Ciuman Pertama Aruna

IV-172. Dia Belum Tidur



IV-172. Dia Belum Tidur

0"Hendra? bagaimana bisa kamu duduk di situ?" Aruna hendak bangkit, tapi ia menyadari ia tidak diizinkan untuk melakukan itu.     

Maka dari itu perempuan ini memilih menaikkan volume suaranya. Memanggil nama suaminya lebih nyaring lagi, " Hendra..." nyatanya lelaki bermata biru masih enggan menampakkan manik matanya.     

Aruna mencoba mencari sesuatu yang dapat ia gunakan, sayangnya tidak ada yang lain Selain bantal di samping tempatnya terbaring. dan ia tidak menginginkan melempar bantal kepada suaminya.     

"Sayang, Mahendra... HENDRAA..." keputusan terakhir yang ia ambil adalah menambah volume suaranya, setinggi mungkin sampai pria itu pada akhirnya melempar buku dari tangannya.     

buku tersebut jatuh tersungkur di lantai, pria yang melemparnya terbangun geragapan, "kamu tidak tidur?" dipenuhi nada khawatir, Aruna tampak kecewa kepada suaminya, "Kamu duduk di situ semalaman?"     

"Tidak," jawab Mahendra. Telapak tangan terdapati menyentuh separuh kepalanya sebelum bangkit dari kursi yang berada di sisi kanan ranjang Aruna.     

"aku tidak yakin dengan kata-katamu," Aruna mengamati lelaki yang berjalan mengitari ranjang. "Bawa aku kembali ke kamar kita, kalau kamu tak bisa membaringkan dirimu di sisiku selama aku dalam kondisi seperti ini,"     

"Buat apa? Sekarang sudah pagi," Mahendra sudah berada di sisi kiri ranjang. Pria itu menaikkan kakinya, sejalan kemudian terlihat membaringkan tubuhnya.     

"Kamu pikir aku tidak tahu? Kamar ini dulu adalah," Aruna enggan membahasnya. Perempuan ini memahami dengan baik tempat ini merupakan kamar di mana Mahendra kecil mendapati traumatisnya.     

"Aku baik baik saja sayang, aku ketiduran di kursi itu, hanya itu, tak ada yang lain, percayalah, lihat!" Mahendra memalingkan tubuhnya pada istrinya, " aku berbaring di dekatmu," tambahnya.     

Perlahan-lahan tapi pasti Aruna mencoba memiringkan tubuhnya, "kamu boleh melakukan itu sayang?"     

"Suster bilang tak masalah, sebab sudah tidak ada pendarahan, terlentang tiap saat sama berbahayanya," jelas perempuan hamil tersebut.     

Aruna tidak seberapa miring ke arah Mahendra akan tetapi dia cukup bergerak dari pada sebelumnya. Pria itu merajut jemari sang perempuan, jemari yang telapaknya sudah menanggalkan perban. Hendra menyentuhnya perlahan, mengamati dengan sesama bekas-bekas luka yang menyayat di sana.     

Spontan Aruna menariknya dan membuat genggaman.     

Hendra terdiam mendapati perilaku tersebut.     

Saat pintu di luar di ketuk dan seseorang mencoba mendorong secara perlahan, lelaki ini mengarahkan pandangannya. Ia menatap seseorang yang hendak masuk ke dalam.     

"Aku yang akan mengurus istriku hari ini," Ratna di ujung pintu mengundurkan dirinya kembali menutup pintu tersebut.     

"Hendra, bukankah kamu belum istirahat? Mengurusku tidak mudah, tidurlah, biar aku-," mata biru nan tajam mengarah pada Aruna.     

"jadi kau keberatan?"     

"bukan begitu,"     

"diam lah kalau begitu,"     

Aruna hanya bisa mengembuskan nafas nya. Memalingkan pandangannya, tak berkenan menatap suaminya. Dia sedikit kecewa dengan kalimat terakhir yang ia dengar dari Mahendra.     

"Hai, aku hanya ingin membantumu, apa itu salah?" Tangan lelaki itu memegangi kepala Aruna dan mulai mengusap rambutnya. "ayolah.."     

Hendra mendekat, menyentuhkan bibirnya pada Permukaan pipi Aruna, "aku tidak akan lelah, kalau sekedar berjaga semalaman, atau memandikan istriku, kalian harta terbaikku, istri dan baby adalah hidupku," membelai wajah untuk di arahkan padanya Hendra melihat warna merah di mata perempuannya.     

"Kenapa?" mata biru mengembara menangkap wajah istrinya, setengah terduduk dia berusaha mencoba mengembalikan suasana hati Aruna.     

"aku lebih suka melihatmu berangkat ke meja makan," ini jam sarapan rumah induk, "dan makan bersama keluarga yang lain, dari pada di sini merawat ku,"     

"kenapa begitu?"     

"aku tidak tahu,"     

"Kamu harus punya alasan," ada nada geram pada diri Mahendra.     

"Aku.. Aku tidak suka terlihat menyedihkan,"     

"aku suamimu,"     

"itu masalahnya,"     

"di mana masalahnya?"     

"Tatapanmu membuatku menyadari aku terlihat menyedihkan,"     

Hendra bangkit dari tidurnya. Dan menurun ranjang.     

"kamu mau ke mana?"     

"kamu mengusirku, bukan?"     

"aku tidak mengusirmu..."     

Pria itu berjalan tanpa menengok ke belakang lagi.     

"Hendra... Hen... Hendra..."     

"Brak!" pintu di tutup kasar. Sang pria yang meninggalkan kamarnya bahkan tidak yakin apa yang sedang ia lakukan. Dia hanya tak senang.     

.     

.     

"Apa suamiku terlihat marah ketika menintamu membantuku?" ini pertanyaan Aruna. Menyambut kedatangan Ratna dan seorang Suster yang memeriksanya.     

"saya tidak yakin," Ratna menerima baju yang baru saja Aruna lepas dari tubuhnya, "tuan terlihat gelisah sepanjang hari dari pada marah," kini ratna meletakkan baju Aruna pada ranjang kecil, detik berikutnya buru-buru menyerahkan piama untuk menutupi tubuh terbuka nonanya, "perut Anda sangat besar," takjub Ratna.     

"baby akan lahir," calon ibu tersenyum menyambut ungkapan tertegun asistennya.     

"Apakah saya boleh minta obat tidur?" ini suara Aruna tertuju pada suster yang menyiapkan pemeriksaan.     

"Buat apa?" ada nada terkejut di sana.     

"orang bilang ibu hamil sebaiknya menghindari minum obat," Ratna menyela.     

"aku tahu, bukan untukku. Aku ingin memasukkannya diam-diam di minuman Hendra, dia harus tidur,"     

"Apa Anda tidak tahu tuan sangat membenci obat tidur?" Ratna berjalan mendekat. Menekan suaranya, "sebaiknya jangan lakukan atau tuan Hendra akan murka jika dia tahu,"     

"lalu aku harus bagaimana? dia seperti vampir hidup," maksud Aruna tak punya rasa kantuk sama sekali, "melihatnya terjaga semalaman membuatku ikut sakit kepala,"     

Ratna mendekat, "minta tuan memeluk Anda selepas ini nona, memeluk bermenit-menit, aku yakin.." Ratna tidak melanjutkan kalimatnya namun mata keduanya saling bertemu satu sama lain dan meyakini ide ini akan berhasil.     

.     

.     

Pagi ini, ruang makan di rumah induk kembali normal, empat dari lima anggota keluarga ada di kursi mereka. Seseorang yang memimpin adalah dia yang duduk di kursi roda, koran yang biasa menghiasi tangan si pria paruh baya tak terlihat hari ini.     

perempuan yang duduk di sisinya alias Sukma tidak menyediakannya seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya. Pasangan suami istri yang telah menjalani pernikahan selama lebih dari dua puluh lima tahun tersebut bahkan belum tidur dalam satu kamar seperti sebelum-sebelumnya.     

Sukma masih meminta waktu untuk kembali memosisikan diri di dekat Wiryo. Perempuan itu masih marah, walaupun tatkala di tanya Gayatri sang ibu marah atas dasar apa, nyonya besar rumah induk tersebut tidak punya definisi yang jelas.     

Untuk itu bisa di bayangkan sedingin apa pagi ini.     

Hendra mengaduk makanannya sejak tadi. Pria itu lebih banyak minum dan belum terlihat mengangkat senduknya.     

Sukma lekas memanggil pelayan dan membisikan sesuatu, sejenak terlihat asisten itu berjalan mendekati Hendra dan mempertanyakan apakah lelaki bermata biru ingin mengganti menu makanannya dan pria itu menggelengkan kepala.     

"jangan memperlakukan makanan seperti itu, aku tak suka melihatnya," Wiryo dengan suara beratnya menyapa menggunakan intonasi bicaranya yang kaku.     

Hendra terdiam beberapa detik sebelum meraih gelasnya dan meneguk minuman, lalu dia berdiri.     

"kamu benar-benar tidak ingin memakannya?" tanda tanya Wiryo mengiringi rasa terkejutnya atas kebenaran Hendra tak menyentuh apa pun. "kau harus menyelesaikan apa yang kau mulai!"     

"Sudah lah.." suara Sukma menyusup mencoba menenangkan.     

Hendra yang sempat pergi beberapa langkah dari kursinya, kini bergerak mendekat kembali. Mengangkat piring putih sekian inci dari pemukaan meja lalu melepasnya begitu saja.     

"PRANG!" dua perempuan memejamkan matanya melihat tindakan terebut. Piring putih berisi makanan yang tak tersentuh terbelah, menjadi dua bagian.     

"sekarang tak layak di selesaikan," Hendra mengeratkan gerahamnya selepas mengatakan kalimat itu. Kedua lelaki bertaut mata memahami ada bahasa lain di balik komunikasi tanpa kata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.