Ciuman Pertama Aruna

IV-159. Kini Moster Itu Berjalan Ke Arahku



IV-159. Kini Moster Itu Berjalan Ke Arahku

0Aku memejamkan mata.     

Aku mendengarkan suara berdengung di telinga aku yakin hanya hitungan detik aku akan mendapatkan hantaman. Anehnya hantaman itu tak kunjung datang.     

Kuberusaha membuka mataku lebar-lebar, selebar aku bisa aku bisa melihat sebuah tangan mencengkeram kuat tangan pria yang hampir memukulkan tabung gas 40 cm atau sekitar 0,5 meter kubik. Aku sadar betul andai tabung itu menyentuh kepalaku bukan sekedar pingsan mungkin aku akan gagar otak.     

Dalam sekian detik aku bertemu mata dengan suamiku, dia mencengkeram tangan itu kuat-kuat sampai aku bisa melihat tabung 40 centimeter jatuh dan menggelinding menyentuh kakiku. Hendra dengan gerakan samarnya seolah mengirim sinyal supaya aku lekas menghindar. Aku merambat masuk kembali ke dalam lorong ranjang-ranjang kosong.     

Pria yang tangannya di cengkerama suamiku memekik menghantam kendang telingaku. Kututup daun telingaku, mataku enggan menutup, aku takut terjadi sesuatu pada Mahendra.     

Pekikan dari dia yang sempat menyeratku berubah rintihan. Suamiku ada di atas tubuhnya. Saat ini aku bisa melihat bengisnya suamiku dia mengepalkan tangannya dan membuat hantaman yang tak kenal ampun.     

Suara benturan kepalan bertemu wajah pria di bawah kendali Mahendra lebih mengerikan dari suara film laga yang pernah aku tonton. Mirip ranting retak yang berpadu dengan bunyi jatuhnya beda berukuran ke atas tanah cadas.     

Hendra memukul pria berbadan kekar itu sampai kata ampun tak bisa ia ucapkan. Wajah Hendra penuh peluh, rambutnya yang akhir-akhir ini belum di rapikan membentuk poni di dahinya, berayun seirama gerakan bengisnya yang tak memiliki ritme.     

Ingin aku tak melihatnya, tapi entah mengapa aku tak ingin menutup mataku. Aku perhatikan beberapa bulir keringat jatuh dari ujung rambutnya. Dadanya membusung dan mengempis dengan kentara. Suamiku di liputi kemarahan, aku tahu mata merah yang bercampur biru itu.     

Dia mengakhiri dan mengibaskan telapak tangan kanannya selepas pria di bawah kuasanya seolah tertidur pulas.     

Warna merah melumuri ruas jarinya dengan senyumnya yang sempat membuat rasa di hatiku paling dalam mendesir Hendra terlihat puas, mengusap-usapkan punggung telapak tangan pada hem putih di balik jas pria yang terkapar di lantai dengan wajah membelakangi keberadaanku. Aku tak yakin wajah pria itu masih bisa di katakan layak detik ini.     

Sesaat aku tak bisa mengamati raut muka Mahendra hanya kakinya. ia telah berdiri. Dan kenyataannya kini ia menarik-narik dua buah ranjang kosong hingga tubuhku kelihatan.     

Memandangiku dengan nafas naik turun. Matanya tak berkedip. aku yakin aku pun juga. Aku tak berkedip sebab ini pertama kalinya aku melihat Mahendra dengan Wujudnya yang ini.     

Aku pernah mendengar cerita-cerita menakutkan tentang dia yang tak kenal ampun. Memiliki sisi hitam yang tak terkendali. Cerita-cerita kengerian yang di jabarkan Rey, atau bisikan ajudannya yang sampai di telingaku termasuk kak Anantha yang dulu menginginkan aku meninggalkan moster ini.     

Ya. Aku ingat aku pernah menganggapnya moster, efek dari keyakinanku bahwa pria ini bisa menghilangkan nyawa orang lain dengan mudah. bahkan dari bibir lelaki bermata biru itu sendiri, kami pernah berdebat tentang dia yang tak akan bisa menahan diri untuk menghilangkan nyawa siapa saja yang berani menghalanginya mendapatkan ku atau bahkan yang berani melukaiku.     

Kini moster itu berjalan ke arahku, ini kah kabut hitam yang dia bilang kadang kala menenggelamkan dirinya? Aku tak tahu, aku merasa aku gelisah, saat jarak di antara aku dan dia perlahan berkurang.     

Hendra menekuk kakinya. Mata itu masih merah menyala. Tangannya bekas menghajar orang meraba pipiku, menangkap daguku, menatapku dengan ekspresi datar. Aku seolah tak mengenalinya.     

Kami tidur bersama sepanjang malam dan hari ini kulihat Hendra yang tak aku mengerti, menarik daguku naik ke atas, wajahnya mendekat dan seketika aku rasakan lidahnya mendesak bibirku. Dia meminta cumanku. Meminta dengan rakus. Dan ada rasa karas di sana. Aku rasa aku hampir sesak nafas saat dia memenuhi seluruh indra pengecapku.     

Berhenti sejenak untuk menatapku dia kembali lagi dengan rasa lain yang lebih ber-ritme. Aku tak yakin dia akan berhenti dalam waktu singkat. Untuk itu dalam nafas tersengalku kuraih jemarinya dan telapak tangan itu ke permukaan perutku.     

Seketika aku tahu dia mereda. Dan kali ini melepas sesapannya, matanya mengerjap-ngerjap sesaat. Sebelum tangannya terbuka dan memelukku erat-erat. Aku rasakan pria itu menyesap rambutku yang berantakan.     

Aku menghibur diri dengan segala kenangan ku bersama pria unik ini. Ku beri tahu diriku tak ada yang salah dengan menjadi pendamping pribadi yang agak berbeda.     

Aku memejamkan mata dan ku balas pelukannya. Satu ingatan hadir di kepala. Hendra selalu meminta sentuhan bibirku atau bahkan rasa di beberapa bagian tubuhku tiap kali emosinya tak terkendali. Aku tak mengerti akan tetapi ingatan ini tak mampu di bohongi. Malam itu selepas bertengkar hebat dengan kakeknya dia datang ke kamar dan mengatakan, 'Aruna beri aku ciumanmu,' atau hari di mana aku tidur di lantai tertinggi Djoyo Rizt Hotel dan dia datang dengan tangan di bungkus kain putih yang ku tahu sebuah luka ada di dalamnya.     

Datang dengan ekspresi sama membingungkannya dengan detik ini. Menarik kasar bajuku selebihnya tanpa aba-aba membuka kakiku dan memintaku menerima dirinya. Menghunjam masuk ke dalam tubuhku. Bergerak kacau sampai aku perlu mengingatkannya berulang kali untuk lebih tenang.     

Baru keesokan harinya aku tahu tangannya mendapatkan robekan dan hunian kami di atas gedung bertingkat porak poranda dalam semalam. Itu pun aku tahu karena ajudannya bercerita di belakangku. Mereka tengah menaksir siapa yang melakukannya. Dan tak sadar aku mencuri dengar,     

Mungkin kejadian yang Hendra alami tak jauh dengan hari ini.     

Aku memeluknya kian erat, ku pejamkan mataku dan ku sesap bau tubuhnya di bahu. Ini adalah dia yang berbeda tapi aku mencintainya, tak apa, tak ada manusia yang sempurna.     

Tak apa, bukan salahnya jika seisi dunia tak sama dengannya. Biarkan saja dia punya sisi yang tak sama atau bahkan anomali di tengah-tengah populasi yang lama kelamaan kian tanpa sadar tergiring seragam.     

Yang terpenting aku tahu, di tubuh si moster ada jiwa baik yang luput dari penglihatan awam. 'Tak apa. Tak masalah,'     

"Terima kasih," Hendra berujar dan membuatku lekas membuka mata lebar-lebar. Akankah kalimat lirihku dia dengar?     

Kami bertemu mata selepas dia merenggangkan pelukannya. Mata merahnya yang bercampur biru mereda. Kian reda aku tahu, ini Hendra ku, Hendra yang tak tidur sebelum aku terlelap dan bangun sebelum aku membuka mata.     

Membimbingku bangkit dengan hati-hati, aku tak kuasa berdiri dengan tegap. Aku tak tahu mengapa. Semoga segalanya baik-baik saja.     

Bayi ini mengalami hari-hari berat, dia sudah berjuang keras sampai hari ini.     

Aku lihat wajah Hendra memucat hanya karena aku merasakan sakit untuk menegakkan punggungku.     

Aku takut, setakut Hendra yang meraup tubuhku dan ... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.