Ciuman Pertama Aruna

IV-167. Satu Permintaan



IV-167. Satu Permintaan

0"Apakah ini tentang jabatan tetap?" pertanyaan Mahendra mendapat gelengan kepala dari lawan bicaranya.     

"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu," jawab Thomas, "Syarat ini di luar yang anda pikirkan,".     

"Sebutkan," tukas Mahendra.     

"Gadis itu, em," dia yang bicara memainkan jemarinya di atas buku, menyadari permintaannya sedikit aneh.     

Kerutan di dahi Mahendra semakin dalam, "Gadis?" ulangnya.     

"Saya berharap anda menerima kembali ajudan junior istri anda," ragu-ragu, Thomas berujar.     

"Ada apa dengan kalian semua??," mata Mahendra membulat lebar, "Kenapa dia—" lelaki bermata biru ini belum usai berucap, tatkala lawan bicaranya membalas dengan ungkapan lain yang lebih dalam.     

"Karenanya saya masih ada di hadapan anda. Dia yang menyelamatkan saya, saat tubuh saya ditemukan di aliran air sungai," Mahendra terdiam, "Dan dia yang membantu nona, mengungkap siapa dalang di balik tragedi perencanaan pembunuhan yang hampir merenggut nyawanya. Saya tidak berlebih kah? Seandainya, memintanya kembali diizinkan bekerja,"     

Lawan bicara Thomas agaknya sedikit terkejut. Sesaat kemudian, Mahendra mengingat keadaan istrinya sebelum ia tinggalkan. Aruna butuh teman dan sepertinya, ia cukup dekat dengan ajudan muda itu, "Baik, ini bukan sekedar karena permintaanmu," Thomas tersenyum lebar mendengarnya, "Aruna pasti menginginkannya juga,".     

Ada desah nafas lega yang diurai Thomas dalam percakapan menegangkan versinya. Dia selalu berharap bisa meminta ini pada tuan muda Djoyodiningrat, namun tak tahu dengan cara apa dan bagaimana. Nyatanya saat ini, tak sesulit apa yang dia pikirkan, terlebih sejalan dengan permintaan yang di titipkan sang presdir padanya, "Saya akan menjalankan semua tugas sebaik kemampuan saya," Mahendra mengangguk, mengantar kepergian lelaki berambut platinum meninggalkan ruangannya.     

Dalam langkahnya menuju ruang kerjanya sementara, Thomas sempat bertemu dengan beberapa staf yang menyapanya dengan senyum dan kesopanan mereka. Sayangnya kali ini, ia terlihat berbeda. Dia tak membalas seperti biasanya, matanya kosong tersita lamunannya. Hingga kembali duduk di meja kerja dan mengeluarkan sesuatu dari laci pertamanya, pria ini memegangi benda yang baru ia ambil.     

Merabanya dengan lembut sebuah jam tangan yang pernah ia berikan kepada Leona. Namun kini, perempuan itu membuangnya, sebab ia merasa terganggu oleh benda tersebut. Dia membuang benda berlogo insecta itu tepat di hadapannya. Dan dengan konyolnya, pria berambut platinum ini mengais benda itu dari dalam tong sampah.     

'Karena kau mahal? Aku mengambilmu,' pria ini tersenyum selepas bergumam, 'Atau karena hal lain?'.     

Ingatannya terbang kembali pada kejadian kemarin. Dia yang datang ke rumah itu hanya menemukan adik-adiknya dan bapak, tentu saja, "Kenapa kalian menyiapkan makan sendiri?" tanyanya, selepas menyapa anggota keluarga yang dulu pernah menolongnya.     

"Kami hanya menghangatkan, kak Kiki sudah memasaknya semalam," balas Ricky.     

"Aku tahu, kak Thomas kesini untuk sarapan, kan?" pria itu ingat senyumannya untuk Lala, senyuman yang dirasa sedikit ia paksakan untuk gadis kecil tersebut.     

Tanpa alasan, dia merasa sarapan di rumah sederhana pinggir sungai yang biasanya penuh dengan kalimat perintah memekikan telinga itu, hilang dan rasanya pun menjadi hambar. Hambar sampai pada rasa makanan.Kema     

"Kemana kakakmu pergi?".     

"Kakak bilang, sekarang jam kerjanya berubah. Jadi tiap jam lima pagi, si jahil Vian akan datang menjemput kakak," ini bisikan Lala pada Thomas.     

"Jangan memanggilnya Vian, sekarang dia bos kakak kita," Ricky memperingatkan adiknya.     

"Dia tidak mau di panggil om-om," polos, Lala berucap.     

"Mungkin dia ingin kau panggil kakak, kakak Vian, mungkin?," Ricky menambahkan.     

"Aku tidak mau! Dia suka memarahi kak Kiki. Walaupun akhir-akhir ini jadi baik, aku tak peduli. Aku tak akan termakan rayuannya," Lala mengomel lucu dan seseorang di antara kedua anak berseragam sekolah tersebut tanpa sadar mendengarkan omelan keduanya.     

"Jangan diam saja, dimakan sarapannya, nanti keburu dingin," suara Bapak menggugah Thomas.     

'Jadi Vian sudah berhasil mendapatkanmu?' pertanyaan dari gumaman lirih si rambut platinum yang kembali pada masa kini. Menarik laci, lalu memasukan kembali jam tangan analog tersebut, sebelum akhirnya meletakkannya pada meja di sudut yang sama.     

***     

"Aruna, apa kau butuh sesuatu, sayang?," Aruna baru saja membuka matanya, dia belum sepenuhnya sadar saat dua perempuan melingkari dirinya. Oma Sukma, termasuk mommy Gayatri duduk di sisi kanan dan kiri.     

Perempuan muda tersebut menggelengkan kepala. Sedikit bingung harus mengatakan apa, saat dua pasang mata menatapnya intens, "Jangan khawatir, saya baik-baik saja," mungkin kalimat ini yang paling tepat untuk mereda mereka yang menyajikan ekspresi tak bahagia.     

"Jangan menghibur kami dengan omong kosong," perempuan paruh baya itu marah.     

"Lalu, apa yang harus saya katakan nyonya Besar?," candaan ini mengakibatkan mommy Gayatri tertawa, disusul oma Sukma yang tak lagi memalingkan wajahnya. Perempuan paruh baya itu mengelus rambutnya dan tangan lain memegang telapak tangan Aruna yang berada dalam balutan perban. Hatinya seolah tercabik hebat melihat apa yang dia tangkap dengan bola matanya, "Tidak ada yang sakit di fisik saya. Bagi saya, melihat anda berkaca-kaca lebih menyakitkan," Ya, saat ini, wanita yang biasanya pandai menyembunyikan dukanya itu tengah mengingat masa kelam dirinya sendiri dan matanya tak mau berkompromi.     

"Sebab ini lah, aku memilih selalu tinggal di dalam rumah ini," dia menghapus air di sudut matanya, "Bukan berarti Aruna harus memilih jalanku," ada nafas yang dihirup dalam-dalam, "Tapi, menjadi pemberontak juga bukan solusi,".     

"Maafkan aku, oma," lirih Aruna, menyadari banyak kejadian buruk terjadi sebab ulahnya sendiri.     

"Tapi tak bisa selamanya kita harus hidup layaknya tahanan, mami," suara Gayatri mengalihkan perhatian Sukma dan Aruna, "Sebentar lagi personel kita ada empat," dua pasang manik mata menatap hangat bayi yang belum dilahirkan, "Mungkin dulu kita tak bisa berbuat apa-apa, sebab aku sendiri mengalami—," kalimat perempuan ayu ini tertahan, sebab gelengan kepala maminya, "Tapi, sekarang sudah berbeda,".     

Perempuan paling tua mengangguk. Kembali, tangan dengan lipatan-lipatan tanda penuaan itu menggapai wajah cucu mantunya, "Akan jadi berbeda, kita ada empat sekarang. Kita lebih kuat seharusnya, terlebih cucuku satu ini sangat kuat, bukan begitu?," ada senyum dan rona merah di pipi Aruna.     

"Hanya saja, kita perlu mencari cara. Metode yang tepat untuk melindungi keberadaan kita saat keluar dari rumah ini, tanpa para lelaki," kalimat Gayatri penuh telisik. Perempuan ayu ini memangku dagunya menggunakan tangan kanannya. Matanya menerawang, seolah ada sesuatu besar yang dia pikirkan.     

"Biarkan cucuku melahirkan dengan tenang. Tahan segala ide di kepalamu sendiri, sementara," omel Sukma, selepas mengamati perilaku Gayatri.     

Aruna tak bisa menahan senyuman dan tawa ringannya selepas mendengar omelan tersebut.     

"Aku akan mematangkan isi kepalaku, sampai cucuku lahir," tukas Gayatri, "Oh' ya, Tuhan!," tiba-tiba saja, suaranya memekik, "Aku akan jadi nenek," lalu menutup wajahnya sendiri.     

Perempuan ayu ini kadang kala mirip Mahendra, saat di perhatikan dengan seksama. Malu-malu saat ia merasa terlalu senang dan menerawang dengan mata yang bergerak, ketika tengah serius memikirkan sesuatu ide di kepalanya.     

Aruna senang segalanya menjadi erat selepas pagi penuh amarah, tapi dia masih merasa bersalah atas perginya opa Wiryo dari rumah ini, "Boleh saya minta satu permintaan?".     

"Apa itu?," Sukma menjawab tanpa ragu, "Sebutkan,".     

"Apakah oma bakal menuruti permintaan saya, walaupun, em' sepertinya akan sedikit memberatkan?," Aruna bertautan mata dengan perempuan paruh baya yang detik ini memandanginya dengan raut wajah cerah, "Saya ingin tetua Wiryo menjenguk, hadir di sini," wajah cerah Sukma padam seketika.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.