Ciuman Pertama Aruna

IV-170. Sudut Mata Berair



IV-170. Sudut Mata Berair

0mobil yang membawa tetua telah sampai pada pelataran rumah induk. dua orang, perempuan dan lelaki paruh baya beriringan keluar.      

sejalan berikutnya kursi roda terdorong memasuki teras rumah, tepat selepas tetua Wiryo meminta asisten rumah induk yang membantunya untuk lekas melepaskan tangan dari pegangan kursi roda. benda tersebut berjalan secara otomatis dikendalikan pemiliknya.      

Di sisi kanan, Sukma yang tengah membawa tas jinjing baru saja menanggalkannya. Benda tersebut ia berikan pada asisten yang membuntutinya. Nyonya Djoyodiningrat dengan anggun mengiringi laju kursi roda otomatis yang di kendalikan suaminya.      

"Biar aku lihat dulu," Sukma dan Wiryo sudah berada di depan pintu kamar baru cucu mereka. sekilas dapat teramati lelaki yang duduk di atas kursi merapikan pakaian yang ia kenakan. walaupun sejujurnya sudah sangat rapi.      

Sukma mendorong pintu perlahan, matanya lekas menyapu seseorang yang tergeletak di atas ranjang. mengamati pelupuk mata yang tertutup rapat, Sukma kembali keluar, "dia masih tidur," lirihnya pada Wiryo.      

"apakah aku bisa melihatnya sekilas saja,"      

Terlihat berpikir sejenak pada akhirnya sukma mengangguk, "kita harus tenang," sejalan dengan kalimatnya Sukma mendorong pintu lebih lebar, kursi roda otomatis tersebut bergerak masuk. perlahan-lahan mendekati ranjang tempat perempuan hamil berbaring dalam tidurnya.      

sukma menutup pintu hati-hati, berharap tak ada suara yang timbul dari benturan daun pintu.      

"apa yang terjadi pada putri Lesmana?" ini pertanyaan lirih Wiryo selepas menyadari Sukma mendekat.      

"harus kah aku menjelaskan siapa musuh bebuyutanmu yang-" pernyataan sukma penuh getaran. ada emosi yang beradu di sana. andai dia tak berada di ruangan ini dia ingin mengatakan dengan lantang terkait mereka yang raja tega terhadap seluruh anak turunnya.      

sukma yang telah menghentikan kalimatnya pun tak berhasil mencegah rasa teremas pada dada lelaki paruh baya tersebut.      

Sukma dan Wiryo menatap dengan nanar bantal putih yang di selipkan pada punggung perempuan muda bertubuh mungil yang menyangga bayi di dalam perutnya.      

"Ke mana Hendra? mengapa dia tidak menjaga istrinya?"      

"kamu mengajarkannya bekerja tanpa kenal waktu, kau tahu dia ke mana," tiap kali Wiryo bertanya, nada yang terlontar dari bibir Sukma cenderung penuh penekanan.      

mendesah dalam, Wiryo memutar kursi rodanya secara otomatis, keputusan tersebut di ikuti oleh sukma yang memutuskan mengiringi suaminya. kembali membuka pintu hendak keluar, dia samar-samar mendengarkan panggilan.      

"Opa?"      

sukma yang lebih awas lekas menoleh, dan buru-buru menyentuh bahu suaminya, "Opa Wiryo?" panggil Aruna. tepat di detik yang sama saat perempuan di atas ranjang membuka matanya dan tersenyum senang atas kunjungan orang yang ia nantikan.      

Sang pemimpin keluarga yang biasanya di warnai guratan wajah kaku. Hari ini aura itu runtuh, dia tidak tersenyum, tapi juga tidak ada kemarahan di sana. Pada matanya ada rasa teduh bercampur resah. Aruna terpukul bukan karena kejadian hari sebelumnya- konfrontasi hebatnya dengan lelaki paruh baya tersebut- melainkan raut wajah opa Wiryo yang tidak menampakkan kekecewaan atau kemarahan.      

Harusnya pertemuan ini di warnai dengan ekspresi kekesalannya kemudian Aruna tinggal menyiapkan diri dengan minta maaf sedalam-dalamnya.      

Aruna tidak pernah membayangkan dia akan di hadapkan dengan raut wajah lain dari tetua Wiryo, "Bagaimana keadaanmu? Apa putri Lesmana baik-baik saja?" Kursi rodanya berputar mendekati Aruna. Tetua bahkan menanyakan keadaannya.      

Andai ini adalah penangkapan anak murid atas kasus kenakalan, Aruna adalah anak didik yang sedang berdiri kaku dan tak berani mengangkat wajahnya sebab dia harus berhadapan dengan seorang guru yang berada di urutan pertama pada jajaran guru yang paling di kagumi dan di hormati. Artinya Aruna sedang dalam keadaan marah, malu dan penuh penyesalan terhadap dirinya sendiri.      

"apa yang aku katakan," tetua telah berada sangat dekat dengan keberadaan Aruna. Dia menyentuh punggung telapak tangan Aruna. "tentu saja kamu tidak baik-baik saja,"      

Aruna menggigit bibirnya, sudut matanya berair tak ada sedetik lagi zat cair itu mungkin akan menetes, "Oma, boleh saya bicara berdua saja dengan Opa Wiryo,"      

"Oh'," sukma terhenyak atas permintaan tersebut, akan tetapi ia memahami kehendak cucu mantunya. Dengan demikian perempuan dengan rambut rapi di sanggul ke belakang tersebut buru-buru mundur.      

"Aku.." Aruna tak mampu lagi menghentikan leleh-an di pelupuk matanya. Benda itu mengalir begitu saja. "aku.. Em.." berulang kali menggigit bibirnya dan dengan bijak Aruna di beri kesempatan tetua untuk bicara.      

Opa Wiryo tak menjeda kalimatnya yang terbata-bata. Dia malah menepuk punggung telapak Aruna, lirih.      

"Maaf, maafkan kelakuan saya.." dengan usaha super keras kalimat ini meluncur. Telapak tangan kiri Aruna menutupi wilayah matanya, menarik nafas dan mengembuskannya.      

"tidak ada yang salah dan perlu di maafkan, setiap orang memiliki pemikiran yang di pegang teguh bahkan di perjuangkan, aku pun sama, kita berdua sama saja," mendengar penuturan opa Wiryo, Aruna menarik tangan kirinya dari caranya menutupi mata yang memerah basah.      

Saat perempuan muda ini memberanikan diri menatap wajah tetua dia melihat senyum datar pria paruh baya tersebut, sejalan dengan caranya berucap barusan. Tetua konsisten tenang dan datar.      

Untuk mengucapkan kalimat balasan kepada tetua Wiryo gadis ini mengumpulkan oksigen di seputarnya, menghirup nafas dalam-dalam. "Mohon maaf jika saya lancang, apakah saya berhak meminta Anda tetap tinggal di rumah induk?"      

Sekilas Aruna mendengarkan tawa lirih lelaki tersebut. "Tanpa kamu minta aku akan kembali," Aruna merasa lega.      

Namun mata tetua Wiryo berpindah mengamati keadaan Aruna, tetua kembali menampilkan ekspresi yang sering Mahendra tunjukan tatkala dia merasa gundah. Keduanya kadang kala serupa.      

"Saya baik-baik saja, percayalah," Entah untuk berapa kali Aruna mengatakan kalimat ini. Pada Oma, Pada Mommy bahkan pada Susi dan Ratna. Termasuk pada asisten rumah induk yang silih berganti mengunjunginya secara pribadi. Padahal mereka sering kali di usir Ratna dan Susi sebab takut mengganggu.      

"kau dan ayahmu sama saja," tetua membuat pernyataan yang menjadikan Aruna bingung, "selalu saja mengucapkan kalimat: saya baik-baik saja," Wiryo mengingat sebuah kejadian di masa lalunya bersama ayah dari perempuan yang kini terbaring di atas ranjang. Ajudan yang menjadi orang terdekatnya tersebut sering menggunakan kalimat yang sama bahkan saat putrinya di kabarkan meninggal tatkala bos dan bawahan tersebut berada dalam dinas luar pulau.      

"dokter bilang, asal saya banyak terbaring, kami berdua akan baik-baik saja," Aruna menyentuh perutnya. "bisa beraktivitas lagi kalau di rasa sudah mendingan, saya tadi tidak asal bicara,"      

"kamu pikir pria tua ini bodoh?"      

Bibir Aruna ternganga sejenak, lalu menampilkan giginya, bibirnya tertarik hingga matanya menyipit, "dinding di rumah ini saja takut pada Anda, mana berani saya memikirkan kata bodoh untuk opa?"      

"Sudah padai beranalogi sekarang?"      

Aruna tahu opa Wiryo mengajaknya bercanda, perempuan ini kembali tersenyum, lupa dia baru saja menahan tangis di dada, sebelum gumpalan itu terdorong ke tenggorokan yang akhirnya tumpah.      

"Mungkin karena.." dan pintu terbuka. Lelaki yang menjinjing jasnya dengan telapak tangan kanan membuka lebar-lebar mata birunya. Memastikan apa yang dia lihat adalah kebenaran.      

"Masuklah, jangan diam saja di situ," tegur tetua Wiryo. "Apakah aku pernah mengajarimu meninggalkan perempuan sakit?" nada tetua berubah total. Ada kemarahan di sana.      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.