Ciuman Pertama Aruna

IV-122. Berhenti Mematahkan Sayap Bayi Perempuan



IV-122. Berhenti Mematahkan Sayap Bayi Perempuan

0"Untuk menjadi Tini, kau harus menghadapi pria yang akan memaksamu bertahan. Dan jika kau tetap memaksakan kepergian, hal tersebut serupa dengan tindakan membunuhku perlahan-lahan," ujar Mahendra.     

"Sepertinya kau salah menangkap maksudku," Aruna bangkit dari duduknya. Membenarkan dressnya dan berusaha menarik ritsleting di belakang punggungnya. Perempuan hamil itu menahan nafas pasrah, sebab alat penutup pakaian yang terdiri atas deretan gerigi, yang terbuat dari logam atau plastik itu sulit ia gapai. Sehingga, lelaki di sampingnya yang menyelesaikan tindakan tersebut.     

"Ini bukan tentang saling menjauh atau semacamnya," selepas ritsleting Aruna terpasang sempurna, dia menurunkan kakinya ke atas karpet, tepat di samping lelaki yang duduk berselasar di atas hamparan penutup lantai yang dibuat dari bulu domba itu.     

Dengan posisi Aruna yang duduk di sofa, membuat lelaki bermata biru kini menarik diri dan membenamkan kepalanya pada paha sang perempuan yang belum menyadari rasa takut, yang sejujurnya kini menggerogoti pria tersebut, dan disembunyikan rapat-rapat sampai dadanya terasa mendapatkan tekanan kuat oleh sebongkah dinding imajiner yang mendorongnya untuk memeluk tubuh dengan perut mengembung berisikan buah cinta mereka.     

"Jika bukan itu—mengancam untuk menjauh atau berpisah—lalu apa?. Aku tak sanggup lagi menebak isi kepalamu," keluh Mahendra.     

"Aku hanya mempertanyakan, apa yang akan terjadi pada babyku jika terlahir perempuan?" spontan kepala Mahendra—yang awalnya menikmati paha istrinya—terangkat untuk memperhatikan wajah perempuan yang mengujarkan pertanyaan tersebut, "Dan tidak aku dapati apa pun, dia hanya akan berakhir sebagai penghuni rumah megah yang telah menginternalisasi nilai-nilai seksisme[1] dan mewariskan seksisme secara terstruktur padanya. Tanpa bisa berbuat apa-apa, sebab telah ada sejak ia dilahirkan," kini, lelaki bermata biru duduk tegap dan menarik kakinya, bersila menatap perempuannya.     

Aruna sedang mendapati keseriusan tatapan Mahendra. Beberapa saat sebelum dia memutuskan mengirim buku-bukunya yang penuh makna, mommy Gayatri lah yang memberi saran, bahwa lelaki dengan manik mata biru itu tak akan terkalahkan argumennya jika kita hanya bermodal kemampuan berbicara.     

Pria itu punya aura yang kuat, yang bisa membungkam lawan bicaranya. Kecuali dia telah menemukan sebuah latar belakang yang mendasar, yang membuatnya penasaran dengan mendekatinya melalui hal-hal yang dia suka, yakni buku.     

"Bukankah kita telah menginternalisasi seksisme yang sesungguhnya, dan ikut andil melestarikannya? Jika kau mau mencermati apa yang terjadi pada dua perempuan sebelum aku masuk dalam lingkungan keluargamu, kau tak akan bisa memungkiri bahwa mereka dengan terpaksa atau mungkin tanpa sadar, sekedar hidup di dalam kegelapan tanpa mampu berkutik dengan dalih keselamatan," Mahendra menggenggam jemari tangannya sendiri kuat-kuat, mendengar barisan kata yang meluncur dari bibir istrinya.     

Seolah hendak melemparkan sanggahan, Mahendra berujar, "Tapi, itu—"     

"Stop! Aku belum selesai bicara, dan jangan katakan 'tapi ini kenyataan," Aruna mengambil nafasnya. Meraih pita rambut yang tergeletak sembarangan di atas sofa, perempuan tersebut mengikat rambutnya dan berusaha menemukan keberanian berikutnya. "Kenyataanya, keluarga ini tidak memberi kami—para perempuan—kesempatan untuk berperan. Kenapa kau tak mencoba mengajariku menggunakan senjata api jika untuk melawan musuh-musuh kalian perlu menggunakannya? alih-alih di latih kami sekedar diminta bersembunyi?. Atau minimal, memberi kesempatan dua perempuan yang terkurung mengambil pemahamannya tentang keadaan yang dia hadapi, oh! Aku lupa, sekarang tiga. Ada tiga perempuan yang seharusnya memperjuangkan haknya untuk berkembang, bukan begitu?".     

Mahendra membuang tatapannya, ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Namun, melihat apa yang kini diproteskan Aruna, pria tersebut tak bisa memungkiri tentang fakta-fakta yang ada di keluarganya. Para lelaki adalah pusat kehidupan dan perempuan-perempuan Djoyodiningrat terkubur dalam sangkar emas mereka.     

Dia memilih mendengar, sampai dirinya mampu memahami dengan menyeluruh kehendak istrinya.     

"Jika aku berhenti dan memilih menerima tradisi patriarki keluarga ini, itu sama halnya dengan mematahkan sayap baby perempuan yang lahir dari rahimku. Bukankah lucu? Aku yang menjalani kehamilan sehat tak diizinkan melanjutkan kuliahku? Kau pikir semudah itu, aku mengalami hipertensi tanpa ada pemicu? Aku memikirkan itu semua. Secara menyeluruh. kau pun sebagai ayah dari calon bayi-bayi kita, sebaiknya ikut merenungi ini.     

Akan jadi apa baby kita jika terlahir perempuan? Apakah sekali lagi, dia hanya diizinkan hidup layaknya putri negeri dongeng pada sangkar emas keluarga Djoyodiningrat? Seperti kehidupan mommymu? Apakah kau tidak pernah bertanya, kenapa mommymu berakhir setragis itu selama bertahun-tahun? Dia tak terlihat layaknya perempuan bodoh, dia hanya tidak pernah diberi kesempatan," Aruna tak kuasa menahan kemelut hatinya. Air matanya meleleh, sehingga perempuan hamil itu menutupi wajahnya lalu mengisak sendiri.     

Sama halnya dengan Mahendra, yang bahkan tak pernah merasa ada yang salah dengan kondisi keluarganya, kecuali cara kakeknya yang terlalu keras mendidiknya.     

Dirinya tidak sekalipun mencoba menggali pemikiran dari sudut pandang perempuan dalam lingkaran belenggu keluarga adidaya Djoyodiningrat, yang sebelumnya merupakan kumpulan manusia hancur.     

Aruna datang, dan segala hal tentang perilaku yang jelas di luar kebiasaan yang ada ikut serta membersamainya. Dia bukan sekedar membawa perubahan. Gadis yang berasal dari keluarga ajudan ini, kini mulai berani memperjuangkan perubahan-perubahan di lingkungan keluarga konglomerat berpengaruh tersebut.     

"Kenapa Susi dan ajudan perempuan lainnya, tidak diizinkan tinggal di luar rumah induk? Mengapa ketika mereka menikah, mereka harus menyelesaikan pengabdiannya? Mengapa berbeda dengan ajudan-ajudan mu yang laki-laki?" lelaki bermata biru itu tidak bisa menjawabnya.     

"Aku tak akan berlari seperti dulu, Hendra. Aku mengandung babymu. Aku bukan lagi gadis yang bisa meninggalkan suaminya seenaknya, seperti dulu. Sebab, aku dan kau punya manusia kecil yang akan membutuhkan kita berdua. Aku akan tetap di sini dan akan terus memperjuangkan hakku sebagai perempuan, atau minimal sebagai manusia. Sebab, aku tak mau putriku berakhir seperti oma Sukma yang telah melebur dan menerima segala bentuk seksisme yang di tempatkan padanya. Dia tersenyum palsu tiap saat, itu mengerikan!.     

.      

.      

[1] Kamus Merriam-Webster juga memiliki definisi seksisme yang jika diterjemahkan secara bebas adalah "prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, khususnya diskriminasi terhadap perempuan". Selain itu, kamus tersebut juga memahami seksisme sebagai "perilaku, kondisi, atau sikap yang membantu tumbuhnya praktek stereotip peran-peran sosial berdasarkan jenis kelamin."      

Sederhananya menempatkan salah satu gender di bawah gender lainnya.     

Contohnya: ketika seorang anak lelaki tumbuh di luar koridor nilai-nilai moral, maka kalimat yang menguar 'wajar anak laki-laki'. Sedangkan untuk perempuan akan menjadi berbeda. Perempuan harus mengurus anak dan laki-laki tak punya tanggung jawab untuk merawat, bahkan sekedar membantu menggendong bayi yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Sehingga mampu mengurangi resiko baby blues, bukan sebaliknya, menjadi persoalan yang kian menggerogoti tiap ibu muda.     

Si lelaki berhak sekolah setinggi-tingginya dan yang memiliki berkarir tinggi akan di agung-agungkan. Sedangkan perempuan yang memiliki karir bagus, akan dipertanyakan bagaimana nasib anak dan suaminya? Sejalan dengan pernyataan: Perempuan sekolah tinggi buat apa?.     

Gadis yang banyak senyum akan dicela genit. Tak pernah senyum, dicela judes. Laki-laki jarang senyum dibilang macho. Standar ramah menjadi berbeda dengan gender yang beda.      

Bahkan untuk senyum atau tidaknya seorang perempuan, telah menjelma sebagai sesuatu yang teramat rumit untuk masyarakat yang terlanjur menginternalisasi seksisme.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.