Ciuman Pertama Aruna

IV-126. Percaya Padaku Sampai Akhir



IV-126. Percaya Padaku Sampai Akhir

0"sebentar lagi, perhatikan dengan baik-baik apa yang kamu lihat di luar sana," Mahendra berbisik pada Juan. Pemuda itu duduk tepat di samping Mahendra. Mobil Bentley continental black memberikan gambaran tentang kemewahan serta keangkuhan. Parkir di bawah tiang-tiang penyangga yang menjulang tinggi, menyelinap di antara bangunan yang terbengkalai.     

Alih-alih menampakkan diri mobil tersebut lebih terlihat layaknya anak kecil yang tengah mengendap. Kuda besi tersebut tengah mengawasi interaksi yang di yakini penghuninya akan ada sebuah kejadian besar kurang dari lima menit lagi.     

Ya. Tepat di menit ke tiga muncullah rombongan mobil lain. Mobil yang familier dengan milik tuan muda yang duduk di sisi sepupunya, "kamu di izinkan keluar dan membuat kekacauan kalau menurutmu itu yang terbaik," sang sepupu masih diam seribu bahasa sampai rombongan itu keluar dari mobil mereka satu-persatu. Di mana menit berikutnya lima orang yang tak asing di mata Gesang berjalan bersama mendekati rombongan mobil yang ternyata kumpulan orang Mahendra.     

Yang berjalan paling depan adalah kakaknya sendiri, Gibran. Pria itu di dampingi Heru dan lelaki lain yang membuat Gesang mengernyitkan dahinya, ada Key di sana. Putra keluarga barga rupanya telah keluar dari bui. Dan dua yang lainnya tentu saja adalah para bodyguard mereka.     

"kuberi tahu kamu bahwa aku akan menyerahkan perempuan itu pada kakakmu, aku bukan seseorang yang egois dengan menutup matamu dan tetap terlihat baik. Inilah kenyataannya bahwa aku bahkan mustahil mencegah kejadian yang tak kamu inginkan ini," ujar Mahendra.     

"aku tahu," gumam Juan.     

"keluarlah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku tak akan menghalangi, dan se-andainya terjadi sesuatu kau bisa mengandalkan orang-orangku bahwa kamu atau gadis itu tak bisa dilukai mereka, misal ketegangan pecah dan menjadi kekacauan," Hendra melengkapi kalimatnya. Ekspresi lelaki bermata biru ini cukup datar dan tanpa emosi, tepat ketika Juan menoleh padanya sesungguhnya sang pemuda tersebut bisa mendapatkan jawaban dengan mengamati gerak gerik raut wajahnya. Juan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, tapi sesungguhnya dia punya firasat yang kurang baik atas segala keputusannya.     

"andai aku keluar dan mengonfrontasi kakakku apa yang akan terjadi?" dia yang lelah memprediksi kini tengah berusaha mencari jawaban dari kakak sepupunya.     

"Jujur aku tak tahu, yang aku bingung bagaimana kamu bisa membebaskan diri dari keluargamu sebebas sekarang, itu yang menjadi pertanyaanku. Ku yakin ada sesuatu yang di pertaruhkan," Juan menjadi berkecamuk. Dan kian berkecamuk setelah dia melihat gadis pasrah yang keluar dari dalam mobil orang-orang Djoyodiningrat.     

"aku tidak tahu dengan detail," terlihat tangan Juan menggenggam erat punggung kursi di depannya. Tangan itu kemudian mengepal sepertinya ingin membuat hantaman yang teramat besar, "hanya saja aku telah membuat kesepakatan dengan Gibran dia memintaku merelakan Syakilla. Sehingga aku mendapatkan ibuku,"     

"Oh' sudah kuduga," Hendra terdengar mendesah, "ketika kamu tidak keluar kamu akan mendapati masa depan yang tak bisa di prediksi, aku dengar gadis itu bakal menikah dengan kakakmu, segera. Aku tidak yakin dia bisa kembali padamu. Dan sebagai lelaki beristri, aku beri tahu kamu bahwa ikatan pernikahan lebih kuat dari yang kalian duga. Pernikahan bisa membuat siapa pun berubah. Seseorang yang merusaknya apa pun alasannya adalah golongan manusia dengan integritas di bawah rata-rata," kalimat Mahendra penuh penekanan.     

"Apakah menurut anda ini kesempatan terakhirku?" tanya Juan serius.     

"Ya, dan aku bukan seseorang yang mau menutup diri atas keberadaanmu, walaupun aku tak punya kapasitas untuk membantumu aku tidak mau menghentikan kesempatan terakhirmu," sepertinya Hendra memberi penjelasan sejelas-jelasnya sehingga Juan memahami keadaannya detik ini.     

Genggaman tangan Juan mulai berpindah pada hendel pintu. Dia masih setia menatap perempuan yang berjalan lambat meninggalkan orang-orang kakak sepupunya dan menuju kakaknya. Juan bahkan bisa mengamati wajah bahagia Gibran yang berusaha di sembunyikan. Tapi tak akan bisa membohongi pemahaman Juan sebab pemuda ini tumbuh bersama kakaknya sejak kecil.     

Dari mata Gibran yang hitam, dia bisa meliat binar itu.     

Mengambil oksigen sebanyak-banyaknya Gesang benar-benar membuka pintu mobil Mahendra. Pemuda ini keluar dari sela-sela pilar yang menjulang tinggi sampai langit-langit.     

Langkah kakinya yang tegas menuju arah kakaknya, spontan membuat putra pertama Rio itu waspada. Dari dalam mobilnya Mahendra membuat instruksi yang di dengar oleh masing-masing telinga ajudannya. Sudut di sela telinga yang terpasang sebuah alat pendengar tersebut menguarkan kalimat permintaan supaya ajudan-ajudan taun muda Djoyodiningrat diminta mundur atau sekedar mengamati apa yang terjadi, tidak mengambil tindakan ketika tak terjadi kejadian yang berbahaya.     

Kini kewaspadaan yang di tunjukan Gibran kian kuat. Selepas menarik tangan Syakilla kuat-kuat, Gibran meletakkan gadis tersebut di balik punggungnya meminta orang-orangnya merapat.     

"hai kak," sapa Juan ketika jarak di antara kedua kakak beradik tersebut cukup dekat. Berdiri di hadapan kakaknya dengan berani dia mengamati gadis di balik punggung kakaknya menggeleng memintanya tidak menjalankan niatnya, apa pun itu.     

"kita sudah sepakat," ini suara Gibran, "kamu tahu apa yang menjadi barter kita,"     

"sebegitunya kamu menginginkan Syakilla," Juan yang memiliki panggilan asli Gesang menyeringai. Sayangnya detik di mana pemuda ini ingin mendekat dia mendapati gadis di balik kakaknya mundur beberapa langkah. Bibirnya berujar tanpa suara seperti tengah mengirim sinyal kata 'jangan' detik berikutnya, 'kumohon,' raut wajah itu penuh harap. Mengharapkan kesabaran Juan untuk tidak menciptakan tindakan sedikitpun.     

Entah mengapa Syakilla mengirim sinyal demikian. Ketika pemuda yang memiliki gummy smile tersebut melangkah satu Langkah ke depan dia mendapati gadis itu berbalik dan melarikan diri, membuat yang lain panik terutama orang-orang Gibran. Nyatanya Syakilla memilih masuk ke dalam mobil Gibran yang terletak tak jauh dari keberadaan pertemuan tersebut.     

Juan tak punya daya untuk mengejarnya. Dia hanya berdiri tepaku menatap kepergian mobil yang membawa kekasihnya Bersama kakaknya.     

~     

Maafkan aku. Selain kamu memiliki seseorang yang terpenting, yang wajib kamu jaga -maksud gadis itu adalah ibu Gesang- keluargaku punya hutang pada Gibran. Dan sebuah hutang pada diriku sendiri.     

'hutang pada diri sendiri?' sepanjang selepas dia mendapatkan tulisan tangan yang di titipkan Syakilla pada salah satu ajudan tuan muda Djoyodiningrat.     

Hati Juan tak berhenti bertanya-tanya. Mempertanyakan keputusan gadis tersebut.     

Izinkan aku membayar hutang itu. Percaya padaku sampai akhir. Aku telah mempertimbangkan ini semua.     

Percaya padaku sampai akhir.     

Kembali pesan utama yang sepertinya di tekankan oleh gadis itu di tulis ulang di akhir goresan tangannya. ada pesan yang tak terungkap dan di simpan dalam-dalam oleh Syakilla. Juan bisa merasakannya melalui catatan yang di buat gadis tersebut.     

"Tugasku telah usai," ini ungkapan Mahendra selepas mendapati Juan yang masih enggan menanggalkan pengamatannya.     

"kalau aku boleh kasih saran, mulai sekarang belajarlah realistis. Minimal buat dirimu berharga, dari pada menjadi beban pikiran gadis itu," Kembali Hendra mencoba menggugah ke-termenung-an Juan.     

"dia ingin membayar hutang pada dirinya sendiri?" akhirnya Juan menoleh dan pemuda ini mendapatkan tatapan mata biru, "apakah Anda tahu maksudnya?" Tanya Juan.     

.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.