Ciuman Pertama Aruna

IV-156. Jangan Terlalu Jauh!



IV-156. Jangan Terlalu Jauh!

0Gibran hanya bisa mengeratkan giginya saat menyadari dirinya dipojokkan oleh lawan bicaranya. "jika kamu bisa membuktikan adanya korelasi antara kembalinya calon istriku dengan hilangnya adikmu. aku siap menawarkan uang atau bahkan posisi strategis di perusahaan," tantang Gibran. Kedaunya saling melempar tatapan sinis satu sama lain dan itu di sadari oleh salah seorang yang berdiri tak jauh dari keduanya.     

Heru mendekat dan mengambil dua gelas berisikan air, disodorkannya dua gelas tersebut pada keduanya. Menepuk pundak Gibran dan mendorong lelaki itu untuk mundur.     

"Aku akan buktikan, lihat saja," ujar key menawarkan senyum janggal, "Pria sepertimu tak ada bedanya dengan ku, jangan kau pikir aku tak tahu bagaimana sepak terjangmu menyingkirkan adikmu sendiri, mengorbankan orang kepercayaanmu demi sesuatu yang kau inginkan. Bukan hal yang mustahil, benar, kan?"     

Mendengar rangkaian kalimat key, Heru melepas caranya menahan Gibran, "Key, tutup mulutmu!" menoleh dan mengarahkan pandangan pada key, Heru memberi peringatan.     

"BAMM!,"     

"Pyar!"     

"Prak!"     

Kekhawatiran Heru terjadi sudah. lelaki ini tidak mampu menghentikan hantaman tangan Gibran. Gelas di tangan mereka jatuh dan tumpah berserakan. Seluruh penghuni ruangan yang notabennya adalah para anggota dewan menoleh pada sumber suara.     

Key Barga lekas bangkit dari lantai tempatnya tersungkur. Pemuda tersebut menyala-nyala dan hampir membalas apa yang ia terima. Berjalan maju beberapa langkah menuju ke arah Gibran di mana Heru berusaha menghadang key, memeluk lelaki itu erat-erat.     

"Aku akan buktikan! tunggu saja!" suara ini adalah teriakan key.     

Dan dibalik itu semua, Gibran sadar dirinya diperhatikan untuk itu lelaki ini memilih menunjukkan sikap tenang. Dia menjauhi key. Gibran Merapikan bajunya dan lekas mengundurkan diri. lelaki bermata hitam pekat itu menuju pintu keluar. Ia tidak peduli dengan serangan tatapan penuh tanda tanya yang menghunjam padanya.     

Menghilang di balik pintu, putra Rio terdapati memilih meninggalkan hunian keluarga barga dan kenyataannya apa yang di lakukan Gibran nyatanya di ikuti yang lain.     

Awalnya Heru yang memilih berjalan membuntuti kepergian Gibran. Berikutnya Oliver dan Nakula turut meninggalkan rumah tersebut. Menyisakan para dewan yang mendapati putra-putra mereka berselisih satu sama lain.     

***     

" sudah siap, " Mahendra membuka pintu kamar baru pasangan suami istri, yang ada di lantai pertama. perempuan yang ada di dalam ruangan tengah mengenakan kardigan rajut warna putih melapisi dress selutut dengan motif bulatan-bulatan kecil warna hitam dengan dasar warna putih.     

Dibantu oleh Ratna perempuan hamil ini disodori tas tangan yang iya inginkan, sayangnya tuan muda yang berada di ambang pintu menggelengkan kepala. Menjulurkan tangan ke arah asisten rumah induk tersebut. Meminta tas tangan tersebut untuk diserahkan padanya.     

Berjalan mendekati suaminya, Aruna yang saat ini membiarkan rambutnya terurai panjang, mendapat usapan lelaki bermata biru sebelum pria itu meletakkan telapak tangan di belakang punggung sang istri.     

Berharap istrinya selalu berhati-hati, sepasang suami istri ini berjalan beriringan menuju pintu utama rumah megah tersebut dan lekas di sambut senyuman Hery.     

"Dokter Martin, lalu melihat Beby, barulah kita mengunjungi opa," Mahendra membuat keputusan sepihak. Aruna hendak mengomentari namun lelaki ini lagi-lagi tak memberinya kesempatan istrinya bicara, "aku tahu kamu sudah menemui dokter Martin, aku belum bicara dengannya secara langsung, aku ingin melihat hasil pemeriksaanmu sendiri,"     

Herry yang membuka pintu untuk tuan dan nonanya ikut mendapatkan tatapan Aruna, sebagian bentuk keluhan sang nona. Namun Herry tak bisa membantunya kali ini, ajudan tersebut mengangkat kedua bahunya, pasrah.     

.     

.     

Hendra menghabiskan waktu berbicara dengan sang dokter, selepas Aruna mendapatkan pemeriksaan secara intensif dari dokter Martin. Tidak ada kegiatan yang di lakukan dalam kekosongan jeda waktu menunggu Mahendra selesai berbincang-bincang dengan dokter Martin. Maka dari itu Perempuan ini berdiri dan lekas dibuntuti oleh Herry.     

" jangan terlalu jauh nona," Aruna menoleh selepas ia mendengar saran dari ajudan suaminya.     

"jadi, setelah kejadian tempo hari penjagaan untukku lebih ketat?"     

" itu wajar," Heri mengingatkan dengan suara rendah. Setiap langkah Aruna di buntuti dengan langkah yang sama oleh pemuda tersebut.     

Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. Dia menamati sesuatu di bawah sana. Herry ikut penasaran mendekati nonanya menelusuri arah pandangan Aruna.     

Detik ini dua orang tersebut berada di lantai dua. Jendela kaca yang membentang membuat keduanya bisa melihat lalu lalang orang yang berjalan di taman.     

Sang nona mengalihkan pengamatan pada sang ajudan yang berdiri di sampingnya, "Rey di sembunyikan di tempat ini?" menoleh pada Herry, sang nona menodongkan sebuah kehendak yang menuntut untuk di turuti.     

"ingin saya katakan tidak, tapi saya tahu anda tipe perempuan seperti apa," keberadaan Rey tertebak Aruna sebab perempuan ini mendapati dua orang yang tak asing berjalan di bawah sana sembari kedua tangannya di penuhi bungkus makanan. Orang-orang suaminya, Alvin dan Roland berjalan beriringan. Tak ada anggota keluarga Djoyodiningrat yang sedang sakit termasuk para pengawal yang terluka bersama tragedi yang mengakibatkan dada Vian tertembak dikabarkan telah pulih secara berangsur-angsur.     

Kemudahan tersendiri bagi Aruna menebaknya.     

"bawa aku melihatnya," pinta eAruna.     

"saya tak berani," kilah Herry.     

Aruna mengangkat tangannya mengamati jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "sebaiknya permintaanku kamu turuti sekarang, mumpung jadwal periksa kandungan masih beberapa saat lagi,"     

Herry berdiri tegap, formal dan pandangannya enggan bertemu mata dengan Aruna. "apa kamu ingin aku membuat kegaduhan sampai kau kewalahan," tegas Aruna.     

"saya tidak takut apa pun,"     

"kecuali melanggar perintah suamiku? Benar -bukan?"     

"Syukurlah anda tahu,"     

"Suamiku tak akan mengakhiri percakapannya bersama dokter Martin, sampai jadwal periksa kandunganku tiba,"     

Herry bergeming.     

"yang benar saja, kamu tak mau membantuku?"     

"ini tentang kepercayaan Nona, saya melihat teman-teman saya harus menanggung malu di sebab goyahnya keteguhan hati mereka, bagi kami di dera sekalipun tak masalah, akan tetapi rasa gagal setia lebih memalukan," ajudan ini menceramahi nonanya tanpa ekspresi.     

Saking kesalnya Aruna tak bisa membujuk Herry, perempuan itu sempat mendengus dan buru-buru meninggalkan sang ajudan dengan langukah yang lebih cepat.     

Sayangnya secepat apa pun langkah kaki yang di upayakan Aruna, perempuan ini berpacu dengan pemuda yang langkahnya lebih gesit berkali-kali lipat dibandingkan ibu hamil.     

"jangan terlalu Jauh!" Herry menggertak istri tuannya tatkala perempuan ini menuruni eskalator. Herry buru-buru menyusulnya, "ruang pemeriksaan kandunganku ada di bawah Herry," tegas Aruna tak suka ajudan suaminya satu ini rewel sekali.     

Berdebat dengan Herry dua orang ini tak menyadari saat Alvin dan Rolland, berada pada tangga eskalator tepat di seberang mereka. Eskalator Alvin dan Rolland naik ke atas dan anehnya ke dua ajudan ini yang berbinar mendapati keberadaan Herry dan Aruna.     

"Tidak ada cara lain,"     

"Ya, kamu benar,"     

Kalimat ini adalah komunikasi Rolland dengan Alvin, sebelum keduanya berlari di atas eskalator supaya lekas sampai lantai9 atas kemudian memutar arah menuju eskalator turun yang mana pada ujung sekalator tersebut terdapat Herry dan Aruna.     

Alvin dan Rolland mengganggu pengguna eskalator yang lain sebab keduanya terburu-buru mendekati keberadaan sang nona sambil terus melirik ke sebuah arah.     

"Nona... nona.." Alvin memanggil Aruna.     

"kami sudah belikan pesanan anda," Rolland mengangkat bungkusan di tangannya.     

"jangan tinggalkan kami," dua ajudan ini menyibak pengguna eskalator yang lain demi cepat sampai pada perempuan yang baru saja membalik punggungnya dan menatap dua ajudan tersebut sembari menyatukan alis.     

"aku? Memangnya aku pesan apa pada mereka Herry?" tanya Aruna polos.     

"Sial!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.