Ciuman Pertama Aruna

IV-125. Tidak Ada Harapan



IV-125. Tidak Ada Harapan

0"Jangan melihatku seperti itu," sekali lagi, Aruna memprotes Kihrani yang memandangnya dengan canggung, selepas nonanya mengumpulkan helai rambutnya dan membuat ikatan ke atas sehingga leher perempuan itu tersibak, "Saat kau menikah nanti, kau akan mengerti bagaimana pria kadang kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri saat mereka menginginkan mu," dia melirik gadis yang juga mengikat rambut panjangnya, "Walaupun bekasnya terlihat mengerikan, tapi sebenarnya kita pun menikmatinya." dan ajudan tersebut sekedar tersenyum, lalu kembali merangkai bunga ke dalam vas.     

"Dulu, aku menolak melakukannya, lebih dari satu tahun pernikahanku," perempuan dengan manik mata coklat hangat tersebut bangkit dari duduknya. Dia berdiri, sehingga ajudannya bisa melihat bagaimana nona muda Djoyodiningrat itu nampak mengenakan kemeja suaminya yang kebesaran, "Aku sangat egois, bukan?" tanya Aruna, Kihrani sekedar menjadi pendengar yang baik, sembari tangannya bergerak cekatan menyusupkan tangkai demi tangkai bunga segar ke dalam vas di hadapannya.     

"Aku pikir dia akan menguasaiku secara penuh, andai aku menyerahkan diriku secara utuh. Aku pikir, aku masih bisa melepaskan diri sebebas-bebasnya, kala aku belum tersentuh. Pemikiran yang sangat logis, menurutku waktu itu," perempuan hamil yang berjalan perlahan, detik ini telah sampai pada benda yang ingin dia tuju. Baju ganti yang sempurna, yang disiapkan suaminya. Mengulurkan tangannya, meraba pakaian tersebut, Aruna berujar, "Sayangnya, ada sesuatu yang mustahil kita kendalikan, yaitu hati kita.".     

Sang nona nampak mulai melapisi dirinya dengan baju ganti, membuat Kihrani mengalihkan pandangan. Dia telah usai merapikan bunga dalam vas kristal. Kini, gadis tersebut memilih merapikan letak coat merah yang terjatuh. Tangannya tak bisa berhenti menata meja yang di atasnya masih tersaji kotak-kotak berisi asupan makanan yang perlu dihabiskan nonanya.     

"Anda sebaiknya menghabiskan makan anda," Kihrani menoleh dan mendapati perempuan bermata coklat itu sudah dalam keadaan lebih baik. Kemeja suaminya tersampir di lengannya.     

"Mengapa kau mengalihkan topik pembicaraan kita?"     

Gadis yang menjadi lawan bicara Aruna tersentak, dia terlihat panik seketika. "Saya—"     

"Aku hanya bercanda," Aruna berjalan mendekat, "Aku akan membersihkan diri. Biarkan saja. Nanti aku yang melanjutkan," beberapa langkah perempuan ini berjalan, dia kembali menatap gadis yang masih sibuk merapikan sesuatu yang ada di sekitarnya. "Aku tahu kita seumuran. Bagaimanapun juga aku sudah menikah, aku rasa, aku bisa memberimu saran yang bermakna sebagai sahabat," mendengar kata-kata mengejutkan dari nonanya, Kihrani lekas menoleh pada Aruna.     

Berjalan mendekat, Aruna meraih handphonenya dan meletakkan benda tersebut di atas meja tempat dimana gadis—yang juga ajudannya—itu bisa memandangi smartphonenya dengan leluasa. "Kau harus memberi tahu dia, jangan seperti diriku. Beranikan diri untuk lebih tegas, kalau kamu tidak ingin memberinya harapan," suara ini mengiringi cara perempuan muda itu membaca pesan yang dikirim nomor bernama Vian.     

"Maaf, nona. Saya tidak tahu dia mengganggu anda," lirih Kihrani, menyampaikan permintaan maafnya. Dia sangat malu detik ini. Gadis yang menundukkan kepalanya itu bisa melihat bagaimana Vian mencoba merayu nonanya, agar ajudan perempuan itu kembali mendapatkan tugas merawat pria bermata sendu tersebut.     

"Tidak masalah. Hanya saja, dia bilang kau tidak pernah menerima panggilan teleponnya dan membalas pesannya, aku rasa itu cara yang tidak tepat," dia yang menjadi lawan bicara Aruna hanya bisa menarik bibirnya dan mengangguk. Ternyata, obrolan yang sejak tadi diujarkan nonanya dengan tujuan ini—memberi saran Kihrani. Kini, gadis berambut panjang itu bisa memahami bagaimana gaya berkomunikasi perempuan yang sering kali cenderung terlalu halus—hingga kadang membuatnya sulit dipahami—dan tampaknya, Kihrani kini menjadi gamblang selepas melihat ekspresinya.     

"Sudah aku katakan, kadang kala pria yang mencintai kita tidak bisa mengendalikan perasaannya. Dulu aku tak percaya ini dan kenyataannya, kau bisa melihat seberapa berantakan diriku. Ini bukti nyata bagaimana mereka selalu berapi-api terhadap perasaan yang mereka miliki. Laki-laki tipe seperti suamiku—bisa jadi termasuk Vian, akan membuatmu kesusahan saat kau tak mau memberinya ketegasan," panjang lebar Aruna memberi saran.     

"Saya sudah tegas, tapi dia—saya belum begitu mengenalnya," menatap malu-malu pada nonanya, gadis ini jujur apa adanya.     

Tampaknya, perempuan hamil yang berkata akan membersihkan diri, lebih tertarik dengan jawaban ajudannya. Sehingga dia kembali bertanya pada gadis itu, "Kau sudah menjelaskan isi hatimu?"      

Gadis ini mencoba mengingat, "Menurut saya, sudah,"     

"Oh' kau menolaknya?" lugas Aruna berucap.     

"Saya ingin fokus pada diri saya lebih dahulu, sebelum memikirkan yang lain. Saya nyaman dan bahagia dengan apa yang saya lakukan sekarang, saya tidak ingin lebih," tukas Kihrani, menatap nonanya.      

"Atau kau menyukai orang lain?" telisik Aruna.     

"Entah lah. Saya hanya belum memikirkan apapun, selain diri saya sendiri dan keluarga," mantap Kihrani menjawabnya.     

"Baiklah," menganggukkan kepala ringan, Aruna lantas mencoba memberi bantuan pada ajudannya, "Aku akan mencoba meredam Vian untuk sementara, sampai kau bisa memberinya pengertian,"     

Tersenyum tipis, selepas Kihrani berucap, "Terima kasih nona,"     

Aruna hendak meninggalkan Kihrani, namun rasa penasaran masih menyita nona muda tersebut, "Aku ingat, kau pernah menceritakan asmara bertepuk sebelah tangan?" ingatan ibu hamil ini lebih tajam, sebab dia mulai dekat dengan ajudannya. Berawal dari dirinya yang tengah menangis dan melihat mata gadis itu juga bengkak, kemudian mereka saling bertukar kesedihan. (Chapter IV-3. Berteman).     

Terkekeh sumbang, Kihrani berucap dengan nada getir, "Tidak ada harapan, dan saya lebih suka melupakannya," tutupnya singkat, tak memberi waktu Aruna untuk bersuara lagi. Hingga akhirnya, perempuan hamil itu meninggalkan dirinya. Tak bisa dipungkiri bahwa kepergian nonanya itu, membuat gadis ini menjadi demikian lega luar biasa.     

Namun, dibalik itu semua, Kihrani menjadi murung seketika. 'Tidak ada harapan', demikian lah yang terjadi sebenarnya.     

Perempuan yang mendatanginya, yang suara hentakan sepatu hak tingginya masih tersisa di telinganya, menampakan sesuatu pada pergelangan tangannya. Sangat jelas bahwa itu simbol yang nyata, tentang dia—Kihrani—bukan siapa-siapa untuk seseorang yang sempat membuatnya menangis atas kepergiannya. Segalanya sudah nyata.     

.     

.     

[Jangan ganggu nona lagi. Kau membuatku malu!] pesan Kihrani pada Vian.     

[Bagaimana lagi? Kau terus-terusan mengabaikan pesan dan teleponku] dan balasan dari lelaki bermata sendu itu, membuat Kihrani memutar manik matanya. Malas.     

[Apakah kau tak punya rasa malu, dengan mengganggu nona Aruna?]     

[Tidak ada cara lain] seringai tipis muncul di bibir Vian.     

[Kau sungguh keterlaluan. Kau aneh dan tidak masuk akal!] menggeram pelan, wajah gadis ini mulai merah. Jengkel dengan pria yang tak pernah lelah mengganggu dirinya.     

[Ya. Aku tahu itu] balas Vian apa adanya, [Sayangnya, aku tak bisa menahan diri. Ada sesuatu di dadaku yang membuatku sesak tiap kali mengingatmu. Aku tak mengerti mengapa. Jadi datanglah! Supaya aku berhenti mengganggumu]     

[Berjanjilah jangan menggangguku lagi setelah aku datang. Ini yang terakhir. Aku sangat sibuk. Kalau aku datang, artinya aku bolos kuliah demi menemuimu] Kihrani rasanya ingin melempar handphonenya, dia masih belum bisa menerima mengapa di dunia ini ada pemaksa seaneh Vian.     

Kini, dia jadi mengerti kalimat yang sempat disampaikan Pradita padanya. Vian adalah lelaki yang paling bertekad dan paling keras kepala dari yang lain. _Mari kita lihat siapa yang paling keras kepala!_ guman Kihrani. Berdiri dari duduknya dan mengamati sesuatu lain, yang bisa mengalihkan kekesalannya terhadap sikap pria yang terkesan kekanak-kanakan.     

***     

"Berikan berkasnya padaku," lelaki dengan rambut panjang yang terikat ke belakang, lekas bangkit dan mendekati duduk Mahendra.     

Di ruang meeting terbatas, hanya ada empat orang di dalamnya. Raka, Direktur DM Construction—yang telah luluh hatinya, bahkan berhasil mengubah gelombang pengunduran diri atas keputusannya menetap di perusahaan konstruksi di bawah naungan Djoyo Makmur group—Thomas sang CEO sementara, dan juga presdir DM group, Mahendra.     

"Saya tidak mengerti bagaimana bisa mereka berubah haluan secepat ini. Bukan sekedar demo yang redam, mereka juga siap mengambil alih pekerja di bawah," tampaknya hanya direktur DM Construction yang tidak paham atas apa yang terjadi dibalik semua kekacauan di antara dua perusahaan besar tersebut.     

"Konsentrasi pada proyek baru kita di wilayah timur, kami sudah mendapatkan dana segar yang siap digunakan," ujar Mahendra. Dia tidak melihat berkas utama yang telah ditandatangani Thomas, melainkan pesan lain yang terselip pada halaman paling belakang. 'Kembalikan Syakilla, sebelum aku tak sanggup lagi menahan kemarahan ku dan ku manfaatkan orang-orang ayahku'.     

Mahendra memahami maksud putra Rio. Gibran tetaplah berbahaya dibalik pembawaannya yang terkesan bijaksana dan dewasa dari pada putra-putri Tarantula yang lain.     

"Thomas, minta beberapa orang ikut denganku, termasuk Juan! Dan kau—Raka, ambil Syakilla. Kemudian bawa dia ke tempat yang sudah kita sepakati," perintah Mahendra mendapatkan anggukan dari para si empunya nama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.