Ciuman Pertama Aruna

IV-173. Ada Dua Jenis Kematian



IV-173. Ada Dua Jenis Kematian

0"Kita bicara setelah ini," tawar Wiryo tatapannya masih jatuh sempurna ke arah cucunya.     

Hendra terdiam tanpa kata, dia mengamati kakeknya, "tak ada yang perlu di bicarakan, yang di perlukan adalah bertindak," sebelum berpaling dan meninggalkan tempatnya berdiri.     

Wiryo hendak membalas, tangan Sukma lekas menjulur memegangi lengan suaminya, "cukup! Hatinya sedang terluka apa kamu tak melihatnya, melunaklah untuk cucumu," mendengar kalimat istrinya. Wiryo mengeratkan genggaman pada sendok di tangannya.     

***     

"Kenapa kamu sama sekali tak keluar?" yang di ajak bicara, enggan menjawab.     

"kamu tidak ingin ikut aku bekerja?" lagi-lagi tidak menjawab. Pria yang tengah membenarkan dasi dengan berdiri di depan cermin membalik badannya. Mengamati calon istrinya yang terlihat melipat tumpukan baju.     

"Syakila, kamu tak perlu melakukan itu," pria yang sudah menggapai sebuah baju di tangan perempuan bertubuh kurus tersebut menariknya hingga hem yang hendak di lipat calon istrinya terlepas dari tangan, "bagaimana bisa kamu mendapatkan tumpukan baju seperti ini?" meletakkan hem di tangan, Gibran Hendak menuju telepon yang bisa menghubungkan dirinya pada seseorang yang biasa mengurusi Syakila.     

"aku yang memintanya pada Neni," lirih Syakila. Kembali meraih baju yang baru di ambil darinya.     

Gibran menghentikan langkah, dia berbalik dan membuat tatapan kecewa, "apa tujuanmu?"     

Shakila kembali ke rumah keluarga diningrat dengan selamat, pria itu bahkan membuat perayaan kecil bersama para putra tarantula, di rumah kayu, sebuah tempat yang biasanya di pergunakan pertemuan para anggota dewan. Rumah kayu yang masih satu lokasi dengan keberadaan bangunan utama hunian keluarga diningrat.     

Sayangnya ada yang tidak sama dari kembalinya gadis itu, Shakila menjadi sosok yang berbeda. gadis itu tidak lagi banyak memprotes, ia lebih tenang bahkan cenderung terlihat mudah diatur.     

Sempat membuat Gibran senang namun lama-kelamaan gadis itu menjadikan Gibran bingung atas tiap-tiap tindakannya.     

" kamu menginginkan istri yang baik, bukan?" ia melanjutkan caranya melipat baju, "aku sedang berusaha mewujudkan keinginanmu,"     

Gibran berdiri tegap di hadapan perempuan yang detik ini tengah duduk pada sofa, "tapi bukan yang seperti ini yang aku inginkan?"     

Syakila mendongak menatap Gibran, "ganti bajumu dan ikut aku," pinta Gibran. Tak banyak bicara atau bahkan tanpa menatap Gibran, Syakila menuruti kalimat Gibran.     

Gibran mengejar gadis yang berjalan menuju ruangan sebelah, tempat di mana lemari baju berbaris rapi di sana, mengeluarkan sebuah dress yang menggantung pada display kaca tiba-tiba benda tersebut di rengut oleh Gibran. Lalu pria itu meletakkannya kembali di tempatnya.     

Syakila hanya bisa mengamati apa yang pria itu lakukan, Gibran mengeluarkan baju lain. Sejalan kemudian menyodorkan baju pada Syakilla.     

Gadis menatap panjang dress yang di berikan lelaki bersurai hitam di hadapannya. Cukup mengejutkan sekaligus membingungkan. Gibran memberinya dress yang terlalu pendek untuk di gunakan. Bukan milik Syakilla.     

Anehnya syakilla menurutinya. berpindah ke ruangan sebelah untuk mengganti pakaian. Dia yang bertubuh kurus dan ringkih nyatanya bisa juga terlihat menarik dengan dress yang panjangnya hanya satu setengah jengkal dari pinggang.     

Gibran yang berdiri menantinya mengayunkan tangan meminta gadis itu mendekat, tak lama dia yang mendekat di tarik tangannya dan di dorong menempel dapa dinding.     

Melihat Syakila diam saja Gibran kian mendekat sambil masih terus mengamati reaksi calon istrinya. Syakila hanya terdiam, memalingkan wajahnya dari tatapan Gibran. Gibran mencoba meramu dagunya, mengarahkan wajah gadis tersebut untuk berhadapan langsung dengan wajahnya. Mendekatkan tubuhnya hingga sang perempuan terbelenggu rapat.     

Dia masih tenang, tak ada kalimat protes dan ini yang menjadikan Gibran gusar. Dia tidak yang tak mengerti lagi, bagaimana cara membuat Syakila mau menganggapinya.     

Meletakkan bibirnya di atas permukaan bibir calon istrinya, "buka bibirmu," bisik Gibran dalam jarak sangat dekat sampai dia merasa nafas wangi Syakila bisa ia hisap, "buka," senang perempuan ini tidak menuruti permintaannya.     

Namun, secara mengejutkan tanpa Gibran yakin Syakila bakal melakukannya, gadisnya benar-benar membukan bibir sekian inci. Gibran menelan enzim mulutnya. Matanya memejam sesaat kemudian membuka lebih lebar lagi.     

"Aku mau merasakan tubuhmu sekarang juga apa kamu mau?" sembat menyala menatap Gibran penuh emosi membara. Gibran merasa dia akan menang dari persaingan yang tak terdefinisi ini.     

Kenyataannya Syakila menurunkan seutas tali di bahunya, "Syakila!!" Gibran memekik melihat perbuatan calon istrinya. Separuh dadanya terbuka dan dia sama sekali tidak menginginkan tindakan seperti ini.     

Tidak, tidak demikian yang lelaki ini inginkan dia butuh cinta Syakila, dia menyukai senyum perempuan yang memanggilnya kakak tiap kali mereka bertemu di kafe dekat kampus gadis itu saat ia menggantikan adiknya Gesang, menjaga kekasihnya.     

"Aku mendengar ada dua jenis kematian yang di alami seseorang dalam hidup mereka. Salah satunya adalah kematian terakhir di mana tubuh kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Yang mana jiwa kita meninggalkan tubuh kita. Dan yang lainnya adalah saat ketika kita masih hidup tetapi kita sudah merasa mungkin lebih baik di neraka," Syakila membenarkan pengait dressnya menatap enggan lawan bicaranya yang mendur.     

"siapa yang mengatakan itu padamu?"     

"tidak penting siapa, aku tak akan menyakiti diriku lagi untuk melepas jiwaku, apa pun caraku sepertinya akan sama-sama berakhir di neraka," akhirnya bicara lebih banyak. Namun kalimatnya menyakitkan.     

Gibran sadar perempuan ini akan memilih membunuh dirinya yang asli, dan hidup seperti mayat hidup untuk menyiksa semua orang terutama dirinya.     

Gibran meninggalkan gadis yang kembali melipat bajunya. Bertarung dengan berbagai kecamuk di kepala, Gibran memikirkan banyak hal tentang Syakila. Bahkan tentang siapa yang mengajari cara menyiksa batin orang lain se-mengerikan itu. Gadis ringkih calon istrinya adalah perempuan polos yang spontanitas, emosi tak terkendali dan berantakan.     

Dan dia menjadi berbeda selepas pulang dari sekapan Mahendra. Apa yang terjadi?     

.     

.     

"Mengapa kamu bersih keras mengakhiri hidupmu, itu menggelikan," hinaan Mahendra pada Syakila kala itupun. "Di rumah ini ada tiga perempuan dan salah satu dari mereka adalah manusia yang membunuh dirinya selama 20 tahun lalu hidup lagi," sebelum kalimat yang di sadur Syakila di ucapkan lelaki bermata biru hingga menjadikan Syakila bertanya-tanya siapa dan seperti apa mati sebelum jiwa terlepas.     

.     

.     

"Kamu mau tahu bagaimana mereka memperlakukan tahanan?" dalam perjalanan menuju kantor, Gibran berhenti di gedung yang masih menjadi sengketa antara Heru dengan Key Braga.     

Dikarenakan pimpinan Tarantula alias ayahnya memilih Key sebagai pimpinan utama di gedung ini dan Heru wakilnya, keluarga Atmodjo belum mampu bertindak lebih jauh. Untuk itu Key masih mengusai gedung ini, gedung yang di tunjuk untuk mengembangkan bisnis baru mereka. Penyedia jasa layanan agen keamanan pribadi, bodyguard dan semacamnya. ini sekedar label di depan gedung, selebihnya untuk memperkuat sepak terjang Tarantula itu sendiri.     

Gibran mengangguk, menatap pria yang beberapa hari lalu bergulat hebat dengannya dalam pertemuan genting antara anggota dewan beserta putra-putra mereka di rumah keluarga Barga.     

Key tersenyum mengejek, matanya terangkat sejenak memandangi hasrat penasaran lelaki yang duduk di hadapannya.     

"Pay, kemarilah, beri tahu tuan muda kita,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.