Ciuman Pertama Aruna

IV-157. Gadis Perhitungan



IV-157. Gadis Perhitungan

0"kenapa kamu membawaku kemarin?" malam yang gelap telah berubah menjadi semburat merah pada ufuk timur.     

Perempuan yang duduk di kursi penumpang detik ini tengah terpana, ia melepas sabuk pengaman pada bahunya. terdorong oleh rasa penasaran, ia membuka pintu mobil. Kakinya telah menyentuh pasir pantai. Matanya menyapu cakrawala yang memerah.     

dia bertanya sekali lagi kepada pria yang membawanya ke tempat ini. "kenapa kita mendatangi tempat ini? ".     

turun dari mobil, seperti yang dilakukan sang gadis, lelaki tersebut hanya tersenyum. menyapu cakrawala merah di atas lautan tanpa batas. "aku menemukan tempat ini, usai menyelesaikan misi evakuasi, aku mengingat keluh kesahmu ketika kita berkendara menuju pantai seberang," pria itu mengalihkan pandangan, hamparan lautan ia tanggalkan, memilih menatap gadis yang memiliki rambut hitam panjang hingga menyentuh pinggul.     

Matanya tak usai membuat pengamatan terhadap si dia yang berdiri di depan kap mobil.     

Merasa terus menerus diamati, si pemilik rambut hitam legam itu menyadari cara lelaki di sampingnya memandangnya agaknya berbeda. Dan entah mengapa gadis itu dengan sengaja tidak membalas tatapannya. "aku bukan orang yang mudah berkeluh kesah. Jadi, ku rasa kau salah mendengar,"     

"Oh' kamu selalu ketus padaku, padahal niatku baik," dia yang bicara membawa sesuatu pada telapak tangannya. Mendengarkan jawaban yang kurang bersahabat, pria ini mengurungkan niatnya. Memasukkan kembali benda pada telapak tangan ke dalam saku celana.     

Melirik sejenak sekali lagi, lelaki tersebut akhirnya memutuskan untuk melempar kunci mobil. Untung saja kunci mobil sempat tertangkap sang gadis dengan gerakan cepat.     

"Apa?" hampir saja jatuh, dia bertanya dengan ekspresi bingung.     

"jadi, kamu sudah lupa?" pria ini sempat berhenti tatkala membuak pintu mobil. Kedua saling memandang satu sama lain, "andai kamu bisa mengendarai mobil, nona tak akan mengalami kejadian seburuk kemarin. Siapa yang mengeluh ingin di ajari menyetir," akhirnya perempuan tersebut menampakkan senyumannya. Berlari menuju pintu kemudi dan duduk di dalamnya.     

.     

.     

"letakkan tanganmu di sini," perintah lelaki bermata sendu.     

"begini?"     

"jangan tegang, santai saja, mobil ini mobil matic, beberapa mobil keluarga Djoyodiningrat berupa mobil manual dan matic. Untuk itu kamu harus bisa membedakannya,"     

"Mirip motor ya.."     

"anggap saja begitu, oh' aku lupa, setelah ini aku rasa kamu tak akan bekerja lagi pada mereka,"     

"aku benar-benar di pecat?" volume suara Kihrani menurun. "tapi nona belum mengatakan apa-apa pada ku,"     

"jangan khawatir, belajarlah mengendara dengan benar, nanti kita assesment ulang, apakah kamu layak di pekerjaan," yang tengah bicara menawarkan senyum ramahnya, tapi mata itu menyipit dan berkedip. Kihran jadi tak yakin apakah makna dari ucapan pria ini.     

"Ingat, Kaki kiri untuk mengontrol rem dan kaki kanan silakan diposisikan untuk menginjak pedal gas. Sedangkan mobil matic hanya menggunakan satu kaki saja yakni kaki kanan untuk mengontrol pedal gas dan rem, paham," pria bermata sendu ini merundukkan pandangannya, beberapa kali dia mengacungkan jemarinya layaknya guru yang tengah memberi petunjuk kepada anak didiknya.     

"tidak,"     

"apa?"     

"hehe tolong ulangi," pinta perempuan tersebut. Kali ini ia berkenan bertautan mata dengan lelaki yang menjelma menjadi pengajar dadakan.     

"Pasang telingamu Bomb!" gerutu Vian, "jadi, bla bla bla,"     

Mereka banyak diskusi pagi ini, tak lain seputar fungsi beberapa fitur yang di miliki si biru metalik sang senior.     

"apa yang akan terjadi kalau aku menekan pedal Gas,"     

"maju ke depan lah! Kenapa kamu menanyakan hal sebodoh itu," geram guru dadakan, ia lelah terlalu banyak di tanya ini itu.     

"Ciit.."     

"begini? Kan?"     

"hai.. hai... hentikan! Hentikan!" mobil ini maju beberapa kali dengan gerakan tak beraturan.     

"haha, kamu mau lagi," dan gadis berambut hitam itu lagi-lagi memainkan pedal gas, "Ah' Vi.. VIAAAN...!" dia yang baru belajar, alih-alih mendengarkan instruksi malah memainkannya, kebingungan melanda tatkala mobil tiba-tiba membelok dikarenakan gerakan tangannya dan pedal gas yang ia tekan secara random.     

"lepas kakimu! Bomb!" Vian berpegangan pada sabuk pengaman di dadanya, satu tangannya menjulur membenarkan cara perempuan tersebut mengarahkan laju mobilnya.     

"Huh... huhhh... tuhan.. aku takut," gadis ini merintih memegangi dadanya.     

Sang pemilik mata sendu menyipit, mata tersebut tertimpa garis bibirnya yang melengkung, dia suka melihat si pemberani ini ketakutan.     

"Sudah cukup main-mainnya?" lawan bicara Vian mengangguk-angguk. Melepaskan tangan dari caranya mendekap dada, gadis ini kembali menyiapkan diri. Meletakan ke dua telapak tangannya pada benda berbentuk lingkaran.     

"biasa saja tak usah tegang," saran sang pria, hampir tak bisa menahan kehendaknya untuk tertawa, dia yang memegangi setir mobil dengan kaki kanan di letakkan pada pengendali gas, terlihat jelas pelipisnya di aliri buliran keringat.     

Mengambil nafas beberapa kali dan bibirnya mengucapkan sebuah mantra, Kihran mengulangi instruksi yang sempat di utarakan Vian beberapa saat sebelumnya.     

Suara redam mobil menderu di jalanan yang berbatasan dengan pasir pantai padat. Terbangnya beberapa partikel padat ke udara akibat dari hempasan laju empat roda ialah pertanda mobil ini tengah melaju.     

"naikkan sedikit kecepatannya," mobilnya memang melaju, sayangnya amat sangat lambat, "hai.. hai.. sedikit! Sedikit saja!"     

"Vian?! sedikitnya gimana?!" dia berteriak dalam kepanikan.     

"angkat! Naikkan telapak kakimu," dan seketika kaki gadis tersebut di angkat secara menyeluruh.     

"Bukan begitu! Hadeh! Bisakah kamu gunakan otakmu!" keluh Vian yang pada akhirnya kembali memegangi arah kemudi. Sampai mobil berhenti dengan sendirinya selepas mobil tersebut di matikan secara paksa.     

"kenapa kamu marah-marah! Aku baru pertama kali mencoba! Aku tak mau kamu ajari!" gadis itu melipat tangannya. Memalingkan wajahnya.     

"kalau bukan aku memangnya siapa yang bakal mengajarimu? Jangan banyak protes!"     

Menurunkan kedua pundak yang sempat naik, Kihrani pasrah dan dengan enggan perlahan-lahan menolehkan wajahnya memandang Vian.     

"kamu terlalu pemarah, aku baru kali ini mengendarai mobil, sabarlah sedikit,"     

"Pemarah?" mata pria ini melebar, "sedang membicarakan diri sendiri?"     

"Ah.. begitu lagi, aku sedang serius," protes Kihrani.     

Sekali lagi senyuman hadir di wajah sang lelaki.     

"berhentilah tersenyum seperti itu aku tak suka melihatnya,"     

"kau ini! Senyum tak boleh. Marah tak boleh, maunya apa sih?" Vian jengkel.     

Kihrani tertangkap mengalihkan pandangannya, ke arah berbeda.     

Dan entah mengapa suasana menjadi canggung dalam waktu singkat, "aku rasa hari ini sudah cukup," setelah suasana menghening, sang perempuan memecah kebekuan tersebut dengan menyudahinya.     

"Sebaiknya kamu lekas bisa mengendarai mobil, supaya lebih cepat bekerja," balas Vian.     

"apakah itu syarat yang di minta Tuan Hendra?"     

"bukan, itu syarat yang aku buat," sepasang alis hampir menyatu mendengarkan pernyataan lawan bicaranya. "kamu pasti bingung mengapa aku yang membuat syarat, nona tak bisa membawamu kembali padanya, dia tak ingin menganulir keputusan suaminya, wajar, ini berkaitan dengan rasa hormat seorang istri,"     

Wajah Kihran spontan di selimuti kabut hitam.     

"nona menyerahkanmu padaku, mungkin dengan begitu aku bisa mengajarimu beberapa hal, seperti mengendarai mobil atau mengendalikan senjata, kamu menginginkannya, bukan?"     

"sebenarnya itu keinginan nona,"     

"atau kamu akan kembali menjadi kasir?" tanpa sadar keduanya saling bertautan mata. "jika itu keputusanmu, aku merasa kamu akan kehilangan banyak kesempatan,"     

"kamu benar, aku tak akan bisa kuliah kalau aku mengambil pekerjaan lain." Dia yang bicara menarik lurus bibirnya, "ajari aku sekali lagi, aku pastikan lebih serius kali ini,"     

"kamu gadis perhitungan,"     

"Itu harus, ada tiga manusia yang hidup di balik punggungku," Ujar kihrani membungkam pria yang jadi lawan bicaranya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.