Ciuman Pertama Aruna

IV-175. Benjamin Thomas



IV-175. Benjamin Thomas

"Benjamin Thomas?" ucap Bianca dengan ekspresi terheran-heran.      

Melihat ekspresi Bianca, Gibran lekas mengujarkan kalimat tanya: "kamu mengenalnya?"      

"Oh," mata Bianca naik, perempuan ini mengangguk selepas mengamat raut wajah CEO Tarantula tersebut. Akan tapi Bianca masih enggan mengatakan bahwa pemiliknya tak lain adalah CEO baru Djoyo Makmur Grup. Dia yakin Gibran kian muntab detik ini andai lelaki tersebut tahu siapa Benjamin Thomas.      

Untuk itu Bianca mengangguk atas pertanyaan terkait apakah dirinya mengenal Thomas, namun tidak membuka identitas pria tersebut.      

"apa kamu bisa menemuinya?" Bianca mengangguk untuk ke dua kalinya.      

"oh' Bagus," untuk ke sekian kalinya Bianca melihat Gibran kembali mondar-mandir di hadapannya.      

"Bagaimana jika kamu menemuinya sekarang?"      

"Aku harus membuat janji, dia bukan pria yang bisa di temui sembarangan,"      

"begitu rupanya,"      

"ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya kak Gibran inginkan?"      

"aku ingin membeli taman bermain itu lagi,"      

"Aku rasa itu ide buruk, terlebih ayah kak Gibran sudah melepasnya, aku rasa kakak bakal mendapatkan masalah,"      

"Aku menggunakan namaku sendiri, atau mungkin aku cukup tahu di mana Darsono," dia yang bersurai pekat berhenti bergerak, tampak berpikir sejenak dan dengan sekejap meninggalkan Bianca begitu saja. Gibran keluar dari ruangan Bianca, membuat panggilan untuk seseorang.      

[Key, aku ingin Pay menemaniku, aku akan memeriksa sendiri keberadaan Darsono, maksudku Darko] kalimat Gibran yang terdengar di telinga Bianca sebelum lelaki tersebut tertelan pintu lalu muncul kembali, "Aku akan pergi, tolong gantikan tugasku sementara waktu, dan jangan lupa buat jadwal bertemu Benjamin Thomas," Gibran termasuk para putra Tarantula benar-benar kacau sejalan dengan hilangnya Rey Barga. Demikian hemat Bianca.      

***      

"Hendra," perempuan setengah terbaring menggigit sepotong Sandwich. di bahunya diletakkan beberapa bantal busa.      

 Pada kursi yang semalam digunakan lelaki bermata biru untuk menjaga istrinya di didapati seorang asisten berusaha membantu. Ratna memegang piring berisikan beberapa potong Sandwich.      

 Mahendra mendekat, Meraup piring putih di telapak tangan Ratna. "kamu Boleh keluar," Lirihnya mengusir asisten rumah induk.      

 Ratna lekas bangkit dari duduknya, mempersilahkan Hendra dan tersenyum pada nonanya sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan.      

Pria yang kini duduk terlihat memungut sepotong Sandwich dan mulai menggigitnya sembari memperhatikan pergelangan tangan istrinya. Senang rasanya tidak melihat selang kecil lagi di sana.      

"Hai, Jangan mengurangi jatahku," Aruna berusaha meraih miliknya yang di bawa lelaki bermata biru- yang mengunyah makanannya tanpa henti-      

 "Ada dua perut manusia yang harus di isi," protes Aruna.      

"Ah' maaf," dia yang berbicara lebih berselera makan di dekat ranjang istrinya dibandingkan di meja makan. "Biar aku minta tambah pada Ratna,"      

"tidak perlu, masih banyak," Aruna mengerling, sejenak kemudian dia menoleh, memperlihatkan kereta dorong berisikan nampan makanan yang terparkir di dekat nakas.      

"Istriku bisa menghabiskan sebanyak ini?" Hendra terkejut bukan main. Perempuannya mengangguk riang. Tiga susun makanan ada di sana. Lelaki ini mengambil sebuah Ceri dan menggigitnya.      

"Kita berdua sangat rakus," obrolan ringan menghilangkan perdebatan yang sebelumnya terjadi.      

Hendra menapakkan senyumannya tatkala ia mendengar pernyataan Aruna. Dan perempuan di atas ranjang menepuk permukaan kasur empuk, meminta lelakinya terbaring.      

"turunkan suhu ruangan sayang," pinta Aruna.      

"apa yang kamu inginkan?"      

"kemarilah," Aruna menepuk kembali ruang kosong di sisinya.      

Selepas menelan Sepotong Sandwich, Mahendra lekas menuruti permintaan Aruna. Ia terbaring dan mengecup bahu perempuannya, Aruna memiringkan tubuhnya sembari perlahan-lahan menurunkan tubuhnya. Meminta Hendra menyingkirkan bantal busa di punggungnya.      

"Bolehkah aku membuat permintaan?"      

"Katakan?!"      

"Aku ingin di temani hari ini," pinta Aruna. Ini sekedar alasan perempuan tersebut. Dia ingin melihat suaminya tertidur.      

"Boleh, tapi nanti aku butuh waktu bertemu dengan beberapa orang, aku bisa menggeser jadwalku, sayang tidak untuk mengabaikan tugas-tugasku untuk saat Ini,"      

'dalam keadaan seperti ini, mustahil istirahat,' sebuah kalimat di simpan sendiri oleh lelaki bermata biru.      

"menggeser?" bibir cemberut di tunjukkan oleh Aruna.      

"Bukan hanya istriku yang membutuhkanku, ada banyak kepala-" pernyataan berikut terputus.      

"Yang bergantung hidup di Djoyo Makmur Grup," di lengkapi Aruna, ada nada bercanda sembari mencibir suaminya dengan menirukan cara Hendra bicara.      

"Hah, kau ini! kian pandai menirukanku ya.." tangan lelaki bermata biru membelai rambut istrinya, "Huh," dia menghela nafas, "mudah sekali kau terluka," desisnya lirih. Cara bicara dan ekspresi Mahendra berangsur-angsur berubah.      

"Apa aku tampak tak menarik dengan bekas luka ini?" dia yang bicara mengangkat telapak tangannya.      

"Bicara apa kamu?"      

"Aku hanya bertanya,"      

"Pertanyaanmu tidak berbobot,"      

"aku hanya bertanya, kamu sangat kaku," Aruna tahu lelakinya sering kali menyebalkan namun seharusnya ia tak mengatakan itu.      

Mahendra mendekati wajah istrinya, "aku tahu pikiranmu ke mana-mana," tebak Mahendra.      

"Sok tahu, aku hanya ingin kamu tidur, istirahat, Cuma itu,"      

"Lalu apa hubungannya dengan mengatakan apakah aku 'tak menarik dengan bekas luka," Mahendra memungut telapak tangan tergenggam dan mengecupnya.      

"Lelaki sepertimu bisa memenuhi segala kebutuhan dengan satu kali ucap, kadang aku membayangkan yang tidak-tidak, satu bulan, bukan hanya satu bulan ke depan. Beberapa bulan mendatang aku tak tahu apakah aku bisa memenuhi kebutuhanmu,"      

Lelaki tersebut tersenyum mendengarkan keluhan istrinya.      

"itu sebabnya aku menjaga tontonan mu, sepertinya sekarang aku terlalu membebaskan istriku. Apakah si perempuan banyak terbaring ini suka sekali melihat drama series di televisi?" tanya Mahendra menggoda istrinya. Kalimat kalimatnya kadang berbarengan dengan caranya menyesap bibir bawah perempuannya.      

"apa yang salah dengan menonton televisi?" alis Aruna menyatu. Dia tahu cara membobol beberapa kanal stasiun TV yang di blokir Mahendra atau entah siapa. Aneh sekali, keluarga ini. Keluarga suaminya yang kini telah menjadi keluarganya juga mereka bahkan tak memberi akses untuk melihat kanal stasiun yang sering kali menayangkan berita, politik dan semacamnya termasuk stasiun TV lokal tertentu. Sejak awal menikah, hingga sekarang rumah ini belum berubah terlalu banyak aturan terutama untuk para perempuan yang hidup di dalamnya.      

"Tak semua yang di lihat membawa manfaat, bahkan kebanyakan tidak benar. termasuk drama series yang kamu tonton. Bisa membuat otakmu ke mana-mana,"      

"hahaha," tawa Aruna menggelegar. Ucapan Mahendra benar. Bahkan Aruna dulu tak tahu bagaimana trendingnya berita Danu Umar yang kala itu menghebohkan dunia pergosipan atas kemundurannya. Memang tak ada benarnya sama sekali. "Tapi aku butuh, menghibur tahu," Aruna mencari pembenaran, "Hendra! Jangan menggigitnya!" pekikan ini keluar begitu saja.      

Aruna bahkan tidak sadar sejak kapan kancing bajunya terbuka dan pria itu sudah berhasil menyusup di sana. Di bagian yang sekarang telah merekah sebab siap untuk di berikan pada bayi yang sebentar lagi lahir.      

"sayang ada airnya,"      

"jangan konyol! itu bukan buat kamu!"      

.     

.     

____________     

Semoga teman-teman pembaca Sehat-sehat selalu. Amin. Salam sayang dari penulis ^_^     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.