Ciuman Pertama Aruna

IV-154. Sudah Cukup Menahan Diri



IV-154. Sudah Cukup Menahan Diri

0"Ada lagi?".     

"Emm," Aruna mengerjapkan beberapa kali.     

"Aku mengenalmu," Mahendra meletakkan gelas di atas meja. Ketika benda bening tersebut telah terlepas dari tangannya, dia kembali berujar, "Kau gadis yang tahu apa yang kau mau, sebelum menikah denganku. Kau juga tumbuh menjadi perempuan yang tahu apa yang kau inginkan dan apa yang harus kau upayakan untuk kebaikanmu, bahkan sampai tadi pagi," dia yang bicara berjalan mendekat. Sejalan kemudian telah berhasil duduk di dekat istrinya, "Jadi, jangan bilang kau tak menginginkan apa pun,".     

"Apakah aku boleh mengatakan segalanya?" mendengar pertanyaan Aruna, Mahendra mengangguk.     

Tampak sedikit ragu, dia yang tengah berusaha menyelimuti tubuhnya dengan piyama, terlihat berpikir sambil menimbang-nimbang ekspresi suaminya. Lelaki bermata biru yang detik ini membantunya mengenakan baju tidur, terlihat serius dengan ucapannya, "Apakah pemberontakkan ku tadi pagi, begitu berhasil?" sepasang alis menajam akibat pertanyaan ini, "Kau sedikit berubah," ujarnya, selepas mengamati raut muka suaminya.     

Mahendra memang tertangkap berbeda bagi Aruna. Perempuan ini tak menyadari sesuatu telah berhasil menggeser pola pikir lelaki tersebut. Prinsipnya kokoh terkait menutup mata istrinya dari segala hal, perlahan-lahan memudar.     

Kini, Aruna lah yang bingung. Perempuan hamil itu memilih menjeda waktu untuk merenungi perubahan suaminya. Dia bangkit dari duduk nyamannya di atas ranjang.     

"Mau ke mana?" tanya Mahendra buru-buru. Dia yang bermata biru, bergerak cekatan membantu istrinya berdiri. Tangannya merengkuh dan memastikan perempuannya mendapatkan sandaran.     

"Berendam air hangat," menoleh sejenak, Aruna melihat gerakan gesit lelaki yang mendahului langkahnya.     

"Biar aku siapkan," sahut Mahendra, "Jangan masuk sebelum airnya penuh," ada senyum kecil yang tersungging di sudut bibir perempuan hamil. Lelaki dengan mata biru cemerlang ini mau istrinya mendapatkan kehangatan tiap saat, oleh sebab itu, dia kembali berujar, "Kamar mandi dingin," sebelum kalimatnya yang lain tertelan oleh dinding pembatas kamar mandi.     

Aruna yang baru menerima pernyataan berisikan sebuah alasan mengapa ia tak perlu lekas ke kamar mandi, memutuskan duduk kembali di atas ranjang. Perempuan ini menjulurkan tangannya, memungut smartphone suaminya yang tertangkap mata sesaat.     

Menekan tombol power benda pipih berlayar sentuh tersebut, Aruna bisa melihat foto dirinya sendiri pada layar pengunci. Foto maternity, di antara bunga-bunga di taman. Awalnya hendak tersenyum senang, lama-lama berubah menjadi masam.     

"Ayo, airnya sudah siap," Mahendra memanggil perempuannya dari dalam ruang kamar mandi.     

Aruna tak menghiraukan seruan Mahendra, ketika dia berkata, "Kita tak punya foto maternity berdua," tangannya mengarahkan layar handphone pada suaminya, saat pria itu keluar melintasi pintu.     

"Apakah ini permintaanmu berikutnya?".     

"Mungkin," jawab Aruna, yang membuat lelaki berkata biru tersebut lekas memacu langkahnya menuju perempuannya yang duduk di tepian ranjang, sembari mengayunkan kakinya ringan di atas lantai.     

"Kalian sangat cantik," dia yang bicara menekuk kakinya, menggapai dan memeluk perut yang kian membesar, "Daddy juga ingin foto bersama," pria ini sibuk mengusap-usapkan wajahnya di perut istrinya, tatkala perempuan hamil itu memilih untuk memungut jemari Mahendra, hingga berhasil membuka kunci handphone suaminya menggunakan sidik jari.     

Dia yang memeluk, belum menyadari sang perempuan yang memainkan handphonenya menjadi terdiam, bergeming dan membeku ketika mengamati pesan yang tersaji di layar utama.      

"Ke mana opa Wiryo?" suara Aruna bernada gelisah. Menggigit bibirnya, dia melirik suaminya.     

"Jangan terlalu dipikirkan, dia akan kembali," jawab Mahendra menenangkan, "Kadang kala, seseorang butuh sejenak diberi jarak. Mungkin dengan begitu, ada yang bisa diperbaiki,"     

"Aku yakin, opa marah karena aku," suara perempuan ini terdengar bergetar.     

"Bukan, percayalah," Mahendra memungut handphonenya. Namun, gerakan tersebut ditahan istrinya.     

"Permintaanku berikutnya, mari kita temui opa besok," pernyataan Aruna mengundang tatapan bingung lawan bicaranya.     

"Bukankah besok kau ingin memeriksa kandungan dan memintaku menghadiri kelas senam ibu hamil?"     

"Mendatangi opa lebih penting," gumam Aruna. Jemari lentiknya kembali bergerak memeriksa pesan lain yang mengusik rasa penasaran di hatinya.     

[Hendra, timku telah menyiapkan space kosong sesuai permintaanmu. Segera beritahu kami secepatnya, kapan kau dan istrimu bisa tampil,]     

[Jangan terlalu mendadak, aku tak mau timku kewalahan dengan permintaanmu] atas nama Tania. Perempuan karir dengan gaya hidup modern itu telah menjadi seorang produser bincang-bincang, sesuai impiannya. Walaupun dia telah menanggalkan dunia keartisan yang dia bangun sejak belia.     

Kerutan kedua hadir di antara alis Aruna, selepas membaca pesan tersebut.     

"Aku belum mengatakan ini," dia yang bicara mendesah.     

"Aku harus tampil di depan publik, bukan?" duga Aruna, dan Mahendra terlihat bingung atas pengetahuan istrinya, "Vian memberitahuku,".     

"Hemm," deheman lelaki ini ditujukan untuk kedekatan Aruna dengan salah satu orangnya.     

"Dia sudah menyelamatkanku, aku tak mau kau marah padanya. Tanpa dia, mungkin aku sudah terbaring di rumah sakit malam ini. Atau mungkin frustasi, sebab Rey benar-benar merenggang nyawa," mata mereka saling bertautan, dan si pemilik iris biru cemerlang mengangguk, menyatakan dia akan memaafkan pimpinan divisi penyidik tersebut.     

"Aku kenal dengan Vian dan Thomas," Aruna menunjukkan dua nama lain yang berbaris di antara pesan yang ada pada handphone Mahendra, "Aku juga kenal Raka," dia kembali mengabarkan pengetahuannya, "Namun, tidak dengan ini?" menyentuh profil dan membuat pengamatan lebih mendetail, perempuan tersebut melihat lelaki berkacamata yang tak asing baginya. Dia sering melihat pemuda ini datang ke rumah induk untuk menemui Mahendra maupun opa Wiryo.     

Mahendra bangkit, ikut duduk di ranjang sisi istrinya, "Namanya Pradita," jawabnya singkat.     

"Dia juga bekerja di lantai itu?" Aruna mengangkat wajahnya, memiringkan kepala, menatap suaminya dan mendapati lelaki bermata biru di sebelahnya mengangguk mengiyakan,      

"Dia terlihat lebih muda dan rambutnya lucu," komentarnya di akhiri kekeh ringan.     

"Dia paling cerdas dari yang lain," jawab Mahendra menilai, "Dan, yang di takuti,"     

"Benarkah? Oleh siapa?" pertanyaan ini terdengar antusias di gendang telinga lawan bicaranya.     

"Seseorang yang ada dalam satu kelompok dengan Rey,".     

"Oh'," dalam hati, Aruna menggumamkan kata 'Tarantula', "Bolehkah aku membuat permintaan lain?"     

"Tentu, sayang," Mahendra menarik smartphone miliknya yang berada di tangan istrinya. Dan akhirnya, diizinkan oleh perempuan tersebut, "Apapun yang kau mau, akan aku usahakan," penuh keyakinan lelaki ini menyampaikan keteguhan hatinya. Jalan pikirannya haruslah lebih sederhana, sesederhana cara Aruna dan ayah Lesmana memandang sebuah makna kebahagiaan.     

Namun, kalimat permintaan Aruna kali ini, sempat membuat Mahendra tercengang bukan main, "Ajari aku menggunakan senjata atau bela diri, sebagai pertahanan untukku sendiri,".     

"Kau sedang hamil," dia mencari alasan, selepas rasa terkejutnya sesaat.     

"Setelah melahirkan," lelaki bermata biru sempat mengerut sesaat, hingga akhirnya mengangguk mengiyakan. Perempuan melahirkan butuh waktu yang cukup lama untuk pemulihan, jadi dia tidak mau mengambil pusing dengan sesuatu yang masih lama akan terjadi. Pikir Mahendra.     

"Ada lagi?" kembali menawarkan istrinya terkait apa saja yang mungkin bisa dia usahakan untuk membahagiakan perempuan yang sempat membuat panik dengan hilangnya. Bahkan, dengan pemberontakannya yang penuh keberanian, sekaligus membuka banyak luka yang tak tersampaikan dari dalam diri seorang perempuan muda.     

"Gendong aku, airnya sudah menunggu," mengulurkan tangannya, dia ingin segera merasakan hangat air di dalam bathtub.      

"Oh' iya," dan Mahendra lekas memenuhi permintaan istrinya.      

Membawa perempuan itu ke dalam bathtub dan ia pun ikut berendam bersama.     

Luka yang ditutupi perempuan hamil ini satu-satu bisa teramati. Tiap Mahendra menemukan warna ungu di tubuh Aruna, dia menciptakan imajinasi tentang seperti apa kemungkinan lebam tersebut dibentuk.     

Ikut melucuti perban yang melilit telapak tangan, lelaki tersebut tak mampu menyembunyikan sakit hatinya. 'Sudah cukup menahan diri,' sebuah keteguhan tersusun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.