Ciuman Pertama Aruna

IV-123. Kode Kromosom XX



IV-123. Kode Kromosom XX

0"Aku tak akan berlari seperti dulu, Hendra. Aku mengandung babymu. Aku bukan lagi gadis yang bisa meninggalkan suaminya seenaknya, seperti dulu. Sebab, aku dan kau punya manusia kecil yang akan membutuhkan kita berdua. Aku akan tetap di sini dan akan terus memperjuangkan hakku sebagai perempuan, atau minimal sebagai manusia. Sebab, aku tak mau putriku berakhir seperti oma Sukma yang telah melebur dan menerima segala bentuk seksisme yang di tempatkan padanya. Dia tersenyum palsu tiap saat, itu mengerikan!.     

 Atau mommy Gayatri, yang perlu waktu berpuluh-puluh tahun untuk menerima dirinya sendiri, yang dianggap sebagai pewaris yang tidak layak. Tidak produktif. Bukan karena dia tak mampu, tapi karena dia tidak diberi kesempatan. Bahkan lebih dari itu, mommy tidak diberi kepercayaan oleh ayahnya sendiri. Aku tidak mau anakku berakhir seperti dia, kalau aku pada akhirnya hanya melahirkan bayi perempuan," Aruna seolah tidak memiliki waktu bernafas ketika mengujarkan kalimat-kalimat protesnya, yang perlahan menjadikan isi kepala Mahendra kian berkecamuk.     

Selepas kejadian marahnya Mahendra—hanya karena dirinya dan mommy Gayatri melintasi gerbang rumah induk sekedar untuk melepas penat, menjadi salah satu pengunjung salon dengan dua orang ajudan sebagai pengawas—Aruna banyak mengambil waktu untuk memulai percakapan dengan ibu mertuanya, Gayatri.     

Bagaimana kehidupan perempuan itu sebelumnya. Mengapa sang putri cantik nan anggun keluarga Djoyodiningrat tersebut, tidak keberatan atas perilaku putranya, dan tidak menyampaikan protes? Benarkah selama hidupnya lebih banyak di dalam rumah layaknya tahanan, di banding manusia pada umumnya.     

Hingga Aruna menemukan titik temu yang mencengangkan. Bagaimana perempuan ayu itu bahkan sengaja disingkirkan dan disembunyikan dari publik oleh ayahnya ketika kondisi perusahaan Djoyo Makmur group dalam keadaan terburuk, alih-alih sang ayah memberitahu dan meyakinkan semua orang bahwa dia—yang seorang perempuan—bisa jadi mampu memegang estafet kerajaan bisnis berikutnya.     

Langkah paling kentara dari sang ayah dalam menyelesaikan masalah dengan cara menyembunyikannya, mengirim putrinya ke USA, sebagai mahasiswa baru yang hanya ditemani seorang ajudan perempuan dan tak diizinkan menampakkan diri bahwa ia merupakan Gayatri yang seorang putri Wiryo. Identitasnya di tutupi rapat kala di luar negri.     

Dalam kondisi paling kalut dan tidak stabil tersebut, datang seorang pria, layaknya malaikat, pria tersebut mendekati kehidupan tuan putri terkurung yang kekurangan kasih sayang sang ayah. Lelaki muda yang menurut kisah mommy menjelma sebagai penolong.     

"Pemuda itu diam-diam membuntutiku, dan secara tidak langsung selalu membantuku ketika aku mengalami culture syok di negara bagian tersebut. Dia menyimpan banyak gambar di dalam gulungan panjang mirip tabung berwarna hitam, yang dibawanya ke mana-mana. Aku sempat penasaran mengapa dia selalu memasukkan kertas ke dalam tabung tersebut, tiap kali aku menemukannya secara sembunyi-sembunyi memperhatikanku. Sampai dalam suatu kejadian, temannya, dengan sengaja mencuri dan menyebarkan sketsa wajah hasil karya mahasiswa seni tersebut, yang tak lain adalah milik lelaki bermata biru tersebut. Ternyata, semua sketsa yang dia ciptakan adalah gambar wajah satu orang perempuan dengan berbagai momen, dan gambar wajah tersebut ialah wajahku sendiri,"     

"Kami menjadi dekat. Ajudan yang juga perawatku—tak jauh umurnya denganku, dia yang iba dengan kehidupanku lantas mengizinkanku menjalani kisah cinta pertamaku. Sebab, dia tahu suatu saat aku akan berakhir dengan pernikahan yang dijodohkan," kalimat ini adalah ungkapan mommy pada Aruna. "Aku bahkan tak lagi ingat bagaimana segalanya menjadi kian erat dan Hendra hadir di antara kami. Kemudian dia menghilang begitu saja,"     

"Di hari-hari sebelum aku mencoba bunuh diri, lelaki itu berusaha membebaskan kami berdua, aku dan Mahendra dari belenggu papi. Melawan kehendak seorang presdir Djoyo Makmur Group, dia berujung menerima tuntutan hukum atas percobaan penculikan. Pilihan yang harus dia ambil: antara dideportasi, yang artinya meninggalkan kami selamanya, atau masuk penjara. Tentu saja masuk penjara mustahil dia ambil, dia memiliki karir yang akan dipertaruhkan, sejalan dengan riwayat kriminal yang bakal menjeratnya dia sama seperti bunuh diri,"     

"Aku tak punya kemampuan membantunya, sebab secara tertulis kami tidak pernah menikah. Aku tak bisa melawan ayahku sendiri, dan aku tak sanggup saat mendapati putraku merengek setiap saat meminta dibelikan seorang ayah. Lalu, kudatangi dia, dan ternyata dia benar-benar memilih menghilang untuk kedua kali. Kala itu aku rasa semua kesalahan papi, hingga akhirnya aku ingin mengakhiri hidup untuk menghukum papi atas dosa-dosanya. Kini kuyakini kejadian hilangnya ayah Hendra untuk kedua kali, bukan perkara biasa. Walaupun papi tak pernah menceritakannya secara detail, ku menyakini hilangnya pria itu tak sesederhana yang aku pikirkan,"     

Di masa kini, perempuan yang lehernya masih dipenuhi tanda merah, Aruna—termasuk sebuah celana dalam yang tergeletak di atas meja dan dibiarkan begitu saja, secara mengejutkan menuju tong sampah.     

"Apa yang kau lakukan Aruna?" tanya Mahendra. Pria tersebut berjalan cepat mendekati perempuan yang menekuk kakinya mendekat pada tong sampah dan berusaha mengais sesuatu. Dia berhasil meraih lebih dahulu benda kotor itu dan memeriksanya secara rinci.     

Mata biru itu mendapati sesuatu. Kertas asing yang ternyata hasil pemeriksaan kehamilan istrinya. Di sana, di salah satu keterangan dalam kertas itu bertuliskan kode kromosom XX, yang artinya bayi perempuan.     

Aruna bangkit dengan bersusah payah, ketika Mahendra telah menanggalkan tong sampah dan memegangi kertas di tangannya.     

Kini, garis wajah tegas dengan mata biru cemerlang itu tak tersenyum atau berapi-api—seperti ekspresinya sebelum-sebelumnya—kala mendambakan bayi perempuan.     

Mahendra begitu menginginkan bayi perempuan, akan tetapi, sepertinya bahkan pria itu mulai meragukan bahwa dirinya mampu memberi ruang terbaik untuk kehidupan perempuan-perempuan dalam lingkaran keluarganya.     

"Sebab ini, aku akan berusaha menunjukkan sisi serigala dalam diri perempuanku. Kau akan menjadi lawanku andai kita memilih jalan berseberangan, Mahendra," Aruna berdiri tegap dengan gaya bicara, yang bahkan terkesan menantang suaminya sendiri.     

Berbenturan dengan keadaan dan kondisi yang ada, terkait bagaimana orang-orangnya berakhir sebagai korban yang mendapatkan luka secara fisik dan mental atas perseteruan dua keluarga yang tidak ada habisnya. Mahendra juga dihadapkan dengan masalah internal dalam keluarganya, terkait pemenuhan hak yang dituntut istrinya untuk bayi kecil yang akan lahir sebagai buah cita pertama mereka. Kelahiran putrinya sendiri.     

Mencoba membuat keputusan sesingkat mungkin—dengan rangkaian kalimat terbaik yang bisa meredam kemelut hati istrinya—Mahendra yang masih bertelanjang dada, berjalan mendekati tubuh mungil sang istri lalu memeluknya.     

Tangan kanannya masih menggenggam hasil pemeriksaan resmi jenis kelamin bayi di perut istrinya, "Aku tak bisa membawa perubahan sendirian. Bantu aku, dan beri tahu diriku ketika aku berada dalam jalur yang salah, mari kita coba perbaiki ini bersama-sama. Seperti klan serigala, walaupun rumit, mereka saling menyatu dalam bekerja sama,"     

"Maaf, aku terlalu berapi-api hari ini," gumam Aruna, yang kembali terisak dalam dekapan dada bidang suaminya.     

"Tidak ada yang salah dari usaha seorang calon ibu yang berusaha memperjuangkan masa depan putrinya, aluri keibuan adalah anugrah Tuhan yang perlu disyukuri," Mahendra merenggangkan dekapannya, berupaya menemukan wajah istrinya.     

Menangkup wajah mungil Aruna dengan kedua telapak tangannya, lelaki bermata biru itu kembali berujar, "Aku percaya padamu, bahwa kau perempuan yang dikirim Tuhan untuk mengubah kehidupan kelamku. Maka dari itu, percayalah padaku bahwa aku selalu berusaha menghadirkan kebahagiaan untukmu, untuk baby kita, untuk keluarga ini, untuk semua orang yang menjadi bagian dari kehidupan kita,"     

Aruna mengangguk. Dan sekali lagi memeluk suaminya.     

.     

 .     

"Hendra,"     

"Hemm,"     

"Jangan memelukku lama-lama," keluh Aruna, "Lepaskan aku,"     

"Tidak," tukas Mahendra, "Aku masih menginginkan ini,"     

Memukul pelan punggung terbuka suaminya, Aruna berujar, "Aku takut kau meminta ronde kedua,"     

"Apa aku bisa mendapatkannya?" dia menggoda Aruna.     

"Sudah kuduga,"     

"Hahaha, ayolah, sayang," bujuk Mahendra, "Dari belakang," dia berbisik tepat di telinga, "Kau tinggal menikmati, aku yang akan menyenangkanmu,"     

"Tapi, Kau—" rona merah itu mulai menjalar pada pipi cabi Aruna, "Aku tidak mau kalau terlalu lama,"     

"Ya, baiklah. Apapun asal istriku bahagia," dan mereka kembali bersama mengarungi badai ekstase yang diciptakan lelaki bermata biru.     

.      

.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.