Ciuman Pertama Aruna

IV-171. Berangsur-angsur Tenang



IV-171. Berangsur-angsur Tenang

0"Masuklah, jangan diam saja di situ," tegur tetua Wiryo. "Apakah aku pernah mengajarimu meninggalkan perempuan sakit?" nada tetua berubah total. Ada kemarahan di sana.      

Hendra terdiam saja, melanjutkan langkahnya mendekati istrinya. Pria itu mendaratkan bibirnya di pelipis istrinya sejalan dengan caranya menarik dasi biru menggunakan genggaman tangannya.      

"mandilah dulu," Hendra mendapatkan sapuan jemari Aruna di seputar dagu.      

Di sisi lain tetua Wiryo sempat bertautan mata dengan cucunya, sebelum memutuskan membalik kursi rodanya, "Opa terima kasih sudah memberiku kesempatan," Aruna melontarkan kalimat itu sebelum lelaki ini mendekati pintu, dan dengan tarikan lirih di ujung kemeja Hendra, Aruna memberi tahu suaminya untuk lekas membantu tetua membuka pintu.      

Lelaki paruh baya telah keluar kamar. Tapi ekspresi Mahendra tidak berubah, dia masih saja seperti itu. Lelaki ini sangat mudah di tebak. Wajah gundahnya dan keengganannya bicara adalah bagian dari caranya mengekspresikan kemelut di dalam hati.      

Selepas menutup pintu, Aruna bisa mengamati lelakinya membuka satu persatu anak kancing hemnya. Dia berjalan menuju lorong kamar mandi, "kemarilah," tapi Hendra seolah tak mendengar permintaan Aruna, "kemarilah sebentar saja," panggil Aruna sekali lagi.      

Dia yang terpanggil menanggalkan Hemnya, melempar benda tersebut ke arah sofa , memenuhi panggilan istrinya.      

Menyeret salah satu kursi lalu terduduk di dekat rajang istrinya. Aruna membuka telapak tangannya menyodorkan pada lelaki itu. Sempat Hendra bingung, dan tatkala dia melirik mata istrinya, lelaki tersebut mendapati dagu si perempuan bergerak meminta sesuatu.      

Masih di landa ke tidak-pahaman, dia yang di minta sesuatu oleh istrinya, menyodorkan dan meletakkan telapak tangan menelangkupi tangan terbuka sang perempuan. Sampai pada suatu titik dia merasa tangannya di tarik. Di tarik kian dekat dan semakin dekat sampai perempuan yang terbaring tersebut berhasil meraih lehernya menggunakan kedua tangannya.      

Perempuan bermata coklat membawanya dalam jarak dekat. Matanya menyala menatap Mahendra, sebelum mata itu meredup selepas lidah lembut masuk ke dalam mulut lelaki bermata biru.      

Pupil mata pria itu melebar, sejalan dengan caranya menyambut desakan demi desakan lembut lidah istrinya. "beraninya kamu menenangkanku dengan cara ini,"      

"tidak ada cara lain yang ampuh di matamu selain bibirku dan tubuhku, bukan begitu?" perempuan ini tersenyum manis tanpa dosa, sekali lagi menarik leher suaminya untuk di hisap.      

"Ah," lumatan terhenti, Aruna mengedipkan matanya. wajah perempuan ini tampak tertegun.      

"apa? Ada apa?" lirih Hendra, memasang ekspresi awas.      

"ada yang cemburu padaku," alis mata Mahendra menyatu mendengarkan kalimat ini.      

"maksudmu?"      

"baby menendang, Ouuh lihat Hendra perutku bergerak, dia juga menginginkan kecupan daddy-nya,"      

"benarkah," senyum pria itu terurai akhirnya, Aruna senang melihatnya, perutnya benar-benar bergerak sejalan dengan telapak tangan calon ayah menyentuh perut membesar tersebut, "dia menyentuhku, lihat," Aruna tak bisa melihatnya, melihat perutnya yang menonjol ke arah letak telapak tangan Mahendra. Tapi dia bisa melihat lesung pipi yang menggores wajah lelaki tersebut, dan itu sudah lebih dari cukup.      

"Aku rasa dia mewarisi sisi pencemburu," pria itu menoleh sejenak dengan matanya yang menyipit senang, detik berikutnya Aruna merasakan perutnya mendapatkan kecupan sebanyak tiga kali, "daddy milikmu, tenanglah sayang... mami-mu butuh istirahat," dia mengusap-usap kan tangannya dengan lembut.      

Bayi di perut Aruna berangsur-angsur tenang.      

***      

Mobil menderu hebat di jalanan, "buka atapnya.." pria yang tengah berpegangan tangan pada pintu mobil memerintah.      

"Bagaimana caranya?"      

"jangan pelihara kebodohan. pencet itu Bomb !" selepas berujar lelaki itu beranjak membatu perempuan yang kini telah berani memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tol yang sepi menjadi favorit keduanya untuk menjajal kemampuan selepas berhari-hari hanya memanfaatkan tepian pantai atau jalanan lenggang pada wilayah pelosok.      

"aku tak tahu apa yang kamu katakan," gadis ini memekik selepas kap di atas kepalanya terbuka lebar, dia menoleh pada Vian. Senyumannya terurai selepas menyadari sensasi super luar biasa yang ia rasakan.      

"konsentrasi! lihat depan!" memerintah tiap saat dan nyatanya gadis itu kian menurut padanya membuatnya benar-benar bahagia.      

Rambutnya yang hitam panjang terbang sedikit-sedikit, "kamu mau sensasi yang lebih keren?"      

Gadis yang sering di panggil Bomb menurunkan kecepatan sejalan dengan gerakan dagu naik turun. "naikkan kecepatanmu sedikit. Tegakkan punggungmu!" anehnya gadis itu menurutinya dengan baik. "oke, sekarang naikkan dagumu, ya! seperti itu. Bagus sekali," dan lelaki bermata sendu itu mendekat menarik ikat rambut yang menjerat surai hitam pekat sang perempuan.      

"Creak." mobil melaju, bersama rambut terkibar dan wajah menoleh akibat terkejut atas kejahilan lelaki di sampingnya. Beberapa foto terambil bersama tawa yang menggelegar atas keberhasilan Vian membodohi Si Bomb.      

"awas kau.. Akan ku balas,." mobil berguncang.      

"Turunkan! Turunkan kecepatannya!" Vian terkejut takut terjadi sesuatu yang serius kenyataannya itu di sengaja oleh si perempuan.      

Membalas dengan senyuman kemenangan, Bomb mengulangi caranya memainkan pedal gas dan rem.      

"HAiii.." pria itu berteriak bukan karena ia penakut melainkan gadis di sampingnya masih hitungan hari berkendara.      

"Hapus fotoku!" pinta gadis itu menepikan mobil di pinggir jalan.      

"aku kirim padamu, kau pasti menyesal kalau aku sampai menghapusnya," bersama suasana pagi yang kian menghangat keduanya mengamati hasil bidikan pria yang ternyata punya keahlian lain selain suka menghina. Foto dengan suasana yang masih belum cerah sempurna dia mainkan dengan memanfaatkan sebuah aplikasi desain di handphone.      

Yang kini di dapatkan Kihrani adalah foto yang tampak menakjubkan, Vian memainkan background dengan cahaya semburat dari matahari yang baru menyapa kota dengan baik. Sehingga dirinya seolah model profesional dengan rambut terkibar.      

"kamu harus meng- up loud-nya di sosial mediamu," ujar Vian.      

"kenapa diam," tambah pria itu. "kamu tidak punya?" dia yang di tanya mengangguk, "bersosial media pun aku harus mengajarimu? Kamu makhluk tahun berapa?" Bomb menekuk bibirnya.      

"aku sudah pernah punya, tapi tak sempat melihatnya, mungkin sudah lupa password nya apa?"      

"Cih! Alasan," hina Vian.      

"aku sibuk," kesal Bomb.      

"Sibuk apa? Sibuk masak di pagi hari? Atau membersihkan rumah? Merawat keluargamu? Bekerja?"      

"kau sudah tahu, tak usah bertanya kalau tujuannya menghina," gadis yang menepikan mobil kembali menyalakan mesin mobil.      

"makanya terima aku," Vian menyipitkan matanya, "aku akan membuatmu bersantai dan tiap saat tinggal duduk manis, memainkan handphone, berselancar di sosial media,"      

"lalu bapak dan adik-adikku bagaimana?" Random Kihrani. "tinggal buat mereka mau ikut bersamamu, kita semua hidup di rumahku, aku tak keberatan," kalimat lelaki itu menjadi serius dan seperti nuansa-nuansa sebelumnya, tiap kali Vian mengangkat tema tentang hubungan di antara keduanya dia yang di ajak bicara memilih terbungkam.      

"Apa yang kamu inginkan selepas kuliah?" dia tidak menjawabnya, "kamu ingin menikah dan memiliki karier yang bagus, -bukan?"      

Vian sempat berpikir dia yang di ajak bicara akan memilih diam seribu bahasa, kenyataannya bomb berujar: "tidak semua orang memiliki impian serupa,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.