Ciuman Pertama Aruna

IV-124. Perwakilan Perusahaan



IV-124. Perwakilan Perusahaan

0"Kau?" Bianca lekas tercenung oleh apa yang dia lihat, sebab melihat pria yang menyambut kedatangannya. Seseorang yang menerimanya dalam kunjungan resmi perwakilan Tarantula group.     

"Silakan duduk!" pria ini tersenyum ramah. Menggeser kursi untuk dirinya sendiri dan duduk dengan kaki kiri yang tertumpu pada kaki kanan. Berdasarkan pertimbangan keamanan—gadis yang bahkan tidak memiliki aura berbahaya ini—Thomas bersedia menjamunya diluar lantai perkantoran pusat Djoyo Makmur Group.     

Sama dengan yang dilakukan Thomas, Bianca lekas mengambil tempat duduk menyambut permintaan kliennya.     

"Jangan khawatir, aku hanya perwakilan Djoyo Makmur Group. Seperti inilah pekerjaanku disini," kerutan di dahi Bianca lah, yang menjadi alasan mengapa Thomas mengatakan ini.     

"Bukankah aku harusnya menemukan anda sebagai mantan karyawan DM grup?," kalimat telisik Bianca mendapat senyuman Thomas.     

"Aku memutuskan bergabung kembali. Jika pengetahuanmu ini, kau sampaikan pada Intan pun—tak masalah," Bianca mengangguk mendengar ungkapan Thomas. Gadis ini sudah meniatkan hal tersebut sebelum pria dengan rambut platinum itu mengatakannya.     

Putri dari Adam Nalendra itu meyakini Thomas yang kembali pada DM group adalah informasi yang dibutuhkan dua sahabat, sekaligus rekan bisnis keluarganya. Masalahnya, Bianca bahkan tidak tahu bahwa Intan sudah memutuskan menerima tawaran pria tersebut, dan segala sarannya dalam mengatur departemen storenya.     

Putri Salim tersebut—lebih dari pengetahuan yang lain—mulai sulit menemukan kepercayaan dirinya untuk mengelola perusahaannya sendiri di dua tahun terakhir. Dia berjalan tanpa arah, sebab krisis besar yang menimpa perusahaan retailnya. Gadis itu terlambat mengantisipasi terjadinya Disruption Technology Digital dalam Industri 4.0., oleh sebab itu, tawaran Thomas mustahil untuk di tolak.     

"Baik, sekarang boleh saya tahu apa yang anda bawa untuk kami?" Thomas membuka percakapan mengenai kunjungan gadis yg menjadi utusan Tarantula tersebut.     

"Oh'," sempat sibuk dengan menu makanan, Bianca kini kembali fokus dengan apa yang menjadi tugasnya. "Saya mengirimkan email dan belum mendapatkan balasan berarti dari presdir Djoyo Makmur Group. Sejujurnya, ini bukan urusan bisnis—kurasa," gadis itu sadar dirinya dimanfaatkan secara pribadi oleh Gibran. "Saya datang untuk menyerahkan ini," sebuah amplop coklat keluar dari tas yang dibawa putri Adam, dan kini telah sampai di tangan Thomas.     

"Karena ini permintaan khusus dan menurut saya butuh pertimbangan langsung—minimal CEO, atau kalau mungkin Presdir Djoyo Makmur group dan membutuhkan balasan dengan segera, saya rasa anda langsung memberikannya pada mereka," bukannya mengikuti saran Bianca, Thomas lekas memutar pengait yang untuk membuka berkas tersebut. "Apa yang anda lakukan?"     

Mengabaikan seruan gadis di hadapannya, Thomas lekas memeriksa lembaran kertas di tangannya. "Oh' ini menarik,".     

Perusahaan Tarantula yang sebelumnya dengan sengaja mengabaikan pekerja lapangan—pekerja paling dasar—dengan tujuan menciptakan kegaduhan, bahkan lebih tepatnya menyulut mereka untuk menjalankan aksi protes terhadap kebijakan DM Construction atas putusan sepihak, yakni menghentikan pembangunan. Walaupun pihak Djoyo Makmur group telah membayar ganti rugi, tapi sebagian dari mereka tetap merasa dirugikan sebab tak sesuai dengan kontrak awal.     

Sebanyak apapun ganti rugi tersebut, pemutusan kerja inilah yang dijadikan bahan bakar gelombang protes—yang kemudian dimanfaatkan oleh Tarantula group. Namun saat ini, perusahaan tersebut malah mengirimkan seseorang untuk menjalin kerjasama—entah dalam hal apa.      

"Saya akan langsung menandatanganinya. Tuan Hendra, kuyakin sangat setuju dengan ini," mengeluarkan pena dari balik jas yang dia kenakan, pria yang mengikat rambut platinumnya itu tak sadar bahwa perempuan yang ada di hadapannya ternganga. Tercenung dengan keputusan yang diambil Thomas.     

_Siapa dia? Bagaimana bisa dia menandatanganinya begitu saja?- batin Bianca.     

"Saya sudah katakan, saya perwakilan Djoyo Makmur Group," gumam Thomas, selepas membuat coretan dengan ringannya di atas berkas yang berasal dari perusahaan Tarantula. Pria tersebut seolah bisa membaca apa yang dipikirkan oleh Bianca.     

"Seorang perwakilan bisa menandatangani berkas sepenting ini?" dia yang bertanya tengah menuntut pemahaman. Sedangkan Thomas, kini telah berdiri dan mengambil salinan untuk membuat laporan.     

"Ya," pria ini mengumbar senyum misterius. Dan, Bianca di tinggalkan begitu saja tanpa penjelasan. Gadis itu sempat menghabiskan makan siang di lantai tertinggi gedung milik perusahaan pesaingnya, sebelum pergi dengan perasaan gusar.      

***     

Lelaki bermata biru yang detik ini telah rapi, berdiri di dekat sofa. "Apakah istriku masih ingin bermalas-malasan?," ujarnya lembut. Sedikit membungkukkan punggungnya, tangannya mengulur meraba dengan lembut surai halus yang kini acak-acakan dan memenuhi wajah istrinya.     

Duduk di ujung meja—di depan sofa—Mahendra berniat membangunkan istrinya yang tengah beristirahat, sebab dia sudah ditunggu untuk menghadiri meeting yang tertunda. Bukannya segera berangkat, pria yang mengenakan jas navy itu malah memikirkan apa yang beberapa menit sebelumnya dia perbuat terhadap perempuan di hadapannya. Suara rintihan Aruna yang berulang, kembali hadir di telinganya. Pergolakan mereka berdua bahkan masih menguasai dan membayang-bayanginya.     

Memandangi keadaan berantakan sang istri, Mahendra melihat Aruna mengenakan kemejanya. Kancing baju di tubuh perempuan tersebut bertautan secara sembarangan, membuat lelaki bermata biru itu lekas meraih kancing-kancing tersebut dan mulai merapikannya.     

"Kalau kau tidak segera merapikan diri, aku bakal kehilangan banyak uang karena lebih suka memandangi istriku dari pada memenuhi panggilan meeting," meraih coat merah, pria itu meletakan pakaian tersebut di atas tubuh perempuannya.     

"Aku lapar," dia yang menutup matanya, menyadari lelaki bermata biru itu meraba perutnya. Mendengar suara deheman, Aruna merasakan Mahendra mendekat dan ketika membuka matanya, perempuan hamil itu merasakan kecupan kecil di pipi.     

"Akan aku minta seseorang membawakan makan untukmu," ujar Mahendra.     

"Pergilah," ujar Aruna, tatkala melihat suaminya berdiri, "Kau yakin tak masalah dengan penampilanmu?" pertanyaan tersebut mendapatkan gelengan kepala dari Mahendra, "Minta ajudanku bawa makan untukku, jangan orang lain. Dan?" menoleh ke beberapa sisi, perempuan ini menemukan baju ganti yang disiapkan lelaki bermata biru, "Itu saja, sudah cukup. Pergilah, kau pasti sudah ditunggu".     

Saat Aruna mengetahui pintu ruangan Mahendra telah ditutup, perempuan hamil itu kembali merebahkan dirinya. Sampai berapa menit kemudian, ketika dia mendengarkan gerakan samar dan bau makanan—termasuk daging yang kini jadi favoritnya, barulah dia terbangun.     

"Aku minta maaf," Aruna bangkit menarik coat yang berada di atas tubuhnya untuk menutupi pahanya, "Kau harus melihatku seperti ini,"      

Gadis yang diajak bicara nonanya, tersenyum.     

Menyodorkan makanan untuk perempuan hamil tersebut, gadis berseragam hitam-hitam itu terlihat mengeluarkan beberapa benda lagi dari dalam tas yang dia bawa.     

"Apa itu?" tanya Aruna.     

"Tuan meminta saya menyiapkan," Vas kristal di letakan diatas meja, "Bunga untuk anda," dan gadis itu mengeluarkan kotak besar berisikan bunga segar dan mulai menyusunnya.     

"Hem," Kihrani bisa mendengar nonannya berdehem. "Daripada itu, apakah kau membawa ikat rambut?".     

Gadis berambut hitam panjang itu menghentikan caranya merangkai bunga. Memperhatikan nonanya sesaat dan menjadi canggung, kemudian menunduk. "Semoga saya memilikinya," dia berdiri dan mencari tasnya sendiri.     

"Caramu menatapku membuatku malu," Aruna memprotes Kihrani, menghentikan sejenak kesibukannya makan. Perempuan ini bisa mendengar kata maaf yang diujarkan lirih oleh ajudannya.     

Detik berikutnya, Kihrani bangkit dan melepas ikat rambutnya sendiri, lalu menyerahkannya pada sang nona. "Kenapa? Nanti kau gunakan apa buat mengikat rambutmu?,".     

Dan ajudan perempuan tersebut menunjukkan karet di tangannya. "Saya bisa mengenakan ini nona,"     

"Kau ini! Apa kau pikir aku tak bisa menggunakan karet gelang? Aku memakainya ke kampus dengan percaya diri dua tahunan lalu. Yah, walaupun sekarang itu akan menjadi pembicaraan orang," dan atas dasar tidak ingin karyawan suaminya melihatnya dengan cara berbeda, Aruna memilih menerima ikat rambut yang ditawarkan Kihrani.     

"Jangan melihatku seperti itu," sekali lagi, Aruna memprotes Kihrani yang memandangnya dengan canggung selepas nonanya mengumpulkan rambutnya dan membuat ikatan ke atas sehingga leher perempuan itu tersibak, "Saat kau menikah nanti, kau akan mengerti ... .... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.