Ciuman Pertama Aruna

IV-127. Mengendalikan Diri



IV-127. Mengendalikan Diri

0"Dia ingin membayar hutang pada dirinya sendiri?" akhirnya Juan menoleh, dan mendapati manik mata biru Mahendra menatapnya lamat-lamat, "Apakah anda tahu maksudnya?" tanya pemuda itu.     

Mahendra terlihat diam sesaat, "Coba kau posisikan dirimu adalah seseorang yang menulis kalimat tersebut," pria yang sedang berbicara ini menarik kertas di tangan Juan. "Seseorang yang ingin membayar sesuatu untuk dirinya sendiri,"     

Dan ketika kertas tersebut dikembalikan, lelaki bermata biru itu bisa mendengar desahan sepupunya, "Ada tujuan yang ingin dia gapai,"     

"Sesuatu yang besar," tambah Mahendra, seiring dengan keinginannya memerintahkan pengudi mobil untuk lekas memacu kendaraannya.     

Pilar-pilar gedung terbengkalai hilang ditelan jarak. Menuntun jalannya seorang pemuda yang hari ini mencoba berdamai dengan keadaan untuk pertama kalinya. Melipat kertas di tangannya dan memasukannya kedalam saku di balik jumper abu-abunya, dia kembali mengedarkan pandangan keluar jendela.     

***     

"Bukankah dia istri presdir?,"     

"Kau tidak tahu? Dia datang sejak pagi," sepanjang langkah kaki yang diambil Aruna, ajudan yang mengekor nona muda keluarga pemilik mega bisnis tersebut bisa mendengarkan bisik riuh rendah yang ditujukan para karyawan suaminya. Namun anehnya, seburuk apa pun yang di dengar Kihrani—bahkan dia yakin hal itu juga didengar nonanya—Perempuan hamil tersebut konsisten tersenyum ramah dengan siapapun yang berpapasan dan bertemu mata dengannya.     

"Aku masih belum yakin bu Anna pelakunya, dia perempuan yang profesional,"     

"Kalau bu Anna pelaku, pasti dia sudah menjalani persidangan dan masuk penjara,"     

"Yup! Aku rasa itu hanya rumor yang diciptakan, supaya istri presdir bisa menyingkirkan pesaing beratnya,"     

Kihrani hampir berhenti dari langkahnya dan mungkin saja siap menjambak salah satu dari mereka, kalau saja Aruna tidak memanggilnya, "Kihran, apa kau bisa mengemudikan mobil?," dan pertanyaan tersebut mendapatkan gelengan kepala, "Berjalanlah lebih dekat denganku," gadis berambut hitam itu sesungguhnya tidak begitu mengerti mengapa nonannya mengatakan ini. Dan saat dia mendekat, gendang telinga ajudan itu mendengarkan bisikan dari nona muda tersebut, ""Ada hal-hal yang berada di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita, kata Epictetus, dia salah seorang pelopor stoisisme kuno,"     

Kihrani terdiam, dan Aruna tersenyum ramah pada ajudan yang teralihkan dari emosi yang hampir menggerogotinya.     

"Dalam hidup, kita bisa mengendalikan diri kita, tapi tidak bisa mengendalikan orang lain," tangannya terulur memencet lift dan melangkah lebih awal memasuki pintu yang menjadikan beberapa orang menyingkir atas kedatangannya.     

"Seperti halnya kita berusaha belajar sebaik mungkin, namun sayangnya, di hari H kita sakit dan nilai kita menjadi di bawah rata-rata, faktor tersebut termasuk pengaruh dari luar dan tak bisa kita kendalikan. Seperti halnya sebaik apapun kita berperilaku, manusia—siapapun dia, mustahil bisa mengendalikan sudut pandang orang dari cara mereka melihat diri kita. Sebab itu diluar kendali kita, tak ada gunanya kita mencoba berbuat sesuatu. Sudut pandang tak akan berubah dengan cara apapun" Mendapati ajudannya terdiam—memperhatikan dirinya—Aruna kembali berujar,     

 "Mungkin kau bisa membuatnya meminta maaf dengan gertakan mu, sayangnya, tidak dengan pola pikir mereka. Mari kita membebaskan diri dengan hanya fokus pada apa yang bisa kita kendalikan saja, biarkan faktor lain menjadi sesuatu yang kita hadapi sekedarnya saja," suara perempuan itu bernada rendah bahkan cenderung tak lembut.     

"Bagaimana anda bisa terlihat begitu dewasa? Padahal kita seumuran," dan perempuan hamil itu terkekeh mendengarkan kalimat dari Kihrani.     

"Entah lah, bisa juga karena suamiku?," manik mata coklat hangat mengerling pada ajudannya, "Belajarlah mengendarai mobil, aku membutuhkanmu, bisa melakukannya," kedua nya kini telah sampai di lobi dan menit berikutnya, terlihat Aruna membuat panggilan.     

Terdorong rasa penasaran, Kihrani bertanya dengan nada hati-hati, "Anda ingin pergi kesuatu tempat, nona?".     

"Ya," senyum hangat dia sajikan, selepas berkata, "Aku ingin merayakan sesuatu atas keberanianku hari ini,"     

"Keberanian?" Sekali lagi, Aruna tersenyum saja menanggapi kata tanya yang diujarkan ajudannya. Kihrani tak akan paham seberat apa beban mental yang harus dia siapkan untuk mengutarakan kalimat protes pada suaminya, Mahendra. Begitulah pemikiran Aruna.     

Sama dengan perempuan hamil yang bahkan tidak tahu, betapa takutnya gadis berambut hitam panjang tersebut pada suami nonanya.     

"Aku rasa, em.. Karena aku tak akan diizinkan naik motor denganmu, sebaiknya kau pergi menemui Vian dan selesaikan masalahmu dengannya. Aku akan meminta orang-orang suamiku mengantarku," gadis yang mendapatkan perintah segera mengangguk.     

…      

"Kenapa kau masih berdiri disini?" ternyata, gadis berseragam ajudan itu belum beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri, selepas Aruna membuat panggilan untuk kedua kalinya. Alvin dan Wisnu mengatakan mereka ada tugas lain yang mendesak, bahkan Herry belum membalas panggilannya.     

"Aku ingin menunggu anda, sampai anda mendapatkan pengganti saya," ini pernyataan Kihrani.     

"Kau pikir aku anak kecil? Ada banyak taksi online yang bisa aku pesan, kalau aku tidak menemukan orang yang bisa menjemputku, pergilah!," desak Aruna. Ajudan itu sempat mencoba mengutarakan niatnya untuk protes, akan tetapi raut muka nonanya membuatnya tak bisa apa-apa kecuali menurutinya.     

Sampai gadis berambut hitam panjang itu pergi, nona muda Djoyodiningrat tersebut tak kunjung mendapatkan bantuan dari orang-orang suaminya. Dengan kebiasaannya yang dulu, akhirnya Aruna memutuskan pergi menggunakan taksi online untuk memenuhi keinginannya yang lama dia abaikan, berkunjung di sebuah rumah belajar yang telah di bangun sebagai hadiah pernikahannya. Hadiah pernikahan yang tak pernah tersampaikan dari mulut suaminya sendiri.     

"Aruna?" salah satu perempuan bernama Desi—yang kini bisa disebut sebagai pengelola utama rumah belajar di bawah naungan lembaga kesejahteraan masyarakat, yang terletak di pinggiran kota tersebut—lekas menanggalkan tugasnya demi menyambut kedatangan rekan yang dulu sesama relawan. "Semoga aku tak salah lihat," Aruna tersenyum dan memberinya pelukan. Perutnya yang membesar, membuat tangan perempuan itu tak kuasa untuk tak mengelus, "Kau sangat berbeda, sungguh. Kau sudah tak bisa disebut Aruna kami,"     

"Bicara apa kakak ini?," mereka berjalan beriringan dan berakhir pada sebuah bangku di depan ruang utama yang menjadi ruangan para pengajar dan administrasi. Kursi memanjang di bawah pohon rindang.     

"Apa yang membawamu kesini?" Desi bertanya dan menoleh ke beberapa sisi memastikan seseorang yang biasanya membuntuti temannya tersebut.     

"Aku sendirian," ucap Aruna, kembali memberi tawa dengan tindakan sahabatnya.     

"Tumben,"     

"Tumben diizinkan, ya?" lawan bicara Aruna mengangguk. "Aku tidak izin," kembali dia memberi pemahaman dan perempuan di hadapannya menjadi terkejut. "Tenang, aku tidak sedang melarikan diri seperti dulu," dan desahan nafas lega bisa dia dengar dari kak Desi.     

Ada jeda yang membentang, sebelum nona muda tersebut membuat pernyataan, "Kadangkala, aku ingin pergi sendirian,"     

"Tapi, jujur, kau sangat berbeda," Desi kembali berdiri dan mengamati dengan menyeluruh penampilan adik tingkatnya. Perempuan itu belum menikah, bahkan di usianya yang hampir mencapai tiga puluh tahun. Mengelola lembaga kesejahteraan anak—termasuk hidup di antara mereka—sepertinya membuatnya melupakan banyak hal, termasuk lupa pada kehidupan pribadinya. Namun lebih dari itu, dia adalah perempuan dengan potensi dan ketulusan yang luar biasa.     

Selepas puas mengamati penampilan Aruna, dia kembali duduk di sisi perempuan dengan dress selutut dan coat merah yang membungkusnya dengan sempurna. "Dimana celana jeans dan outer kanvas mu?,"     

"Masih ada, hanya saja saat ini dunia ku sedikit berubah, maka dari itu aku perlu memadu padankan gaya yang lain. Tenang saja jiwaku masih sama," Aruna membisikan kalimat ini dengan mendekati telinga Desi. Seolah kalimatnya adalah kode rahasia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.