Ciuman Pertama Aruna

IV-178. Menghempas Debu



IV-178. Menghempas Debu

0"Tapi, bukan itu tujuanku mau diwawancarai," dia yang berbicara meletakkan map kuning, "Jika kau menggambarkan Cinderella dalam wawancara nanti, aku akan meminta Hendra membatalkan penayangannya," mata coklat itu melayangkan tatapan tajam pada perempuan yang jadi lawan bicaranya.     

"Lalu, seperti apa kau ingin terlihat?," Tania sendiri tak yakin mengapa dia harus menanyakan ini. Tapi, netra coklat yang biasanya berpendar hangat, kini terlihat tajam dan mengancam. Mata seorang perempuan yang dia kenal sebagai istri Mahendra yang merupakan gadis sederhana dan terlihat tak punya daya tarik, namun dibalik itu semua, dia begitu mudahnya membuat sang tuan muda itu terpikat olehnya.     

"Ingin terlihat seperti diriku sendiri tanpa analogi," lalu dia tersenyum hangat dan menjadikan lawan bicaranya bingung.     

Tania buru-buru melangkah, mendekati perempuan di atas ranjang yang terkesan layaknya putri tidur. Dia mengambil map yang saat ini sedang di julurkan oleh Aruna untuk dirinya, "Aku minta maaf, kalau sudah membuatmu tersinggung,".     

"Tak apa," senyum hangat itu masih bertahan di wajahnya.     

Sehingga, Tania pun merasa sedikit lega dan bertanya, "Ada yang tidak kau setujui dari pada konsep wawancara ini?,".     

"Aku malah ingin bertanya, siapa yang membuat konsepnya? Sehingga terlihat sangat detail. Apakah itu buatan kak Tania?," dia memberi tatapan ambigu yang menjadikan lawan bicaranya kaku sejenak.     

"Bukan," jujur Tania, "Berkas ini dari Hendra,".     

Menganggukkan kepala, Aruna paham, "Pantas, dalam konsep itu ditulis dengan detail untuk tidak memintaku bersalaman atau menunjukkan telapak tangan," dia mengangkat tangannya, sehingga lawan bicaranya bisa melihat bekas sayatan di sana, "Aku bukan Cinderella dengan kisah cinta yang berakhir bahagia selamanya, yang mendapatkan keajaiban dalam satu malam, tidak ada yang ajaib dalam hidup. Kita hidup di dunia nyata. Adanya perjuangan untuk terus bertahan mendaki tangga kehidupan, bukan begitu, kak?,".     

***     

Tania meninggalkan rumah induk dengan perasaan gamang. Dia belum pernah datang ke kediaman salah satu keluarga konglomerat ini, walaupun dirinya teman dekat Mahendra. Dia selalu penasaran bagaimana tuan muda kaya raya itu berasal dan seperti apa tempatnya tinggal.     

Dulu, dirinya memimpikan kastil ini. Tapi hari ini, dia ditampar oleh tanda tanya hebat di kepalanya. Tidak ada kesempurnaan di dunia yang fana ini.     

"Kau ajudan Aruna, kan?," tanyanya, pada gadis berseragam hitam yang tadi mengantarnya menuju kamar sang nona muda.     

"Iya," jawabnya singkat.     

"Beri tahu nonamu, aku sendiri yang akan mewawancarainya dan aku tak akan keluar dari konsep di map ini," dia mengangkat benda yang ada di tangannya, sebelum masuk ke dalam kuda besi merahnya.      

 ***     

"Sudah semuanya?,".     

"Masih tersisa dua, menunggu mereka membuka mulutnya," Herry menjawab pertanyaan tuannya yang baru datang. Lelaki bermata biru itu berjalan membelah enam pemuda yang berdiri di hadapannya.     

Keenamnya seolah sedang mendapatkan komando untuk memberi jalan pada pria itu, menuju tujuh laki-laki yang terikat satu sama lain. Saat ini, mereka berada di dalam satu ruangan di sebuah mansion yang ada di atas gedung bertingkat.     

Markas dari tujuh ajudan yang secara langsung menjadi kaki tangan lelaki bermata biru. Rolland, Jav, Herry, Alvin, Wisnu dan seorang anggota baru, tak lain ialah Juan. Keenamnya memperhatikan tuannya mendekati pria-pria bertubuh tambun yang beberapa hari sebelumnya membuat penyerangan brutal di rumah sakit Salemba.     

"Apa kalian pernah mendengar lantai dengan ruang putih?," dia yang bicara menarik bibirnya, "Oh' aku lupa memberitahu bahwa tempat itu bisa membuat penghuninya kehilangan kewarasan," matanya mengembara menatap satu persatu, kemudian gigi putihnya terlihat, "Aku tak suka mengotori tanganku," dia meraih sebuah jari dari si tambun yang wajahnya dipenuhi lebam biru keunguan, terlihat jelas bengkak di sebagian wajah itu, "Memotong ini pun tak mengasyikan," Mahendra mengingatkan penghuni ruangan ini akan hilangnya jari Rolland, dua dari sepuluh jari pemuda itu adalah implan, "Lebih mengerikan lagi saat seseorang memilih lebih baik dihabisi, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa," pria yang jarinya disentuh, bergerak membuat perlawanan.     

Berdiri dari posisinya yang semula berjongkok, Mahendra mengabaikan sejumlah tatapan permusuhan yang dihujamkan sekelompok orang terikat, "Bawa mereka ke lantai dasar," perintahnya yang langsung di angguki oleh para ajudannya.     

"Apakah ada perbedaan ketika aku memberitahumu informasi yang kalian inginkan?," salah satu dari tujuh lelaki terikat itu berteriak.     

Langkah Mahendra terhenti, lalu membalik tubuhnya, "Tentu," dia berdiri tegap di hadapan ketujuh tahanan, "Kalian akan menjadi orangku,"     

"Mustahil!" salah satu yang lain menyahut keras.     

"Tidak ada yang mustahil bagi orang sepertiku," dia mengangkat bahunya, "Semudah menghilangkan nyawa kalian dan menghapus semua jejak," kali ini, tangannya yang terangkat dan membuat gerakan dengan jemarinya. Jemari itu seolah menghembuskan sesuatu, seperti menghempas sebuah debu,     

"Menurutmu, apa yang membuat seseorang sepertiku sampai menemui kalian secara langsung?," manik mata biru mengembara, menatap tajam satu persatu dari tujuh tahanan yang saat ini menunggu kelanjutan dari kalimatnya, "Tentu saja karena aku tahu kalian bukan ajudan resmi Tarantula,".     

Para penyerang rumah sakit itu hanya sekelompok gangster jalanan yang sedang memburu hadiah spektakuler dari sayembara menemukan keberadaan Rey Barga. Itu sebabnya, mereka bahkan tak paham siapa yang tengah di serang malam itu. Herry dan yang lain bertindak cepat untuk mencari tahu dan menangkap satu persatu.     

"Dan, aku bisa memberi berkali lipat lebih besar dari yang mereka tawarkan," beberapa tawanan saling memandang, seperti sedang berkomunikasi lewat tatapan mata, "Atau, lantai dasar yang dingin siap menunggu. Oh' aku lupa! Kalian pasti berpikir jika lantai yang aku sebutkan sekedar fiksi," dia mengakhiri monolognya dengan senyum misterius.     

"Aku ikut denganmu, tuan," salah satu berucap lantang.     

"Aku juga," dan, yang lain menimpali.     

Mahendra menatap Herry, kemudian meninggalkan ruangan, diikuti tiga dari enam orang ajudannya. Samar-samar terdengar kalimat negosiasi yang menyusup di telinganya, terkait mengungkap dua orang yang belum tertangkap dan keduanya merupakan pimpinan gangster tersebut.     

Berjalan menuju ruangan tengah, manik mata biru itu mendapati Juan melepas jumpernya, kemudian disusul yang lain.     

Kini, tiga pemuda tertangkap telanjang dada dan mulai meraih sebuah kaos hitam. Sebuah pakaian sederhana anti peluru yang sekarang menjadi standar pengamanan untuk orang-orang tuan muda Djoyodiningrat. Lelaki bermata biru itu tak menginginkan kekonyolan Vian menimpa yang lain.     

Kaos anti peluru yang terbuat dari boron karbit ini bersifat lebih ringan, kuat dan kaku, dibanding katun biasa. Tapi, pakaian sederhana itu tetap bisa ditekuk, tidak seperti rompi pelindung yang terbuat dari bahan sejenisnya tapi dengan kualitas biasa. Sebenarnya, sifat fisik dari kain jenis baru ini masih diuji. Namun, lebih baik daripada tidak memakai pelindung sama sekali.     

Juan, Wisnu dan Jav, melapisi apa yang baru mereka gunakan dengan baju yang lebih casual, sebelum menyelipkan sepucuk belati kecil ke dalam kantong yang melekat kuat pada sisi samping tubuh mereka, termasuk senjata api.     

"Kalian berangkat sekarang?," Mahendra mendapati Jav berbalik dan mengangguk ringan, sedangkan Wisnu terlihat masih bermain main dengan belati kecil di tangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.