mahendra sempat mendiamkan resepsionis pribadinya sejenak, sebelum ia berujar, "Biarkan Thomas mengambil alih," lalu berusaha menutup rapat pintu. Namun detik berikutnya, pria itu membuka kembali sejengkal tanpa menunjukkan keberadaanya. "Jangan mencoba mengetuk atau yang lainnya, aku tak mau di ganggu. Dan siapkan kemeja baru untukku, serta dress untuk istriku,".     

Tuan muda Djoyodiningrat itu tidak menyadari bagaimana Tita melebarkan matanya, tatkala mendengar kalimat perintah tersebut. Gadis itu sempat menangkap mulutnya dengan kedua telapak tangan, sebelum berbalik kemudian berlari dan mencari ajudan istri presdir Djoyo Makmur group, demi menanyakan ukuran baju perempuan hamil tersebut.     

Kini, derit suara dari pengunci pintu yang diputar, menghasilkan senyum mengembang pada bibir lelaki bermata biru, ketika dia mendapati istrinya sendiri tengah mendongak untuk menatapnya dalam kondisi berantakan sebab ulahnya.     

Tatkala Mahendra hampir sampai pada tempat perempuan yang ingin segera dia kuasai, kain yang membungkus bagian bawah pria itu dia tinggalkan di lantai. Dan kini, dia siap datang.     

Dan dengan segera, lenguhan perempuan di bawah kendalinya menjadikan Mahendra kian bersemangat mengulur waktu selama mungkin untuk mencapai apa yang keduanya harapkan.     

Terseret ke dalam lembah yang sama, buliran peluh berpadu dengan cengkeraman perempuan yang perlahan menguat—hingga membuat goresan—dan lambat laun kian melemah adalah bukti bagaimana pria itu telah berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Sejalan dengan kemampuannya memuaskan, apa yang juga diharapkan sang perempuan.     

Membiarkan perempuannya menikmati istirahat dengan berbaring miring di sofa, Mahendra memilih duduk pada selasar karpet dan benda yang menjadi tempat terbaringnya Aruna sebagai sandarannya. Menutup matanya dan masih membiarkan tubuhnya tak terlapisi kain, selain celana panjang. Punggung pria itu tepat di depan tubuh perempuan hamil yang terbaring.     

"Apa yang kau pikirkan?," ini suara Aruna. Jemari perempuan tersebut membelai rambut coklat itu dari arah belakang, kemudian perlahan menyentuh bahunya. Lalu, punggung lelaki yang masih menutup matanya pun tak lepas dari sentuhannya.     

Sebuah pijatan pada pelipis Mahendra sajikan, sebelum menoleh pada wajah sang istri dan memberi kecupan ringan di atas permukaan bibir perempuan yang belum sempat memperbaiki letak dress, yang koyak oleh perbuatan pria tersebut.     

Meletakkan kepala pada lengan yang digunakan sang perempuan untuk menyembunyikan buah dadanya. Mahendra memilih menatap warna coklat iris mata istrinya yang kini kembali menghangat, di bandingkan menjawab pertanyaan tersebut.     

Melihat keengganan yang di pertontonkan suaminya untuk bersuara, sekali lagi, perempuan tersebut berusaha membasuh butiran peluh yang menghiasi pelipis Mahendra.     

Membiarkan keheningan menguasai keduanya. Tangan lembut sang perempuan masih bergerak perlahan, memberi pria itu kenyamanan yang sejujurnya kian mengiris hati terdalam lelaki bermata biru.     

"Mustahil bagimu menjadi Tini," tiba-tiba pria itu berkata di luar konteks.     

"Kau sudah membacanya?"     

"Hanya resensi, gambaran yang menyakitkan bagi karakter pria," ujar Mahendra, jawabannya keluar dari jawaban normal, "Mungkin aku atau dirimu, masing-masing terjebak dalam belenggu yang serupa. Tapi, andai salah satu dari kita tidak ada yang bisa menemukan solusi, kupastikan tak akan ada perpisahan. Aku yang akan bertahan selamanya, sejak awal dan sampai kapan pun." dia seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri, alih alih membiarkan dirinya berdialog dengan Aruna. "Untuk menjadi Tini, kau harus menghadapi pria yang akan memaksamu bertahan. Dan jika kau tetap memaksakan kepergian, hal tersebut serupa dengan tindakan membunuhku perlahan-lahan," ujarnya lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.