Ciuman Pertama Aruna

IV-165. Lara Menggantung Di Tenggorokan



IV-165. Lara Menggantung Di Tenggorokan

0Perempuan paruh baya lekas menanggalkan kesibukannya usai mendapatkan kabar kedatangan cucunya bersama sang istri. Dua buah telapak tangan mengatup bibir yang terbuka lebar. Dia menuju pintu utama, sayangnya, bukan dari sana rombongan memasuki rumah megah di lereng tepian gunung tersebut.     

Sempat salah arah, suara asing dari empat buah roda hadir dari balik punggungnya. Pada detik itu, cara Sukma mengambil oksigen diseputarnya tak lagi sama. Awalnya, perempuan paruh baya ini tak berniat menunjukkan dukanya. Dia ingin menekan dalam-dalam segala lara yang menggantung di tenggorokan. Sayang sekali tatkala enzim di dalam rongga mulutnya ia telan, tak ada lagi yang tersisa. Segalanya menjadi kian sejalan dengan rasa sakit yang memasuki rongga-rongga lain dalam tubuhnya.     

"Oma, tak apa, oma," dia merintih, mengingat masa lalunya. Masih saja hal yang sama terjadi sampai pada anak cucunya. Perempuan paruh baya itu lekas di peluk oleh putrinya dan sebuah dekapan hangat yang diupayakan, tak menghasilkan apapun selain rintihan tangis yang tertahan.     

Dia dipeluk dan digiring untuk duduk. Sedangkan mata perempuan lain yang detik ini memeluk ibunya, bertemu dengan netra biru milik putranya. Lelaki itu paling berduka. Akan tetapi, ia tak menampakkannya. Hanya kekosongan dari caranya memandang sekilas ibu serta neneknya, sebelum kembali mengikuti laju ranjang rawat yang didorong menuju kamar pribadinya bersama sang istri, Aruna.     

Bersama dua orang perawat dan seorang dokter, Mahendra bercakap panjang di ruang kerjanya, sebelum dokter tersebut meninggalkan rumah induk.     

Lelaki ini terlihat menarik handel pintu dan detik berikutnya, ia tertangkap memutar benda yang berbentuk bulat tersebut. Terlihat berfikir sejenak, kemudian ia berjalan menuju tangga dan menaikinya. Bukan untuk menuju kamar mereka sebelumnya yang berada di tengah-tengah lantai dua, melainkan terus melangkah, menapaki tangga demi tangga dan berakhir di lantai tiga.     

Mahendra memahami keberadaannya agaknya berbeda. Dia jarang berada di lantai tempat para asisten dan ajudan menghuni kamar-kamar mereka. Sempat melintasi beberapa pintu kamar, ia berhenti pada salah satu ruangan dan mengetuk pintunya, "Apa, kau di dalam?".     

"Iya, sebentar," Herry lekas memutar handle berbentuk bulat. Spontan, ajudan ini tersentak tatkala mendapati tuannya berdiri di depan pintu kamarnya, "Tuan, anda hanya cukup memanggil saya, saya otomatis bakal datang," dia yang disapa tidak memberikan jawaban sama sekali.     

Kaki kanannya melangkah ke dalam kamar ajudannya. Masuk lebih dalam, sehingga Mahendra yang kini berbalik badannya bisa melihat Herry—ajudan paling dia andalkan dan tentu saja merupakan bagian dari tangan kanannya—berdiri di balik pintu.     

Keduanya saling bertautan mata, sebelum lelaki bermata biru melangkah satu langkah dan sebuah gerakan singkat berakhir dengan pekikan, "Aarh!!".     

Wajah sisi kanan Herry masih lebam atas kejadian sehari sebelumnya. Detik ini, secara mengejutkan ia mendapatkan hantaman yang berasal dari tangan tuan muda tempatnya mengabdikan diri, "Ini untuk kelalaianmu!" tukas Mahendra.     

Pada lengan sang tuan muda di penuhi cakaran bekas kejadian semalam. Herry menyadari dengan sangat bahwa ia ikut andil atas hilangnya pertahanan semalam. Ajudan tersebut memutuskan kembali ke rumah induk untuk memenuhi panggilan oma Sukma, tanpa berpikir panjang bahwa Wisnu tak akan mampu menangani segalanya sendiri.     

Ajudan ini lekas berdiri tegap, kemudian menundukkan punggungnya atas rasa bersalahnya. Dia tak mengucapkan sepatah pun kata.     

Mahendra menatapnya dengan ekspresi datar, "Aku tak pernah kecewa padamu selama ini. Lain kali, belajarlah menggunakan otak, daripada sekedar patuh,".     

Tanpa jawaban, untuk kedua kalinya Herry menundukan wajahnya.     

"Aku akan menggunakan cara baru yang kau sebut menyimpang. Aku tak akan peduli pada tradisi atau nilai-nilai yang mengukir keluarga ini. Aku tidak bisa memegangnya sejak pagi ini," tuan muda ini sedang membicarakan pendapat Herry di malam sebelumnya, "Beritahu teman-temanmu. Kau, atau siapa saja yang mengabdi untuk kakek ku, berhak meninggalkanku. Dan, tidak harus melanjutkan pengabdiannya padaku. Aku punya cara berbeda. Kalian ditumbuhkan olehnya, bukan aku," tangan Mahendra saling terikat di belakang punggungnya. Pria ini menyampaikan pesannya tanpa melihat lawan bicaranya, sebab dia telah membalik punggungnya, selepas memberi hadiah hantaman untuk ajudan kepercayaannya.     

"Saya akan tetap di sisi anda, tuan. Apapun yang anda inginkan," lirih Herry.     

Manik mata biru tertangkap melirik sejenak dengan menolehkan pandangannya, "Aku mau pesanku tetap tersampaikan pada yang lain," kalimat terakhir sang tuan muda, sebelum meninggalkan kamar ajudannya.     

.     

.     

"Hen, kenapa kau tidak membuka jendelanya?," perempuan hamil ini sudah terbangun, sebelum suaminya tiba. Beberapa perawat baru saja membantunya mengganti pakaian dan memastikan dia baik-baik saja.     

Dia yang diminta, lekas berdiri dari tempat duduknya dan membuka jendela untuk istrinya yang kini lebih banyak disarankan terbaring di atas ranjang.     

Semilir angin masuk ke dalam ruangan, termasuk suara gemerincing lonceng bambu, "Ini yang aku nanti," Aruna berujar lirih. Mahendra yang berdiri di ambang jendela, menolehkan pandangan ke arah istrinya, "Kau menghalangi sinar matahariku, Hen," perempuan di atas ranjang itu berujar, sebelum menarik bibirnya menciptakan senyuman.     

Lelaki bermata biru itu membenci senyum perempuannya saat ini. Senyuman yang sengaja dia buat, selepas hal-hal buruk menimpa mereka. Senyuman yang kian meluki jiwanya. Pemimpin keluarga yang harusnya melindungi anak dan istrinya tersebut masih berdiri di ambang jendela dengan obat penenang berupa senyum palsu yang dihadiahkan perempuan yang terbaring di atas ranjang.     

Mahendra meninggalkan jendela, berjalan meraih coatnya, "Apakah kau akan bekerja? Tak ingin berpamitan denganku?," dia yang masih sempat mendengar kalimat Aruna, menghentikan langkah dan membalik tubuhnya sejenak.     

"Aku akan pulang lebih awal dari yang kau pikirkan," lalu, tersenyum. Kemudian menghilang di balik pintu, menyisakan perempuan yang terbaring sendirian. Menutup mata, menikmati gemerincing lonceng bambu angin.     

.     

.     

"Sambungkan aku pada Thomas," dia yang baru sampai pada ruang kerjanya, meminta Tita membawa CEO pengganti sementara Djoyo Makmur Group padanya.     

Mahendra tengah berdiri, memilih dan memilah buku di dalam rak buku memanjang yang kini lama tak ia sentuh, tatkala lelaki berambut platinum yang beberapa tahun lebih muda darinya itu datang padanya.     

Sang presdir memintanya duduk tanpa memalingkan wajah, saat dia berhasil mengambil sebuah buku yang tengah ia cari. Lelaki bermata biru itu membawanya dalam genggaman, 'Sun-Tzu The Art of Warfare', demikian sebuah tulisan pada sampul teramati lawan bicaranya.     

"Bagaimana dengan pembangunan di wilayah timur?" Mahendra melempar buku tersebut pada si rambut platinum yang saat ini menggerai rambutnya. Surai sepanjang bahu tersebut berayun, sebelum tangannya berhasil menangkap buku yang dilempar lawan bicaranya.     

Sejalan kemudian, lelaki dengan setelan kemeja putih yang dilapisi jas berwarna hitam, serta dasi dengan motif garis itu lebih banyak mengamati benda di tangannya, alih-alih membalas pertanyaan lawan bicaranya.     

"Apa kau tak mendengar apa yang aku katakan?," Mahendra menatap pria di hadapannya sekilas, sebelum arah pandangannya naik dan melihat bentang kota yang mengecil di balik jendela yang membentang, yang menjadi background lawan bicaranya.     

Suasana di luar tampaknya amat sangat terik, dapat dilihat dari sinar sang surya yang mampu memberikan pemandangan fatamorgana berupa ilusi kota melayang. Ilusi yang akan muncul ketika panas kian menyengat.     

"Maaf, kenapa anda memberi saya buku ini?," benar, Thomas nyatanya tak fokus sama sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.