Ciuman Pertama Aruna

IV-176. Shine



IV-176. Shine

0"sayang ada airnya,"     

"jangan konyol! itu bukan buat kamu!"     

"Hehe," dia menyipit tertawa, tapi perilakunya dilanjutkan.     

"Hendra, dokter bilang tetesan pertama sangat penting buat baby,"     

"aku tahu, aku tak akan menyesapnya lagi," kepalanya naik, matanya menatap mata istrinya. dia meyakinkan.     

"Ada saratnya," Aruna memeluk kepala pria berambut coklat gelap tersebut, "tutup matamu dan cobalah untuk tidur, tak ada yang salah dengan istirahat," perempuan yang menguarkan bau sabun mandi khas racikan umkm alih-alih membeli barang bermerek-menjadikan pria dalam dekapan serasa terbius-.     

tangan mungil itu menyusup pada sela-sela rambut, mengelusinya berharap dia yang sedang menikmati bagian tubuhnya lekas tertidur. atau minimal perlahan-lahan mengurangi ritmenya.     

waktu berlalu dan belum ada tanda-tanda akan di lepas, "kau sangat menyukainya," Aruna pikir lelaki berambut coklat ini tak akan mendengarkan desahannya. nyatanya ia mengangguk-angguk.     

"aku tahu kamu sangat bersemangat kalau sudah begini," lalu perempuan tersebut menelan nafas, menarik oksigen dalam-dalam.     

anehnya, dia yang sedang melangsungkan kegiatan menyenangkan versinya, menghentikan perilakunya begitu saja. seolah ada bahasa lain selain kata-kata yang mampu memberi isyarat atas sesuatu yang di pendam istrinya.     

"aku di ajarkan mengekang kehidupan perempuan, memberi batasan-batasan dengan dalih demi kebaikan kalian. tapi tak pernah sekalipun di ajarkan berkhianat. Sesibuk dan serumit apa pun keadaan kami, kami akan tetap pulang dan tidur di ranjang perempuan yang sudah di ambil sumpahnya. seorang kesatria tidak akan melanggar janjinya. prinsip yang tak bisa di tawar lagi," Hendra melepaskan diri. menatap langit-langit ruangan, sejenak tersenyum samar lalu menoleh pada istrinya.     

"kamu bisa pegang kata-kataku,"     

Aruna tak tahu dari mana asal bulir air di sudut matanya, dia cengeng semenjak hamil, emosinya berubah-ubah dengan mudah.     

"kenapa?" tanya lelaki bermata biru, "percayalah, aku bukan lelaki tidak tahu diri. Terlebih bertindak di luar logika. Mana mungkin aku bisa berperilaku seenaknya ketika seseorang sedang berjuang mengandung bayiku selama berbulan-bulan," dia yang tengah bicara mengusap sudut mata.     

"aku tak tahu," dia menggeleng. "aku, em.. kadang-kadang ada rasa khawatir, yah., semacam takut,"     

"bukan hanya kamu. aku juga," Hendra menurunkan pandangannya dan menyentuh perut istrinya. "andai kamu tahu isi hatiku saat ini."     

'rasanya aku ingin menghabisi mereka yang berani menyentuh kalian,' dia bergumam pada caranya membuat usapan.     

"kalau di pikir-pikir lagi, segalanya menakutkan, dulu aku sangat takut padamu, pada kakekmu dan seluruh dinding di rumah ini. tapi sekarang aku malah mengandung pewaris segala yang kutakutkan," dia ikut-ikut suaminya menatap langit-langit ruangan, tersenyum sejenak mengetahui apa yang di amati suaminya, "jadi mari kita pikirkan saat menghadapinya saja,"     

"Ya," bibir lelaki mendesah mengimani keputusan yang di tawarkan istrinya. Tak ada yang jenak menghadapi persalinan. bukan hanya perempuan hamil itu sendiri. Hendra lebih kacau andai orang lain bisa mengukur isi hati dan kepalanya.     

tangan Aruna menjulur ke langit-langit, "lampu-lampu itu berfungsi," ungkap Aruna.     

"aku seperti melihat kamar mungilmu di rumah ayah Lesmana,"     

"Awalnya aku tak yakin, mommy Gayatri tahu seleraku sampai sejauh ini,"     

"apakah kita bisa mencobanya?" tanya si lelaki.     

"tutup semua kelambu," dan dalam sekejap mata Aruna bisa melihat pria itu bangkit. Menarik seluruh jendela beserta gorden tebal. Menyelimuti ruangan tanpa menyisakan cahaya matahari.     

Dia memencet tombol stop kontak, sejalan dengan itu. Lampu yang mengantung di langit-langit ranjang berkedip. Bergonta-ganti warna. Putih, kuning, ungu, merah, hijau dan biru. Lampu-lampu ini menjulur layaknya ubur-ubur laut yang sedang menggantung.     

Hendra kembali terbaring, "kau selalu unik," ujarnya sekali lagi mengomentari hal-hal aneh yang di sukai istrinya.     

"Tapi menyenangkan, iya kan?"     

Dia yang mendapat kalimat tanya tertawa samar, "seperti apa karakter putri kita nanti, Aku pikir menjadi sepertimu akan membuat hidupku kian berwarna,"     

"tak perlu jauh-jauh memikirkan karakternya, kamu bahkan belum menyiapkan namanya,"     

"Ah' kamu benar sayang," Hendra seolah tengah di ingatkan.     

"Ayah macam apa kamu, satu bulan waktu yang sebentar,"     

"Apa istriku punya saran?" Hendra menoleh pada perempuan yang kini masih enggan mengalihkan tatapan dari langit-langit ruangan.     

"tak ada, otakku kosong," dan lelaki bermata biru tak bisa menghentikan tawanya mendengar pengakuan istrinya yang blak-blakan.     

"jangan menertawakanku," Aruna memberi peringatan, "aku yakin kamu pun kosong,"     

"Hahaha, benar, aku tak tahu harus memberi nama apa, tapi aku yakin kakekku pasti sudah memikirkannya jauh-jauh hari,"     

"apakah namamu dari kakekmu?"     

"kau tak akan percaya, aku punya panggilan berbeda saat kecil,"     

"benarkah?"     

"aku tidak begitu ingat, tapi Shine, kadang samar-samar aku bisa mengingat Mommy memanggilku itu, sebelum kami pulang ke negara ini,"     

"Shine, bersinar, Aruna, cahaya matahari fajar, bagaimana kalau binar, berbinar-binar, haha," ada tawa di ungkapan Aruna.     

"Kau akan membuatnya terdengar konyol, haha," ini tawa Mahendra. "Aku akan menemukannya tapi tidak sekarang," imbuhnya menatap nyala lampu di langit ruangan yang tengah berkedip, sebelum meredupkan warna biru di matanya, tertelan pelupuk mata.     

Ada perempuan yang berbahagia bisa mengantarkan istirahat suaminya.     

***     

Wangi wangian makanan hadir setiap hari selama sepekan terakhir di hunian pemuda yang memilih bekerja dari rumahnya. Dia sesekali mendapat keringangan sebab kondisi tembakan di dadanya masih di kategorikan sebagai tahapan pemulihan.     

Wangi-wangian tersebut berasal dari tumbukan rempah beradu santan kelapa dan kadang kala berpadu dengan daging segar. Berat badannya melonjak tajam. Pria ini tak bisa menghentikan kunyahan mulutnya di antara kesibukannya menerima surel, menandatangani naskah, dan membuat beberapa kebijakan untuk anak buahnya.     

Gigitannya pada sebuah Risoles terhenti tatkala si perempuan yang menjadi asisten rumahnya datang. Gadis itu meletakkan bubur kuah santan yang di padu dengan bulatan-bulatan sebesar biji salak, warna emasnya menggoda. Buatan campuran tepung ketan, tepung beras dan garam yang di rendam ke dalam larutan gula merah dan sepucuk daun pandan. Orang bilang sup ini adalah sup biji salak atau jenang grendul dalam bahasa daerah.     

Pemuda itu berhenti menggigit sekarang dia meraih supnya. Anehnya gadis di hadapannya memilih duduk di sofa. Itu bukan kebiasaannya, Bomb panggilan nakal dari si pemuda tersebut lebih suka menghindarinya.     

"ada apa?" ungkap Vian penasaran mengurungkan kehendaknya untuk menyendok bulatan emas.     

"Senior Susi menghubungiku,"     

"lalu,"     

"aneh saja, senior bilang tuan Hendra memintaku kembali menjaga nona. Bukankah ini aneh? Aku sangat senang sekaligus bingung," ujar Kihrani.     

"Tunggu dulu," Vian segera meraih handphonenya tak lama dia terlihat bercuap-cuap dengan pimpinan ajudan perempuan di rumah induk dan benar adanya. Sempat tertegun sejenak, "aku hafal betul dengan kebiasaan presdir, dia bukan tipe orang yang mau menarik ucapannya. Dan nona Aruna, perempuan itu memang terlihat hangat dan santai tapi dia seseorang yang teguh memegang prinsipnya. Nona mengatakan padaku bahwa ia tak bisa menerimamu sebab menghargai keputusan suaminya, jadi siapa yang mendorong Presdir mengambilmu dariku?"     

"kau terlalu banyak berspekulasi!" cicit Kihrani, "oh, aku lupa, kamu di bayar mahal untuk berspekulasi," gadis di hadapan Vian melepas bib apron (celemek) dan hendak kembali ke dapur, "aku akan berangkat, kalau butuh sesuatu segera meneleponku,"     

"Tidak! Aku akan ikut,"     

Alis milik gadis berambut panjang menyatu, "kau berlebih," hinanya pada Vian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.