Ciuman Pertama Aruna

IV-128. Menanggalkan Prinsip



IV-128. Menanggalkan Prinsip

0"Masih ada, hanya saja saat ini dunia ku sedikit berubah, maka dari itu aku perlu memadu padankan gaya yang lain. Tenang saja jiwaku masih sama," Aruna membisikan kalimat ini dengan mendekati telinga Desi. Seolah kalimatnya adalah kode rahasia.     

Menganggukkan kepala ringan, Desi bertanya penuh perhatian pada Aruna, "Jadi, apa yang membuat perempuan yang hampir hilang ditelan bumi—datang ke tempat ini?,"     

"Ada dua kemungkinan, selalu begitu," ucap Aruna. "Kalau bukan karena sangat sedih dan butuh hiburan, tentu saja karena sangat senang dan ingin menyebarkan kebahagiaan," lengkapnya.     

"Semoga pilihan kedua yang sedang kau bawa," kalimat ini seolah terdengar seperti doa, dari pada pernyataan.     

"Dugaan kak Desi tak salah," dua perempuan menatap kumpulan anak-anak yang tengah main kelereng.     

"Syukurlah,"     

"Lebih dari itu, aku berharap dunia menjadi lebih ramah untuk siapa pun." manik coklat berpendar hangat tatkala menyaksikan anak-anak penghuni lembaga kesejahteraan itu bermain bersama, mengumbar tawa.     

"Maksudmu?" dia yang bertanya, dilanda bingung mendengar kalimat Aruna.     

"Dulu, aku pernah bercerita dengan kakak kenapa aku lari dari suamiku?".     

Mengangguk ringan, sebelum Desi berujar, "Karena kau takut tak akan memiliki kesempatan terbang layaknya burung Cikalang,"     

"Kakak tak pernah melupakan ku ternyata," kekeh ringan dari perempuan hamil itu mengudara.     

"Tentu saja, Aruna," Desi membuka kedua telapak tangannya, mengarah pada bangunan di hadapannya, "Kau yang mengubah ruang belajar—yang hampir roboh—menjadi sekolah dengan gedung sebaik ini, di luar ekspektasi dan cita-cita kita semua,"     

"Karena dia membangun ini, aku pikir Hendra layak mendapatkanku,"     

"Jadi, kau menjadikan tempat ini alasan?" alisnya bertaut tatkala mendengar pernyataan Aruna.     

"Sepertinya iya," dia tertawa getir di akhir kalimatnya.     

"Lalu, apakah Cikalang bisa terbang?".     

"Awalnya dia tidak bisa menerima perubahan hidup yang terjadi padanya dan ketika dia mencoba berdamai dengan sangkar emasnya, dia menjadi nyaman di dalamnya. Itu sebabnya, bahkan kakak tak bisa melihat Aruna dengan outer kanvasnya yang warna warni atau gelang tangan buatan tangannya sendiri," kalimat ini terdengar menyedihkan bagi Desi. Beberapa orang di dunia memiliki standar kebahagiaan dan pencapaian hidup yang berbeda. Dan keduanya paham atas hal tersebut. Kebahagiaan bukan tentang uang, bahkan kemerdekaan seorang individu bisa jadi tujuan hidup seseorang.     

"ikut senang, untuk beberapa alasan kamu akhirnya berhasil berdamai dengan kehidupanmu," ucap desi.     

"Sayangnya kali ini prinsip itu tidak akan aku pakai, Hai! Apa yang kamu lakukan," tiba-tiba saja di pertengahan kalimatnya suara Aruna memekik hebat. Perempuan hamil itu berdiri, setengah marah dia melangkah kasar menuju pelataran tempat seorang gadis kecil di dorong teman mainnya.     

Dari arah belakang desi tergopoh mengejar perempuan hamil itu, "Aruna perhatikan perutmu. Kau membuatku khawatir," ini suara desi yang terabaikan sebab detik ini Aruna telah menekuk kakinya. Dia sudah setengah jongkok membantu gadis kecil yang menggunakan rok hijau, bangkit dari jatuhnya. Gerakan tangan gesit Aruna lekas membantu gadis tersebut membersihkan debu yang mengotori si hijau cerah pada bagian bawah kaos putih.     

"siapa yang mendorongnya?" ini suara Desi meminta anak-anak di sekitar –yang mayoritas laki-laki– segera mempertanggungjawabkan perbuatannya.     

Dari kumpulan jari telunjuk yang mengarah pada seorang bocah laki-laki kecil di antara yang lain, Aruna dan Desi bisa menemukan pelakunya dengan mudah.     

"kemarilah! Segera minta maaf," perintah desi.     

Aruna telah bangkit dan dia bisa melihat mata gadis kecil berbalut rok hijau tersebut berkaca-kaca.     

"tapi aku tidak salah kak," kilah lelaki kecil.     

"kamu mendorongnya, kak Aruna melihatnya," Aruna mendesak. Dia meminta lelaki kecil tersebut berhenti membuat alasan.     

"dia ingin main kelereng, dia kan perempuan, kami semua tidak setuju, tapi dia tetap memaksa," lelaki kecil itu menekuk mulutnya tanda ia tidak merasa bersalah.     

Seiring alasan yang ikut yang keluar dari bibir yang lain.     

"beri tahu kakak adakah aturan tertulis bawa main kelereng ialah1 permainan anak laki-laki? Dan perempuan di larang memainkannya?" kumpulan bocah-bocah itu saling memandang satu sama lain.     

"kata ibuku anak perempuan itu mainnya boneka dan tidak boleh main dengan laki-laki," bocah kecil lain berbicara dan entah mengapa Aruna merasa tak nyaman dengan pemahaman sederhana yang di tangkap anak-anak di sekitarnya.     

"bisa kah kalian memberi kesempatan, mungkin temanmu ini hanya ingin mencoba. Beri kesempatan. Andaikan dia bermain sangat buruk silakan usir dia dari permainan kalian," ujar Aruna dengan nada kesal yang dia sendiri tak mengerti bagaimana nada itu bisa hadir mempengaruhi dirinya.     

"oke," ucap salah satu dari mereka.     

"baik," ucap yang lainnya. Saling menoleh dan mulai menatap gadis kecil ber-rok hijau.     

Sesaat berikutnya lelaki kecil yang sudah mendorong temannya tersebut mengulurkan tangan, Suaranya bernada sangat rendah. "maaf kan aku," sebelum mereka berlari bersama dan kembali dengan bulatan-bulatan kecil yang mereka mainkan.     

"Ada apa denganmu?" ini ungkapan tanya dari Desi kepada Aruna.     

"tidak ada apa-apa," ucap Aruna. Mereka kembali berjalan menuju kursi di bawah pohon rindang.     

Sebelum duduk, desi menawarkan sesuatu, "Ayo bantu aku mengajar," pinta desi merasa ada yang tak beres dengan emosi Aruna. Perempuan bermata coklat tersebut sebelum-sebelumnya cenderung tenang dan ceria. Entah bagaimana selepas sempat bergetar menahan emosinya ketika memperingatkan anak yang mendorong gadis kecil tadi, tiba-tiba raut wajahnya gelisah luar biasa.     

Tidak menjawab pertanyaan desi. Aruna tertangkap sekedar membuntuti langkah kaki desi.     

.     

"aku datang untuk merayakan keberanianku,"     

"tentang apa?"     

"tentang menanggalkan prinsipku sendiri, aku tak akan berdamai lagi dengan keadaan," ujar Aruna dengan nada lambat.     

Merek sempat memasuki ruang para pengajar yang kemudian berjalan menuju kelas.     

Sekelompok anak sudah duduk rapi menyambut kedatangan keduanya.     

"kamu duduk saja, aku tidak ingin kamu lelah," ujar Desi ketika Aruna ikut berdiri memperhatikan murid-murid berusia tujuh tahun yang menatapnya.     

"guru sekolahku dulu juga mengajar saat hamil besar, kamu pikir aku tak sanggup seperti mereka," menatap protes pada Desi. Sang pengelolaan Lembaga kesejahteraan tersebut hanya bisa yang menghembuskan nafas lelahnya.     

Desi tidak bisa menahan kata-kata yang ingin dia ungkapkan, "masalahnya kamu istri–,"     

"seorang konglomerat yang tidak tersentuh matahari?"     

"ya.. semacam itu,"     

"mengerikan sekali hidupku," Aruna merebut daftar absen yang di pegang desi, tak lama kemudian terdengar suara nyaring sang nona muda Djoyodiningrat menyapa anak-anak kecil. Merek mengacungkan tangan dengan riang tatkala namanya di panggil Aruna.     

"Aku tahu kakak namanya Aruna kan?" teriak salah satu, yakni bocah kecil yang duduk di sudut paling belakang.     

"bagus masih ingat denganku," sahut Aruna.     

"salah. Sebenarnya aku tidak ingat, tapi karena aku pernah melihat kak Aruna di dalam foto yang di pajang di perpustakaan. Di foto itu juga ada kakakku dan dia sering memamerkannya padaku," jelas bocah di bangku paling belakang.     

"benarkah?" Aruna mengekspresikan diri sebagai seorang yang terkejut sekaligus prihatin, "nanti kamu juga bisa foto sama aku," anak itu tersenyum senang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.