Ciuman Pertama Aruna

IV-168. Bercanda



IV-168. Bercanda

0"jika bukan karena Aruna aku tak akan melakukan ini," Gayatri hampir tidak percaya kini dirinya mengikuti langkah kaki bersemangat oma sukma memasuki Djoyo Rizt Hotel untuk menemui lelaki paruh baya, ayahnya yang super keras kepala.     

"Iya, iya Nyonya anda sudah mengatakan itu lebih dari tiga kali, Sekali lagi aku mendengarnya aku siap memberi anda mug cantik," mendengarkan sindiran putrinya, perempuan tersebut menghentikan langkahnya.     

Blazer biru muda dan rok sepanjang lutut menjadi pilihan outfit nan anggun untuk perempuan yang tak lagi muda tersebut. "kamu ini!" kesal Sukma, "oh' tempat ini banyak berubah," keduanya telah sampai pada pusat lobi hotel berbintang. Sukma Mendongak ke atas mengamati interior yang tersaji di sepanjang matanya memandang.     

"sudah lama sekali aku tidak datang ke tempat ini," lirih sukma.     

"terakhir pernikahan Mahendra dan Aruna?" tanya Gayatri. Dan perempuan paruh baya tersebut mengangguk, hampir dua tahun pernikahan tersebut berlalu. Sudah cukup malam.     

"tempat ini di atas kertas adalah milik anda, tapi anda bahkan tidak punya kesempatan melihatnya, Miris," kembali Gayatri menerbitkan canda teruntuk ibunya.     

"kamu benar," keduanya terdiam. Berjalan tenang menuju lift khusus yang hanya di peruntukan bagi tamu-tamu VVIP. sesuai dugaan, tidak ada yang mengenali mereka sampai Susi dan seorang ajudan perempuan lain membisikan sesuatu pada penjaga lift supaya mengizinkan keduanya memanfaatkan lift tersebut menuju lantai tertinggi.     

Penjaga lift meminta maaf dan terlihat canggung hingga tugasnya berakhir, mengantar dua perempuan menuju lantai yang mereka inginkan.     

"bahkan orang-orang yang anda gaji melupakan anda," Sukma tak lagi terusik oleh ocehan putrinya. Dia mengangguk dalam-dalam.     

Kini perempuan itu berdiri di depan pintu hunian suaminya, "jika bukan-"     

"karena Aruna aku tak akan melakukannya," di lanjutkan Gayatri. Sukma menoleh menyatukan alisnya.     

"Apakah menyenangkan bisa mengabaikannya?" lirih Gayatri di telinga ibunya. Meredakan kerutan di antara alis Sukma.     

"lebih tepatnya, senang, bisa menghukumnya," balas Sukma.     

"hal-hal baru, memang menyenangkan," Sukma ingin membalas pernyataan putrinya namun pintu di hadapannya keburu terbuka. Seorang lelaki berewok muncul dari dalam, ada senyuman lega pada raut wajahnya.     

"silakan masuk nyonya," kalimatnya terasa bersemangat, sebuah kegirangan yang di tekan demi menutupi letupan kebahagiaannya. Tanda-tanda dia bakal terbebas dari tugas ini itu yang di perintahkan tuannya.     

Sukma memasuki pintu, perempuan ini menegakkan punggungnya, di ikuti putri dan dua ajudan perempuan yang lain termasuk Andos.     

"anda bilang mustahil membawa nyonya sukma kemari?" bisikan andos pada gayatri samar-samar terdengar.     

"ada pengecualian. Nanti aku ceritakan," balas gayatri.     

"kalau bukan karena permintaan Aruna aku tidak akan mau ada di sini," Sukma tiba-tiba berhenti berjalan dan memutar arah tubuhnya 45 derajat, menghadap pada Andos.     

"aku benar-benar perlu menyediakan mug cantik. Kalau perlu mug kristal untuk anda," andos bingung atas komentar gayatri. Lelaki tersebut Sedang memerah, malu, sebab di tegur nyonyanya.     

Detik berikutnya Sukma tertawa, memang benar ungkapan gayatri putrinya, dirinya mengatakan kalimat serupa tersebut berkali-kali, mungkin sudah ke enam kali atau bahkan tujuh kali.     

Tawa itu mengundang kehadiran seseorang–seseorang di atas kursi roda otomatis–muncul dari balik punggung sukma. Andos dan Gayatri saling memandang begitu juga yang lain. Menjadikan sukma sadar ada seorang di balik panggunya.     

.     

.     

Dua orang saling berkomunikasi pada ruang tengah, Andos dan Gayatri melipir, memilih menyingkir di bagian pantry. Sesekali keduanya melirik dua pasang suami istri yang tak lagi muda, demi menaksir ekspresi yang mereka tampakkan.     

"apakah menurutmu bakal berhasil?" gayatri bertanya pada andos yang tengah menyiapkan minum untuk mereka yang berada di ruang utama dan tentu saja untuk nona yang sedang menanyainya. Teh tawar tanpa gula adalah minuman yang bisa ketiganya nikmati.     

"tetua tak bisa hidup normal tanpa mami anda," lirih Andos, "aku yakin andai negosiasi ini tidak berhasil itu artinya nyonya sukma lah penyebabnya,"     

"kau lupa papi ku kepala batu," gerutu gayatri menangkap cangkir yang menguarkan harum teh, cangkir yang di sodorkan Andos padanya.     

"Semua lelaki memang keras kepala pada awalnya, tapi sebenarnya mereka bakal kehilangan daya saat jauh dari para perempuan yang hidup dengannya, bertahun-tahun," Andos kembali mengatakan kalimat bijaknya.     

"Aku berani bertaruh, kalau negosiasi ini gagal tentunya tetua penyebabnya,"     

"itu mustahil," kekeh Andos.     

"kau pendukung kepala batu?,"     

"batu bisa kalah oleh tetesan air yang menimpa selama bertahun-tahun,"     

"Cih, batu tetap batu, dia akan tetap batu walaupun aliran sungai menghantamnya,"     

"mari kita bertaruh!" tukas andos.     

"boleh,"     

Andos dan gayatri hampir berjabat tangan, akan tetapi di ujung sana seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda memanggilnya. Andos buru-buru datang. Tentu di susul gayatri.     

"kemasi barang-barangku, aku akan, em.." mata Wiryo menatap sukma yang spontan mengalihkan pandangannya ke arah berlawanan dari keberadaan Wiryo, "kembali ke rumah bersama sukma,"     

"ya tuan," andos membungkuk. Dan pergi menuju salah satu pintu kamar.     

Gayatri berdiri di antara ke dua orang tuanya, tatapan keduanya membuat putri yang tak lagi muda ini canggung. Untuk itu ia memilih lekas mundur, "aku akan membantu andos,"     

"Gayatri," ini panggilan sukma, akan tetapi putrinya memilih pura-pura tidak mendengar, dan membuntuti arah perginya Andos.     

.     

"aku juaranya," Andos terkekeh ketika mengatakan ini selepas dua orang tersebut berhasil memenuhi koper tetua Wiryo.     

"yang benar saja, negosiasi mereka berhasil, kita tidak membahas keberhasilan,"     

"tapi tadi tetua Wriyo terlihat tak berdaya, nyonya sukma yang mendominasi, kita membahas siapa yang lebih unggul dan tebakanku benar," tuntut Andos.     

"jangan mengada-ngada,"     

"mengada-ngada?" Andos yang hampir menarik koper berhenti menjalankan roda koper tersebut. "siapa yang mengada-ngada, menurutku anda takut mengakui kekalahan,"     

"takut? Huuh.. Buat apa aku takut padamu?" gayatri mengerutkan dahinya. Andos berjalan mendekati nonanya.     

"Benarkah tidak takut?" dia yang bicara mendorong perempuan lebih tua tiga tahunan dari dirinya, namun tampak jauh lebih muda. Membuat gayatri mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan dinding. "hemm.." pria berperawakan tinggi tegap dengan kulit sawo matang gelap tersebut tersenyum. Bulu halus di seputar wajahnya bergerak samar saat ia terkekeh menertawakan kebingungan yang tersaji pada raut muka nonanya.     

"kau sangat tidak sopan, menyingkir!" gayatri memukul bahu lelaki dengan bulu tipis yang menghiasi seluruh dagunya.     

Sepanjang perjalanan, di mana sang nona duduk pada kursi penumpang bagian belakang sedangkan sekretaris ayahnya berperan sebagai sopir. Perempuan tersebut terbungkam seribu bahasa.     

Selepas bertahun-tahun lamanya ia tidak pernah di dekati pria sedekat itu. Ia merasa aneh sekaligus marah, "kenapa anda diam? Biasanya banyak bicara?"     

"diamlah, aku sedang muak denganmu?"     

"aku hanya bercanda nona, bukan kah akhir-akhir ini anda suka sekali bercanda?"     

"itu karena aku kebanyakan bergaul dengan orang sepertimu, harusnya aku-"     

"harusnya apa?" dia yang bicara mengintip perempuan menggerutu dari balik spion mobil. "harusnya menjaga jarak?"     

"bisa jadi,"     

"jangan lupa 'aku teman yang baik,'' kata teman yang baik adalah ungkapan Gayatri yang di kembalikan andos pada perempuan tersebut. Gayatri mengatakan demikian saat andos berkenan di ajak kerja untuk mengelabuhi papinya.     

"Cih!" cicit gayatri tidak terima. Tidak menyadari dirinya yang detik ini lebih banyak menatap jalanan–yang tersaji pada kaca jendela–di perhatikan secara sesama oleh sang pengemudi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.