Ciuman Pertama Aruna

IV-158. Memejamkan Mata



IV-158. Memejamkan Mata

0Menjadi istri Mahendra tak mudah, aku mengerti dengan baik tentang ini. Nada kesal bercampur dengan kata 'Sial' dari bawahan yang paling dekat dengan suamiku membuatku sadar, ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang mengharuskanku berpikir cepat secepat mata para ajudannya membara ke segala sisi.     

Aku sudah mengalami kejadian semacam ini lebih sekali. Mungkin dulu aku perlu bertanya-tanya, namun kini segalanya lebih mudah aku mengerti. Tiga orang yang berjalan mengiringi langkahku punya pola lirikan senada dan dalam waktu singkat aku paham ada yang membuntuti kami.     

Roland yang berada di belakangku, terdengar menghubungi yang lain. Tentu saja dia memanfaatkan alat yang terpasang di telinganya, [Kita harus memindahkannya sekarang juga,] dia berbicara dengan nada cepat yang tak semuanya mampu aku cerna.     

Lenganku di genggam Herry, aku tahu dia tak akan melakukannya andai keadaan tidak benar-benar mengkhawatirkan. Dengan cengkeraman tangan dan caranya membimbingku berjalan aku menyadari lelaki ini mengharapkan langkah yang lebih cepat dariku. Sayangnya aku tengah hamil besar aku tak bisa berjalan lebih cepat lagi.     

"kita tetap di dalam rumah sakit, mereka tidak akan menyerang sembarangan kalau kita berada di lingkungan umum seperti ini," Suara Herry penuh penekanan.     

Menuju lorong yang aku tak tahu ini berada di mana. Tiba-tiba saja lenganku di dorong dan aku bersama Herry memasuki ruang kosong dan sunyi. Herry mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya aku jadi hafal itu apa. Mengendap, mengintip dari celah kaca yang tak seberapa.     

"nona bantu saya menghubungi Tuan Muda," pinta Herry menetapku sejenak kemudian kembali membuat pengamatan terhadap situasi di luar.     

Aku mulai menyalakan handphoneku menekan nomor atas nama suamiku. Ku dengar dia berkata [hallo,] tepat ketika Herry memilih keluar ruangan dengan sebuah pesan penuh makna, "teruslah bersembunyi,"     

Aku penasaran, mengabaikan kata [hallo,] dan panggilan sayang, Aruna, kamu di mana? Dan yang lainnya.     

Aku bingung tatkala melihat keadaan di luar celah. Lorong ini paling sepi dan ruangan tempatku bersembunyi lebih sunyi lagi. Ranjang-ranjang kosong. Mungkin ini adalah gudang yang menghimpun ranjang kosong. Termasuk kumpulan tabung oksigen. Dan tentu saja rak-rak yang aku tak benar-benar mengamatinya.     

[Hendra, sesuatu terjadi, aku yakin aku di lantai pertama, tapi aku,] sambungan telepon dengan Hendra terputus.     

Mendekati pintu aku tak melihat apa pun, kubuka sedikit pintu, lamat-lamat aku bisa mendengar suara gesekan kaki dengan lantai termasuk hantaman. Ya, Hantaman tidak beraturan.     

Sampai sebuah rintihan membuatku merinding, kudorong hendel pintu di tanganku. Aku menguncinya, tepat ketika tubuh yang aku kenal tersungkur di lantai dan itu Herry. Entah Herry di tendang atau di hantam aku tak tahu, yang pasti ia terpental di lantai. Ketika aku sadar aku melihat semua kejadian itu aku hanya bisa menutup mulutku dengan kedua telapak tangan dan mundur perlahan, entah seberapa lebar langkah yang aku ambil. Aku berharap siapa pun yang di luar tidak melihat keberadaanku.     

Dalam kondisi yang gelap gulita aku hanya bisa berharap orang-orang suamiku baik-baik saja.     

Detik ketika aku merasa semuanya telah tenang, aku melihat gerakan samar hendel pintu, aku tak bisa memastikan seseorang di balik gerakan itu adalah orang-orang suamiku. Aku pernah mengalami ini tujuh bulan yang lalu, seseorang membuka pintu dalam gelap yang aku pikir penolong nyatanya dia berhasrat membunuhku.     

Untuk itu kupacu langkah kakiku ke arah berlawanan. Aku bersembunyi di pojok ruangan di antara tabung-tabung oksigen dan sebuah ranjang kosong. Aku meringkuk sebaik aku bisa dengan terpaksa kumatikan hanphoneku sebagai pertahanan diri terakhirku, yakni tidak terlihat.     

"Bruak!!" suara ini memecah kebekuan ruangan yang sunyi dan sepi, aku tak bisa berbuat banyak saat aku tahu dia yang berdiri di ambang pintu bukan lelaki yang aku kenal. Nafasku sesak seketika. 'aku bisa melewati ini, ini bukan yang pertama Aruna,' kuujarkan mantra ini demi diriku sendiri dan bayi di kandunganku.     

Dia menyalakan lampu aku sudah siap dengan ini, dengan langkah perlahannya yang mengintimidasi dan mata liar yang mencoba memindai segala keganjilan.     

Langkah itu kian mendekat aku bisa merasakan bunyi benturan sepatu pantofel dengan lantai. Tidak mengejutkan ketika dia mencoba menyibak beberapa benda. Hal yang paling aku benci ketika berada di keadaan seperti ini seolah aku ingin bangkit untuk melawan, nafasku kian seasak dan sebuah ingatan tatkala seseorang menghantam punggungku hadir membayangiku. Rambut yang di potong dan tarikan menyakitkan itu. Aku tak kuasa menahan rasa didih ini ku gigit bibirku kuat-kuat.     

"Aaargh..." aku tak tahu kenapa ada teriakan aku sudah berupaya meringkuk di antara tabung gas. Mataku aku tutup rapat-rapat dan bibirku ku gigit kuat-kuat supaya tak ada suara yang keluar.     

Saat aku coba membuka mata. 'huuuh.. Tuhan...' Lirihku menangis. Leher pria itu di cengkeram siku lelaki yang lebih tinggi darinya. Sampai kakinya hampir tak menyentuh tanah.     

Aku mencoba memfokuskan penglihatanku, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Suamiku datang dan membanting orang itu. Aku dengar beberapa benda bergeser dari tempatnya dan hantaman lain yang tak bisa ku amati sebab posisiku terbatas.     

Aku dengan segala kesadaran yang ada dalam diriku memahami bahwa tidak tepat untuk gegabah dan keluar dalam posisi demikian. Lebih baik siapa pun tak mengetahui keberadaanku sampai segalanya aman.     

"Aaargh... jangan bunuh aku," aku hanya bisa menutup mataku dan kedua tanganku mendekap daun tanganku. Aku tak kuasa mendengar suara perkelahian. Walaupun perlahan-lahan aku kian akrab dengan kondisi ini.     

Lagi-lagi sebuah benda saling berbenturan satu sama lain. Aku tak bisa menghindarinya sebab kini benturan itu demikian keras. Menggeser salah satu ranjang di dekatku. Tampaknya orang lain datang dan ini menghadirkan kepanikan berikutnya. Aku yang merangka diam-diam di bawah ranjang kosong mendadak ranjang itu bergeser bersama jatuhnya seseorang tepat di depanku.     

"Aaaa.." ingin rasanya ku gigit bibirku kuat-kuat, dan memakinya sebab aku berteriak.     

Pria yang tersungkur itu menoleh padaku, ku yakin dia jatuh sebab di hantam suamiku. Memberi tatapan penuh dendam, aku sadar dia bakal berbuat sesuatu aku buru-buru membalik gerakanku merangkak kesisi lain, dan segalanya telah terlambat. Dia yang wajahnya robek mencengkeram salah satu pergelangan kakiku, menariku, hingga aku terpaksa membalik badan dan kugunakan kaki lain untuk menendang secara berulang-ulang tangan yang mencengkeram pergelangan kakiku.     

"Aarh!" pekikku saat, "lepas! Lepas!" dia kian kuat menarik hingga aku merasakan tubuhku ikut terseret.     

"Aruna?!" ini suara Hendra, segalanya menjadi terbuka tatkala keberadaanku kian kentara bersama keluarnya aku dari kolong ranjang-ranjang kosong dengan diseret lelaki yang bertubuh gempal dan siap menghantamkan sebuah benda di tangannya.     

Aku memejamkan mata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.