Ciuman Pertama Aruna

IV-160. Menahan Rasa Sakit



IV-160. Menahan Rasa Sakit

0Aku lihat wajah Hendra memucat hanya karena aku merasakan sakit untuk menegakkan punggungku.     

Aku takut, setakut Hendra yang meraup tubuhku dan membawa diriku dalam dekapannya. Aku merasakan rasa sakit yang mencengkeram di perutku ku, sejalan dengan dekapan tubuh lelaki yang membawaku berlari bersama suara gemuruh di dadanya.     

Aku merasa sedikit rasa basah di sana, pada organ perempuanku. Aku yakin terjadi sesuatu, namun aku tak mau berandai-andai. Aku tak bisa membayangkan melahirkan bayi prematur. Aku percaya bayiku kuat. Kami telah menghadapi berbagai hari berat bersama. Aku hampir menyerah tatkala tubuhku malam itu tercabik-cabik. Rasanya aku ingin beristirahat saja selamanya. Dan baby lah yang membuatku bertahan melalui berbagai prosedur perawatan di ruang isolasi dengan luka di sekujur tubuh. Baby yang membuatku merasa tak sendiri.     

Untuk itu apa pun yang terjadi hari ini. Aku akan berjuang bersamanya sampai akhir.     

Aku sadar Hendra memperlambat langkahnya, meletakan tubuhku di atas ranjang pemeriksaan. Aku berusaha menelan keluh yang rasanya ingin aku uarkan begitu saja bersama rasa sakit di perut. Sekuat tenaga aku menahannya. Menahan semampuku. menggigit bibirku tatkala rasa sakit itu mencengkeram hebat dalam perutku.     

Hendra, pria itu berdiri di sana menyibak rambutnya yang berkeringat dan tentu saja dengan wajah memucat. Seperti biasa, dalam kondisi sejalan dengan detik ini, dia bakal menatapku kemudian berupaya mengalihkan pandangannya ke arah lain tiap kali kami bertautan mata. Aku melihat gerakan tangannya mengentak dadanya sendiri.     

Hendra, dia benar-benar memenuhi kepalaku, berjalan tak beraturan di seputar tempat aku di baringkan. Bersama gerakan seorang dokter berupaya memeriksa detak jantungku dan tentu saja detak jantung bayi kami. Lalu suster mengoleskan krim di perutku selepas membebaskan bagian tubuh mengembung tersebut dari dress yang membungkusnya, sebelum sebuah alat pemindai baby kami menyentuh perutku.     

Hendra, membusungkan dada, tersengal beberapa kali untuk sekedar bernafas. Aku takut pria ini tak tahan dengan keadaan kami, aku dan baby. kemudian kehilangan kemampuan bernafasnya. Jadi saat dokter bertanya: ''apakah anda merasakan rasa sakit?" aku hanya mengangguk. Ya, aku mengangguk-angguk, padahal detik ini rasanya luar biasa, saking luar biasanya aku yakin detik ini wajahku memerah dan bulir di ujung anak mataku mengalir. Ini menyakitkan, tapi ada pria di seputarku yang sedang berjuang melawan dirinya sendiri.     

Aku mau pria itu kuat, aku tak ingin melihat Hendra yang roboh kehilangan nafasnya seperti orang sekarat. Ku julurkan tanganku pelan-pelan ke arahnya, aku hanya bisa pelan sebab aku sedang menahan.     

Dia menyambutnya, tangannya dingin, wajahnya pucat pasi tak bersuara. Sekali lagi menyibak rambutnya dia menggenggam jemariku dengan lembut dengan ujung telapak tangannya. Tapi matanya tak tertuju ke arahku. Tak masalah, dia perlu memastikan dia sanggup di dekat kami. Itu sudah cukup berlebih untuk dia yang selama hidupnya tumbuh dengan ketakutan akan datangnya hyperarousal setiap saat.     

"Ada pendarahan?" ini pertanyaan sang dokter yang ditujukan pada suster. Perempuan berseragam petugas kesehatan tersebut memeriksa bagian itu, sesuatu di bawah sana, aku masih menggigit bibirku, menelan rasa sakit.     

Menyadari mata sang dokter karahku yang kemungkinan besar mengharapkan komentarku. Hanya bulir air mata yang tak tertahankan yang bisa aku suguhkan termasuk anggukan ringan.     

Sedikit penenang saat Hendra ku rasa mendekap jemariku lebih kuat dengan telapak tangannya. Baby kami terlihat di sana setelah dokter berupaya memutar-mutar alat di atas perutku.     

"ada bercak darah warna coklat," ini jawaban sang suster untuk pertanyaan dokter sebelumnya.     

"masih mengalir?" tanya sang Dokter, sambil terus mengawasi bayi kami di monitor dengan ekspresi serius.     

"Tidak, tapi tak bisa di katakan sedikit," sang dokter mengerutkan dahinya.     

Aku merasakan rasa basah itu tadi. tapi aku tak ingin membuat kesimpulan.     

Tiba-tiba kakiku di gerakkan sang suster, membuka lebih lebar, dan di tekuk di kedua sisi, menciptakan segitiga. Jemari sang suster menyentuh bagian terdalamku. Dia memeriksanya di tengah rasa sakit yang masih menghantam.     

"ini bukan pembukaan dok," ungkap sang suster selepas jemarinya membuatku beberapa kali tersentak.     

"berapa usia kandungan?" Suster terdiam. Mungkin dia menaksir. Kondisi darurat, tentu saja sang suster tidak mendapati laporan pemeriksaanku. Yang sesungguhnya sudah tertumpuk, antre di bagian Obstetri dan Ginekologi.     

Hendra memutar matanya, pria ini mencoba mengingat. Di ujung tenggorokan aku mengatakan angka 33 minggu. Sayangnya jika ku buka mulutku, aku yakni aku akan mendesis dan mengeluh. Aku masih dengan kekukuhanku tak mau membuat Hendra kacau oleh rasa sakit ini.     

Hendak membuka mulut, "33, Ya, aku yakin 33 minggu," lelakiku seorang pengingat yang baik. Aku bersyukur dia bisa memberi jawaban tepat.     

"Masih ada jarak waktu, satu bulan," sang dokter melepas sesuatu di yang menggantung di lehernya membalik badannya dan menanggalkan gerakan tangan kanannya yang menari lembut di atas permukaan perutku yang terlapisi gel.     

Ini tidak baik, intuisi manusiaku mengabarkan hanya dengan mengamati mimik wajahnya.     

"apakah anda sedang kesakitan nona?" sang dokter bertanya.     

Aku mengangguk ringan namun kali ini tak ada bulir zat cair yang menetes pada sudut mata. Aku siap mendapatkan hal terburuk dari yang paling buruk. Asal baby kami selamat. Tak masalah dengan rasa sakit sesakit apa pun itu.     

"apakah anda bisa menahannya?"     

Aku mengangguk lagi. Ya, aku akan menahannya walaupun itu artinya aku akan menghadapi penderitaan sepanjang hari.     

"kondisi ketika ari-ari atau plasenta berada di bagian bawah rahim, nama lainnya Plasenta previa," kepalaku tak bisa mencerna informasi ini. Aku menatap suamiku, dia tampak serius, dia pendengar yang baik, aku yakin Hendra lebih mengerti kondisi ini di banding diriku sendiri.     

"nona, saya tahu anda mengidap preeklamsia sebelumnya, hal ini mendorong resiko terjadinya Plasenta previa. Kemungkinan lain selain riwayat kehamilan, di karena kan ibu hamil beraktivitas terlalu berat, baik aktivitas fisik, benturan, cedera atau bisa jadi aktivitas seksual," sang dokter lebih banyak mengarahkan mata ke arah Hendra.     

Lelaki bermata biru menatapku, jemariku di jerat kian erat. Kami berdua memahami dengan baik informasi sang dokter.     

Aku mengalami hari berat, lebih berat dari isi kepala sang dokter yang mungkin saja di dalam kepalanya tak ada konsep seputar: nona dari keluarga konglomerat baru saja menembak orang atau di seret dan hampir di hantam tabung oksigen.     

Konsep terbaik yang di miliki sang dokter kemungkinan besar tak akan jauh-jauh dari aktivitas bercinta kami. Dan semalam kami juga melakukannya.     

"Beri tahu solusinya?" Hendra to the point menodong pertanyaan.     

"operasi Ceasar untuk mengeluarkan baby secara prematur," aku spontan menggelengkan kepala. Aku tak bisa membayangkan bayi kami lahir prematur. Bayi prematur dalam sudut pandangku adalah manusia kecil yang harus mati-matian memperjuangkan hidupnya di tengah kondisi lingkungan yang belum siap ia hadapi. Berbagai risiko terganggunya pertumbuhan sampai gagal fungsi organ bisa terjadi, secanggih apa pun perlindungan medis menggantikan fungsi rahim.     

Bayangan inkubator dan baby yang tak bisa kusentuh memenuhi pikiranku. aku tak bisa menahan diriku kali ini, aku melepas jemariku dari genggaman Mahendra, kugunakan tanganku untuk mengusap air mataku.     

Telingaku bisa mendengarkan rintihanku yang tak mampu ku tahan. Aku merasa gagal, sangat gagal.     

"Sayang, Lihat aku!," aku senang Hendra terdengar lebih kuat.     

"ada cara lain, namun ini tak mudah," melihat harapan masih ada, tangisku hilang seketika, menangis tak menyelesaikan masalah, logikaku kembali bekerja, "Ini sangat tak mudah, terutama bagi ibu, dan ada syarat yang harus ... ... ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.