Ciuman Pertama Aruna

IV-130. Menyebutkan Alasan



IV-130. Menyebutkan Alasan

0Sang sopir lemas seketika. Dia membawa seseorang penting di mobilnya dan orang itu sekarang mungkin saja sedang di culik.     

***     

Senyum lebar itu menyebalkan bukan main, demikianlah yang ada pada benak gadis muda dengan rambut sepekat malam yang memanjang dan terikat di belakang. Pakaian yang melekat di tubuhnya masih seragam ajudan khas keluarga Djoyodiningrat. Hitam menyeluruh, namun potongannya cukup trendy untuk memberi kesan tangkas, cerdas dan menarik. Salah satu yang tersekat dalam imaji ketertarikan yang di luar batas lelaki dengan mata sendunya, yang kini tengah menyipit.     

"Kau datang?" sapaan yang bagi lawan bicaranya lebih terdengar sebagai basa-basi semata.     

"Tidak," tegas Kihrani menimpali Vian, "Aku sedang membuang waktuku,"     

"Jadi, apa alasannya kau datang padaku?" memberi kesan sedatar yang dia bisa, Vian yang sesungguhnya sedang berupaya keras menyembunyikan letupan bahagia menimpali kalimat Kihrani.     

"Tentu saja karena aku perlu meluruskan atau lebih tepatnya memberi batasan yang tegas diantara kita." Kalimat gadis ini punya patahan tajam. Dia tak peduli walau kini Vian mulai berdiri dan berjalan melingkari dirinya.     

Mata yang menyipit itu semakin menghunus lawan bicaranya, suaranya tegas dan berat, "Maksudmu, kau ingin membatasi pertemuan di antara kita?"     

"Itu salah satunya. Dan selebihnya," dia mengambil nafas sebanyak-banyaknya, sebelum bersuara lebih tenang, "Sekeras apapun kau berusaha mengharapkan hubungan di antara kita, aku minta maaf. Aku menolak!" kata 'menolak', Kihrani beri penekanan lebih kuat dari kata-kata yang lain.     

"Oh, begitu rupanya?," sekali lagi nampaknya Vian sedang mempermainkannya, begitulah pikiran gadis muda yang kini memasang wajah masam itu. Sayangnya pria yang berjalan lambat melingkari berdirinya, kini malah tengah terpaku di hadapannya. Tepat di depannya dan menatapnya lamat-lamat.     

"Heh!" tersenyum miring, Kihrani berbicara dengan nada mengejek "Ya, aku tahu kau pria yang penuh ambisi. Mungkin gadis lain mengatakan ini demi memancing ambisimu yang meletup-letup itu. Sayangnya, aku benar-benar tidak tertarik dengan permainan semacam itu. Jadi sekali aku katakan tidak, aku benar-benar tidak menginginkannya,"     

"Sebutkan alasannya" Vian belum puas atas jawaban Kihrani, oleh sebab itu, dia mendesak gadis yang bahkan tampak tak terintimidasi olehnya, "Alasan yang logis,"     

"Oke," mengangkat wajahnya lebih tinggi dan menatap dengan berani lelaki yang ada di hadapannya, dia berbicara dengan tenang, "Satu, aku tidak ingin membuang waktuku dengan hal-hal tidak berguna. Membina hubungan dan menghabiskan waktu bersama itu terlalu mewah untuk ku. Aku tidak terbiasa dan aku yakin, kau akan menyadari bahwa aku gadis membosankan ketika berkencan." Memberi jeda sejenak, berharap Vian memahami kalimatnya, Kihrani kembali bersuara, "Dua, aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Sejujurnya, aku tahu berapa usiamu dan aku yakin kau sedang mencari istri, bukan perempuan yang memiliki cita-cita hidup single sampai sepuluh tahun mendatang," lelaki dengan mata sendu itu hampir menyemburkan tawa tatkala mendengar alasan kedua. Namun dia berusaha keras membiarkan mulutnya terbungkam, selepas alis mata gadis itu hampir menyatu dan tiga buah garis mengerut tersaji pada dahinya.     

"Tiga, aku suka uang," kali ini, kalimat Kihrani yang memberi efek kerutan pada dahi Vian.     

"Yang benar saja!" Pria ini berseru dengan tidak percaya, "Apa hubungannya dengan suka uang?"     

"Tentu saja ada!" dan Kihrani memprotes kuat-kuat, sampai suaranya sempat serak. "Apa aku boleh minum dulu?,"     

"Tidak!"     

"Jahat sekali!" sungut gadis yang kini menatap tajam Vian.     

"Kau yang lebih jahat!" Tampaknya, pria bermata sendu ini tak mau kalah dari Kihrani, "Bagaimana mungkin aku yang sedang di sakiti hatinya, mau-maunya memberi minum gadis yang tenggorokannya akan digunakan untuk menyakitiku?"     

"Sial!" sempat menekuk bibirnya, sebelum Kihrani mengujarkan kata tersebut, "Uangku akan hilang banyak saat aku menemuimu, seperti hari ini. Aku membuang uang dengan membolos kuliah, padahal kuliah bayar pakai uang juga. Atau andai kita bersama, terpaksa harus menghabiskan waktu denganmu dan mengabaikan tugasku. Artinya, peluang mendapatkan uang bisa hilang," panjang lebar rangkaian kalimat tentang cinta uang ini sepertinya tidak dapat menggoyahkan Vian.     

"Kau bicara tentang uang pada ku, yang jelas-jelas bakal suka rela memberikan materi lebih banyak daripada jumlah biaya kuliah, termasuk kehilangan pekerjaan?," mata lelaki yang tengah berbicara menatap sekeliling. Memberitahu Kihrani bahwa dia masuk kategori sempurna untuk gadis yang mengincar lelaki kaya.     

"Sayangnya aku suka dengan uangku sendiri! Uang hasil jerih payahku," balas Kihrani ketus. Dia merasa jengkel tatkala pria di hadapannya itu tak paham akan maksudnya. "Satu lagi, aku lebih mencintai adik-adikku, bapakku, terutama diriku sendiri. Andai ada waktu libur dari pekerjaan dan segala kehidupanku yang sederhana ini, aku ingin menghabiskan untuk hal-hal yang aku sukai, bukan hal lain di luar itu,"     

Vian terdiam. Otaknya bekerja keras menyusun kata-kata ketika dia mencoba membuat bujuk rayu, "Bagaimana kalau kita mencoba lebih dahulu saja?,"     

"Kau sudah tahu bukan, bahwa semua itu hanya berakhir membuang-buang waktu?" si keras kepala akan konsisten dengan segala kalimat yang ia ucapkan.     

Menghembuskan nafas panjang, pria dengan mata sendu berujar, "Baru kali ini aku di tolak mentah-mentah, bahkan yang menolaknya tampak tidak menyesal," dia melangkah satu langkah kedepan.     

"Jangan coba-coba kian berambisi. Itu mustahil! Sebab, aku tidak sedang bermain kata-kata," tangannya mengacung ke depan, menunjuk dada lelaki yang saat ini berjarak sangat dekat dengannya.     

Si mata sendu yang menajam membuat gadis di depannya jatuh terduduk pada sofa. Vian pikir, dia akan menang atau minimal mengakibatkan Kihrani berkeringat dingin. Kenyataannya, gadis itu membenturkan kepalanya sekuat dia bisa pada kepala pria yang berusaha mendekati wajahnya.     

"Aaaa!" Suara Vian menggelegar, sebelum menggeram keras tatkala Kihrani bangkit dan mengambil jarak sejauh mungkin darinya. "Dasar gadis aneh!"     

"Kau yang aneh!" Vian membalik tubuhnya, menatap gadis berambut panjang yang berusaha menjaga jarak serta memasang sikap awas. Hal yang paling dia sukai dari Kihrani adalah sikapnya. Anak sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu cenderung apa adanya, tidak dibuat-buat seperti kebanyakan perempuan yang hadir dalam kehidupan para lelaki dengan pekerjaan di bawah tanah penuh intrik tersembunyi tersebut.     

Bonus dari sikap terbuka Kihrani, menjadikan Vian merasa tak memiliki beban untuk bercanda atau bahkan menjahilinya. Gadis itu bisa sangat marah dengan cepat dan mereda begitu saja tanpa banyak drama yang kadang sering disajikan para perempuan.     

Jadi kini, ide liar di kepala Vian selepas ia ditolak mentah-mentah adalah balas dendam manis dengan benar-benar mengganggu gadis itu.     

Ya! Kepala divisi penyidik yang kini sudah bisa lebih banyak bergerak—kecuali tangan kanannya akibat dada sisi kanan yang masih perlu perawatan sedikit lagi—memutar tubuhnya, melangkah mengejar Kihrani.     

"Kau mau apa?" Kihrani menoleh ke beberapa arah mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk ...….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.