Ciuman Pertama Aruna

IV-153. Analogi Yang Unik (Menikah+)



IV-153. Analogi Yang Unik (Menikah+)

1Sejenak pria bermata biru menemukan kedamaian. Sayangnya, hanya bertahan sesaat. Sebab, kini yang mengeluh adalah dia yang dinikmati bagian tubuhnya.     
0

"Ehmm, sabar, sebentar," bertautan mata, keduanya saling memandang satu sama lain. Hingga tanpa sadar, sang pria mulai mendekatkan wajahnya dan meraup bibir mungil milik istrinya.     

"Apa kau memikirkan apa yang aku pi—Aarhh," perempuan ini kehilangan kata, selepas bibirnya terlepas dari pria di bawahnya yang kembali menyesap kuncup mekar miliknya.     

"Lebih dari itu, aku menginginkanmu," dia yang berkata nafasnya naik turun, sebab menahan pergolakan batin di dadanya, "Tapi aku tak yakin kita bisa melakukannya dengan benar. Aku tak mau mendengarmu mengeluh, sayang," sesaat, hawa panas mendingin dengan membekunya dua manusia di atas ranjang yang saling mendamba.     

"Apa kita perlu menonton tutorial, em?," mata coklat itu menawarkan semburat merah di pipinya.     

"Ternyata kau lebih tidak tahan di bandingkan aku," dia mengujarkan kalimat menggoda. Tangannya bergerak menyingkirkan beberapa helai rambut perempuan yang kini terduduk, sedangkan dirinya sendiri tertangkap menyandarkan sebagian tubuhnya pada kepala ranjang.     

"Bukankah kita dulu suka—ah' bukan kita, tapi kau! Kau suka mencari referensi, kan," perempuan yang sudah mengandung bayi di dalam perutnya masih saja kedapatan malu-malu.     

"Kenapa tidak?," pria ini bangkit dari duduknya, menuruni ranjang dengan menyajikan dada dan punggung yang telanjang. Selepas tangannya meraih handphone di atas meja, dia membalik tubuhnya. Senyum menggoda dia sajikan, seiring dengan gerakan menggoyangkan benda pipih tersebut, memberitahu istrinya bahwa dia telah menemukan video tutorial terbaik, "Ada dua posisi yang aman," duduk di dekat Aruna, Mahendra terdapati memeluk dari sisi belakang tubuh perempuan tersebut. Sesekali dia menyesap leher terbuka milik perempuannya.     

"Aku kesusahan kalau di atas," keluh Aruna.     

"Bagaimana dengan membelakangiku? Kita bisa mencobanya, sayang," bibir yang menyusuri leher, kini merunduk menatap ekspresi perempuan yang mendengarkan penjelasan dokter melalui video di layar smartphone.     

Aruna menatap mata yang mengamati dirinya, "Aku tahu kau tidak menyukainya,"     

"Tidak ada cara lain, atau aku akan mengguyur kepalaku di bawah shower semalaman," hampir tertawa, Aruna menanggalkan smartphone suaminya dan benda itu lekas disingkirkan. Perempuan ini membaringkan tubuhnya dan dengan begitu, pria di sisinya terlihat menarik selimut untuk mengubur tubuh mereka.     

Mahendra mengambil guling di belakang punggungnya dan diletakkan tepat di sisi kanan tubuh istrinya, tindakan tersebut serta merta menghadirkan pertanyaan dari Aruna, "Apakah aku perlu memeluknya? Begini?," perempuan bermata coklat ini memiringkan tubuhnya dan memeluk guling yang dihadirkan suaminya.     

Suara deheman Mahendra terdengar, seiring gerakan menarik baju Aruna. Perempuan itu kembali menegakkan tubuhnya untuk mengejawantahkan permintaan suaminya.      

"Naikkan kaki kirimu, sayang," kalimat ini terucap selepas mendapati perempuan hamil itu kembali memeluk guling putih dengan posisi miring.     

"Begini?," Aruna menoleh kebelakang. Matanya mendapati suaminya sibuk meloloskan diri dari celana yang ia kenakan.     

"Tetap letakkan kaki kirimu di guling," jawab sang pria yang terlihat tergesa melepas kain terakhir yang melapisi tubuhnya, "Jangan buat dirimu lelah,"     

"Begini?," kembali Aruna bertanya, seiring dengan gerakannya mencari kenyamanan.     

Dan, beberapa saat kemudian, keduanya tertawa, "Sepertinya, kita lebih bodoh dari anak-anak remaja,"     

"Ini yang membuat hubungan pernikahan kita tak bisa diragukan, kita sama-sama kurang pengalaman," mendengar kalimat istrinya, Mahendra mengacak rambut Aruna, "Tapi yang terpenting adalah rasanya, bukan begitu?" dia yang rambutnya sempat diacak, membuat pria di belakang tubuhnya kian gemas dengan ungkapan receh yang tak pernah di buat-buat.     

"Aku datang, katakan sesuatu jika tidak nyaman," Mahendra merengkuh paha kiri istrinya, dan lelaki bermata biru itu mulai membenamkan miliknya, "Ermhh," dia mendesis lirih, selepas berhasil menemukan sisi nyaman dan sebuah cengkraman yang dia dambakan.     

"Beri aku rambu-rambu saat kau tak nyaman," biasanya, Mahendra lekas menghentak, membuat gerakan tak terkontrol yang menjadikan malam mereka penuh peluh dan nafas tersengal. Aruna hafal kebiasaan suaminya. Lelaki bermata biru itu mempunyai tenaga yang sering kali sulit dia imbangi.     

Tapi malam ini, entah apa yang terjadi. Perempuan dengan manik coklat itu menemukan lelaki yang hobi bermain dengan hentakan tak terkendali, kini memperlakukan dirinya dengan cara berbeda.     

Menyentuhkan pucuk hidungnya di sepanjang tulang belakang, Aruna bisa merasakan rasa basah bibir Mahendra menyesapi punggungnya yang lama-lama naik ke atas dan berhenti di leher bagian belakang. Dia bergerak perlahan sekali, sejalan dengan sesapan kecil di belakang telinga.     

Kembali bergerak lambat, sekali lagi, sembari melumat daun telinga, "Apa yang kau rasakan?" bisiknya lirih.     

"Enak," dan, dia yang mendapat jawaban sontak tertawa. Tawa gemas yang membuatnya tanpa sadar mendorong guling sampai terjatuh ke lantai.     

Memungut kaki kiri perempuan hamil itu dan meletakkan di pahanya, dia yang berkuasa menegapkan tubuhnya. Bertumpu pada lututnya, lelaki bermata biru itu membuat istrinya mendapati dirinya datang dari arah samping.     

Sejalan kemudian, Mahendra kian berani menciptakan gerakan. Tidak menghentak, namun cukup mampu dinikmati keduanya. Sesekali berhenti untuk mengamati gerak gerik raut wajah istrinya dan lekas menghentikan gerakannya, tatkala sebuah kerutan tanpa sadar diciptakan perempuan yang dia kuasai.     

Malam ini menjadi panjang, sebab tidak ada yang saling menuntut, mereka saling memberi. Pada hentakan terakhir selepas keduanya melebur, terseret pada nada yang sama, perempuan yang buru-buru mendapatkan minum untuk memulihkan tenaga, berkata, "Aku merasa malam ini kita memainkan musik yang indah,"     

"Pertunjukan piano?" Mahendra mengonfirmasi. Namun, perempuan itu menggeleng, "Lalu?" tanyanya lagi.     

"Musik alam, seperti suara gemerincing lonceng angin bambu," dan pria itu tertawa mendengar pengakuan istrinya.     

"Ya-ya-ya, bukan Aruna, kalau kau serupa dengan pemikiran kebanyakan perempuan," dia masih meredakan kekeh tawanya.     

"Yang sederhana lebih indah, Hendra," perempuan ini mengukuhkan pemikirannya, menyodorkan gelas kosong.     

Meraih gelas kosong dan berjalan ke arah meja untuk meletakkan benda tersebut, Mahendra terdiam sesaat sembari mengamati benda bening di tangannya. Lelaki ini membalik tubuhnya—masih membawa gelas kosong di tangannya—dan berujar, "Beritahu aku, apa yang sederhana, yang bisa membuatmu bahagia?" mata birunya memandang perempuan di atas ranjang yang tengah memungut bajunya untuk dikenakan.     

Sesuatu di dalam kepala Mahendra mundur ke belakang, mengingat percakapannya dengan sang ayah tempo hari, 'Tatah kayu' dan ayah Lesmana. Gemerincing lonceng angin bambu dan istrinya. Atau, gelas kosong di tangannya dan dirinya. 'Analogi yang unik', batin lelaki ini.     

Dia adalah gelas kosong yang tak punya kebahagiaan di masa lalu. Dan baginya, segala-galanya adalah hari ini. Masa terbaik dalam narasi kehidupannya ialah tahun-tahun luar biasa bersama istrinya.     

Ayah Lesmana dan Aruna punya masa lalu yang secara tidak sadar menuntun mereka—Mahendra dan setiap orang yang berinteraksi dengan ayah dan putrinya itu—untuk membandingkan tiap-tiap momentum yang terjadi di kehidupannya masa ini.     

Seseorang yang pernah hidup lebih nyaman, lebih merasa aman dan lebih merasa bahagia di masa sebelum hari dan detik ini, pasti akan membandingkan, bahkan mulai tertekan. Atau kadang kala, menuntut kehidupan yang sama dengan masa lalu mereka.     

Entah analogi Mahendra ini benar atau salah, dia ingin mencari tahu sampai istrinya mendapatkan kunci menemukan kebahagiaannya kembali layaknya tatah kayu bagi ayah Lesmana.     

"Kadang kala, aku ingin," mata perempuan itu mengembara beberapa saat, "Datang ke kelas senam ibu hamil dengan didampingi suamiku. Ya, aku tahu mommy menguasai senam itu dan bisa membimbingku tiap saat, tapi aku mau sesekali ada momen dimana kau menemaniku memeriksa kandungan atau mengantarku senam ibu hamil," Aruna menyadari permintaan ini konyol, sebab dia selalu di datangi dokter spesialis kandungan. Setiap saat tinggal memanggil saja, maka mereka akan datang dalam hitungan menit.     

"Ada lagi?"     

"Emm,"                                                      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.