Ciuman Pertama Aruna

IV-177. Cinderella



IV-177. Cinderella

0Dia terbangun dan mendapati ruang disisinya telah kosong. Menyadari suaminya tidak ada, Aruna mencoba meraih sesuatu di atas nakas dan mulai memainkannya.     

Saat menemukan fokusnya kembali, dia menyadari lampu di langit-langit sudah mati. Pantas saja jika warna-warni yang disajikan telah menghilang, dan kini berganti cahaya matahari yang menyusup dari kaca jendela.     

Matahari tak menyengat, ketika jarum jam yang ada di dinding menunjukkan pukul tiga sore. Ternyata, dia telah tertidur cukup lama. Melirik sejenak pada jendela, Aruna pikir dirinya perlu menyalakan televisi untuk membantu menyenangkan dirinya sendiri.     

Kadang kala, menonton sesuatu secara acak di televisi tanpa tujuan terasa lebih menghibur, daripada menundukkan kepala dan berselancar di aplikasi-aplikasi handphone yang menyajikan segala hal yang kita inginkan dengan instan.     

Tak berapa lama, seseorang masuk ke dalam, "Nona," perempuan terbaring itu lekas menurunkan volume televisi, "Saya pikir anda masih tidur,".     

"Kihran?," tampak seutas senyum menggantung, mendapati seseorang yang dia pikir tak akan lagi menyentuh rumah ini, kini terlihat di depan mata.     

"Saya diminta membangunkan anda," ujar gadis itu, mendekat perlahan, "Ternyata, anda sudah bangun,".     

"Bagaimana kau bisa berada di sini?," mata coklat perempuan itu dipenuhi binar bahagia dan bingung, bercampur jadi satu.     

"Tuan yang meminta saya," gadis berambut hitam panjang dengan ikatan rendah yang menyentuh sisi belakang leher—khas ajudan perempuan itu, terlihat menampakkan giginya. Pipinya memerah, dia jelas sedang berbahagia.     

"Suamiku memintamu secara pribadi?," Aruna mengulangi pernyataan Kihrani. Sungguh, dia tidak pernah berpikir demikian.     

"Lebih tepatnya, melalui senior Susi," matanya masih menyipit ketika menjelaskan bagaimana dia bisa hadir ditempat ini. Sekejap berikutnya, Kihrani nampak menggelengkan kepala, "Oh' saya melupakan sesuatu yang penting,".     

"Apa?," Aruna masih terdiam dalam kebingungan, ketika melihat Kihrani berjalan mendekat ke arahnya.     

"Anda memiliki tamu, nona," ajudan perempuan ini menyampaikan maksud lain dari kedatangannya.     

"Tamu?" benak Aruna menerka dan isinya kekosongan, dia tidak dapat mengingat apapun atau memahami pesan dari Kihrani. Dia hanya bisa memikirkan sebuah nama.     

"Seorang artis," ada raut muka seperti tengah mengingat-ingat sesuatu atau mungkin seseorang.     

"Laki-laki?," tebak Aruna.     

"Bukan," tukas Kihrani, "Dia perempuan, teman nona. Saat ini, dia sedang mengobrol bersama nyonya Gayatri," jelasnya.     

Aruna masih diterpa kebingungan dan penasaran ketika dia coba memastikan kembali ucapan ajudannya, " Temanku??,".     

"Em, kalau tidak salah namanya Tania," Kihrani berucap ragu-ragu, sepertinya dia masih berusaha mengingat nama yang sempat hilang dari benaknya.     

Ekspresi lega spontan dihadirkan Aruna, dia mengangguk dan tersenyum tipis, "Dia sahabat suamiku, izinkan masuk,".     

Tak butuh untuk dua kali instruksi dari nonanya, Kihrani segera bangkit dan membuka pintu untuk mengejawantahkan apa yang diinginkan Aruna.     

Seorang perempuan dengan tubuh ideal berbalut kostum kerja yang fashionable, kini hadir di hadapan sang nona muda yang baru menaikan tubuhnya. Dibantu oleh ajudannya, Aruna mendapati sangga bantal empuk di belakang punggungnya.     

"Aku keluar dulu," suara Gayatri yang baru masuk, selepas memastikan Aruna membenarkan dirinya. Dengan isyarat, perempuan ayu itu menjadikan Kihrani ikut meninggalkan dua orang di dalam kamar tersebut.     

"Aku senang akhirnya bisa menemuimu," Tania berujar riang, terlihat jelas bahwa dia sangat antusias untuk bertemu Aruna.     

Senyum tipis dihadirkan perempuan dengan manik mata coklat, "Apakah ini ada kaitannya dengan wawancara program televisi yang kak Tania bawakan?," tanyanya.     

"Ya," jawab jujur Tania, "Dan, Hendra sudah mengundurnya dua kali," pernyataan ini mengundang desah sesal dari lawan bicaranya.     

"Maaf," manik coklat terang perempuan ini, kini layu.     

"Tak perlu minta maaf, tidak ada yang bisa memprediksi apa yang bakal terjadi pada diri kita," perempuan yang saat ini duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang Aruna, kini tertangkap memangku kakinya dan mengeluarkan map dari dalam tas kerjanya.     

Dia mendesah, wajahnya menunjukkan semburat ekspresi penasaran. Matanya mengedar mengamati langit-langit di atas ranjang, lampu tidur, kemudian jatuh menyapu seluruh ruangan, "Tapi, Hendra bersikukuh memintaku tetap datang menemuimu," dia yang berkata pada Aruna masih enggan menanggalkan caranya memperhatikan ruangan yang tersaji.     

Aruna tersenyum samar, menyadari dirinya lah yang membutuhkan wawancara ini, demi menutup segala spekulasi hilangnya Rey Barga, apakah ada kaitannya dengannya atau tidak.     

Dia benar-benar penasaran dengan perkembangan kasus yang menimpa mereka berdua. Mungkin, Kihrani bisa menghubungkan dirinya dengan Vian untuk meminta penjelasan lelaki bermata sendu itu.     

"Wow! Ruangan ini unik," Tania berseru ringan, selepas mengamati kamar yang Aruna tempati akhir-akhir ini, "Bakal menarik," tapi kemudian dia mendesah lagi, "Hendra menawarkan konsep yang kupikir mustahil. Tapi setelah berada di sini, sekali lagi, aku tak bisa membantah permintaannya," dia yang bicara berdiri dan terlihat mendekati perempuan di atas ranjang. Tangannya menjulur, menyodorkan map kuning yang sedari tadi dia siapkan, "Ini konsep wawancara kami,".     

Setelah menerima map yang diberikan padanya, perempuan bermata coklat itu mulai membolak-balik kertas. Seiring cara Tania mengelilingi ranjang dan terlihat mengamati beberapa benda, "Aku tak yakin jika Hendra bisa tidur bersama benda-benda semacam ini," Aruna spontan mengangkat wajahnya—dari caranya memperhatikan baju konsep wawancara, selepas mendengar kalimat tersebut.     

Perempuan di ujung sana sedang memperhatikan sesuatu yang tersusun di dinding. Foto berbingkai koral, sulaman, Oshibana [1] dan lainya. Tak perlu ditanya dari mana benda-benda semacam itu berasal. Semua orang tahu bahwa tangan perempuan yang tengah terbaring di atas ranjang itu bisa menciptakan segala pernak-pernik, selain menggambar desain.     

Aruna sekedar mendengarkan, lalu kembali fokus membaca konsep wawancara dengan tema Bedroom Tour, "Apakah tidak masalah jika aku tidak bisa banyak bergerak saat wawancara nanti?," tanyanya, mengalihkan sejenak pandangannya dari kertas-kertas yang tersaji di hadapannya.     

"Hendra dan aku sudah membahasnya," menolehkan kepala dari caranya memperhatikan benda-benda unik hasil kerajinan tangan, Tania mengatakan sesuatu yang sedikit membuat Aruna tak percaya, "Dia akan ikut andil menemanimu,".     

"Benarkah?," Aruna coba meyakinkan.     

"Aku salut denganmu," kini, Tania sepenuhnya membalik badan dan menatap Aruna. Dia berdiri dengan pose layaknya seorang model yang tengah memperagakan sebuah pakaian brand ternama, "Yang aku tahu, Hendra hanya mengenal dua warna dalam hidupnya, putih dan abu-abu gelap. Dulu, kamarnya terkesan sangat kaku dengan hanya warna kayu yang menjadi penerang," ucapnya, "Tapi sekarang, ruangan ini? Lampu aneh itu?" dia yang bicara mengacungkan jemarinya ke langit-langit, "Tunggu, bunyi-bunyian aneh ini? Dari mana dia berasal?" tambahnya, berjalan menuju jendela, "Apakah aku diizinkan membahasnya dalam wawancara?,".     

Aruna mengerutkan keningnya, "Apa yang menarik dari itu?," dia sama sekali tidak paham dengan tujuan Tania membahas hal tersebut.     

"Kau membuat banyak orang penasaran," ucap Tania, "Apa kau lupa siapa suamimu? Kisah Cinderella sangat menarik," mata perempuan ini berbinar.     

"Tapi, bukan itu tujuanku mau diwawancarai," dia yang berbicara meletakkan map kuning, "Jika kau menggambarkan Cinderella dalam wawancara nanti, aku akan meminta Hendra membatalkan penayangannya," mata coklat itu melayangkan tatapan tajam pada perempuan yang jadi lawan bicaranya.     

.     

.     

[1] Oshibana adalah seni merangkai atau menghias dengan bunga dan dedaunan dikeringkan dengan cara ditekan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.