Ciuman Pertama Aruna

IV-163. Suara Hantaman



IV-163. Suara Hantaman

0Kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki tatkala ia melihat perempuan yang ia cintai tidur dalam damai.     

Ini adalah definisi kebahagiaan dalam lubuk hati Mahendra.     

Merapikan tidur istrinya dan memandangi perempuan tersebut dengan tatapan penuh penghayatan. Ia tengah berdoa, mencium ujung-ujung jemari Aruna selepas menarik kursi mendekati tempat duduk perempuan yang tengah terbaring.     

Malam menggelap dan lelaki ini terlelap di atas sofa, kepalanya tergeletak letih di samping tubuh sang istri.     

***     

"Kenapa semalam ini belum pulang?" Gayatri mendapatkan pertanyaan dari Sukma. Perempuan yang kini terlihat lebih berisi dengan berbagai hobi barunya yakni mempelajari segala jenis meditasi dan olah tubuh tersebut, lekas bangkit meminta telepon genggam pada asisten rumah induk.     

[...] panggilannya yang tertuju pada putranya tak ada yang menanggapi. Bahunya terangkat ke arah sang ibu.     

"Coba kamu hubungi Herry," lirih sukma.     

[saya akan menemui anda, mohon ditunggu,] ini balasan Herry selepas panggilan yang berisikan kalimat pertanyaan terkait keberadaan putranya, Mahendra.     

Mata Gayatri menerawang menyadari sesuatu tak beres. "Oma, aku keluar sebentar," ujar Gayatri.     

Wajah sukma menunjukkan kerutan, ia kurang setuju, "jangan khawatir, Herry sebentar lagi datang, nanti ia memberi tahu di mana cucu anda, nyonya," ledek Gayatri meredakan kerutan Sukma.     

"Lalu kamu mau ke mana?"     

"anda tak ingin tahu kabar lelaki tua yang anda usir?" senyum samar Gayatri pada Sukma, perempuan parah baya itu menoleh sinis, tak terima dengan gurauan sang putri.     

***     

Malam menghunjamkan hawa dinginnya pada kulit-kulit manusia, dia yang tertidur di antara hidup dan kematian terombang-ambing di atas suara roda yang menggelinding, bergeser menggesek lantai. Matanya terbuka lebar, akan tetapi segalanya gelap.     

Berada dibawah kain yang ia sadari telah menutup seluruh tubuhnya tanpa bersisa. Ada sesuatu yang mengganjal di hidung dan mulut. Tangannya bergerak, kakinya membeku tak mampu bergerak. 'Aku belum mati. Aku masih bernafas. Aku? Di mana diriku?'     

Gumaman tersebut menghasilkan tekat untuk menarik kain yang mengubur dirinya. Di singkapnya benda yang terbuat dari kapas di pintal tersebut. Hingga yang terdapati kini ialah sekelompok orang yang terenyak atas kemampuannya bangun dari tidur panjang.     

Nafas sang lelaki terbaring spontan naik turun, bersuara ngos-ngosan sebab syok bukan main, ingin rasanya ia bangkit dan berlari sebab kini ingatan di kepalanya memberitahu bahwa orang-orang yang mendorong ranjang beroda yang membawa tubuhnya ialah musuh bebuyutan kroni-kroninya tentu saja termasuk dirinya sendiri.     

Sayang Rey, tak dapat bergerak lebih dari itu. Bahkan berteriak saja mustahil untuk putra barga yang baru siuman tersebut. Hidungnya dan mulutnya tertutup alat bantu. Hanya matanya yang dapat memindai hal-hal di sekitarnya.     

Sempat berhenti sejenak, akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa tatkala salah satu pria yang mendorong ranjang tidurnya menenggelamkan dirinya kembali ke dalam selimut. Pengamatan terakhir yang Rey jatuh pada lorong dengan yang terbuka pintu secara otomatis, selepas seseorang meletakkan telapak tangannya pada alat di sisi pintu. 'inikah lantai bawah tanah itu,' gumaman ini berasal dari benak Rey, sebelum kesadarannya sirna.     

***     

"Brak!!" Pintu terdorong dan sesaat berikutnya tertutup kasar. Detik selanjutnya lampu di langit-langit ruangan sengaja di matikan.     

Hendra yang sempat terlelap, lekas membuka matanya. Lebar -lebar mencoba memahami situasi. Ada Langkah kaki mendekat. membuatnya sigap untuk bangkit. Ia yang baru terbangun menghempaskan tangannya ke udara. Ke arah kedatangan suara. Untung saja dirinya berhasil menjatuhkan seseorang yang ter curigai ke lantai.     

"Tuan ini saya," memasang telinga untuk menilai suara ini milik siapa. Mahendra melepaskan ajudannya yang tak lain adalah Wisnu–Pemuda yang sempat ia kunci dengan kakinya–tak jauh dari ranjang istrinya.     

"Ada apa? kenapa kamu masuk?" tanya Hendra sembari merenggangkan kakinya dari tubuh Wisnu. Tak sabar menunggu jawaban Wisnu yang masih tersengal mengatur nafasnya. Hendra berdiri menuju pintu. lelaki bermata biru hendak memeriksa sendiri apa yang terjadi.     

"ke mana yang lain?" Hendra membalik tubuhnya sesaat selepas celah kecil di atas hendel pintu menyajikan suasana di luar ruang rawat inap istrinya.     

"saya tidak tahu bagaimana orang-orang itu bisa menembus pertahanan di lorong depan," ujar wisnu yang mendekat ke arah Mahendra. "terakhir kali. Aku menyadari Alvin yang seharusnya sudah kembali dari toilet tak kunjung datang. Herry pamit ke rumah induk,"     

Hendra kembali mencuri pemahaman dengan mengamati suasana di luar. Sialnya ada mata yang tertuju ke arahnya. Di luar ruangan sekelompok orang bertubuh gempal berjalan lalu lalang seolah mencari sesuatu.     

"kita harus keluar," ujar Mahendra.     

"jangan tuan, sepertinya mereka banyak. Terlebih kita tak tahu apakah mereka berbekal senjata atau tidak,"     

"istriku sedang sakit, Andai orang-orang itu mendobrak pintu ini dan menemukan Aruna. terlebih membuatnya takut. Aku tak akan memaafkan diriku dan siapa pun pelaku yang mengirim mereka," tegas mahendra.     

"Tuan, aku yakin yang mereka incar adalah Rey bukan no.." belum usai kalimat Wisnu. Pegangan pintu berputar dan di susul tendangan. Wisnu dan Mahendra saling memandang.     

"maaf tuan," Wisnu keluar lebih dahulu. Suara hantaman lekas terdengar. Yang di lakukan Mahendra detik ini terlihat berlawanan, ia menyalakan lampu. Matanya mengamati seteliti mungkin perempuan di atas ranjang, Sang istri masih tidur pulas seperti dugaan suster yang sekian jam lalu memeriksa istrinya.     

"Kalian berdua ku pastikan baik-baik saja," melepas dasi berwarna merah yang masih melingkar pada lehernya. Hendra menggulungnya pada telapak tangan kanannya.     

Ketika Hendra keluar, dengan santainya ia masih menjalankan kehendaknya. menutup pintu kamar rawat inap sang istri serapat mungkin-di tengah baku hantam wisnu dengan lima orang sekaligus-. Berbalik dan lekas mendapati tubuh Wisnu jatuh tak jauh dari keberadaannya.     

Salah satu kaki wisnu hampir menyentuh kakinya, Hendra merunduk. Jongkok seolah tak ada rasa gentar sama sekali dengan ke lima lelaki yang berjalan perlahan lahan ke arahnya.     

Wajah Hendra mengarah pada kaki Wisnu, tapi tidak dengan anak matanya, lelaki ini melirik lawannya. Menarik sepatu ajudannya dengan sekali sentakan. "Bangunlah!" Gertak Hendra pada Wisnu.     

Tangan kanannya berayun melempar sepatu sang ajudan pada salah satu wajah lelaki bertubuh gempal yang mendekat dari arah kiri. Sejalan dengan langkah lebarnya, ia melayangkan tendangan pada seseorang di sisi kanan.     

Sepatu wisnu tepat jatuh di kepala musuh asing dua orang Djoyodiningrat tersebut.     

pria yang mendapatkan lemparan sepatu oleng seketika dan lekas memegangi kepalanya. Jelas ia kesakitan.     

Hal yang serupa juga terjadi pada lelaki yang mendapatkan tendangan di dada oleh Mahendra. Lelaki yang mendapat tendangan jatuh di lantai selepas suara benturan kaki dengan dada terdengar menyakitkan.     

Mendapati gesitnya sang tuan beraksi, Wisnu kini mengamatis sang lelaki bermata biru meraup kerah baju lawan mereka dan memberi pukulan hebat menggunakan tangan kanan yang terlilit dasi merah. Wisnu menirukan cara tuannya. Pemuda ini melepas sepatunya dan memanfaatkan benda tersebut untuk menyenjatai dirinya.     

Seorang dari kelima orang yang belum tersentuh tuannya, hendak menyerang dari belakang. Di jeratnya baju si lawan tersebut pada bagian belakang. Giliran menoleh. Wisnu memberikan pukulan kasar. Memanfaatkan sepatu di tangannya.     

"bagus," puji Mahendra. Lelaki bermata biru memutar arah pandangan mengamati. Empat orang lumpuh di tangan dua orang, "di mana yang satu?" Hendra bertanya. Tapi pikirannya berlari lebih cepat dari gerakannya.     

Menyadari pintu kamar istrinya tak tertutup serapat semula. Dia meninggalkan Wisnu yang kini kembali mendapatkan serangan dari seorang lawan yang berhasil menemukan kesadaran.     

"Sial!" Hendra membuka pintu dan mendapati seseorang ada di dalam ... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.