Ciuman Pertama Aruna

IV-152. Kesulitan Nafas



IV-152. Kesulitan Nafas

0Gadis berambut panjang hingga ke pinggang tersebut tengah menutup pintu rumahnya perlahan-lahan tatkala lelaki yang berdiri menungguinya kini berjalan dan membuka pintu mobil biru metalik miliknya.     

"aku tidak yakin kamu mau pergi bersamaku malam ini," dia tersenyum manis dan anehnya kihrani merasa senyum itu janggal alih-alih menyenangkan.     

"apa yang ada di kepalamu?!"     

"jangan marah dulu, aku masih prolog," perempuan yang sedang kesusahan mengaitkan sabuk pengaman ini sempat memutar bola matanya. Dan pria di kursi pengemudi menirukan gerakan mata tersebut sembari mengusir telapak tangan yang terlihat banyak berusaha namun hasilnya kosong.     

Vian menerbangkan bunyi 'klik' selepas usai berhasil menekan sabuk pengaman.     

"kita akan ke mana,"     

"sudah aku bilang terbang ke bulan,"     

"Vian!!"     

"Bomb!!" balas vian sama kerasnya, "Hus.. jangan rewel nanti kamu lihat sendiri,"     

***     

"Hendra.."     

"hemm.."     

"Hen.. aku kesulitan nafas," ini suara perempuan yang belum berhasil menggetarkan gendang telinga lelakinya dan dia yang di ajak bicara masih enggan menjawab.     

'apa? Nafas?' setengah sadar kalimat ini hanya ada di dalam benak sang lelaki.     

"Hendra.. aku kesulitan nafas! Singkirkan tangan-" Aruna belum berhenti berucap tatkala lelaki bermata biru di sisinya bangun gelagapan.     

Mengusir selimut yang memenuhi tubuhnya. Dia dengan kondisi yang tiba-tiba terbangun menarik tubuh perempuan hamil, di dudukkan dan di guncang, "Hendra apa yang kamu lakukan! Aaarghh..." perempuan ini berteriak bahkan menghadiahkan pukulan. Pukulan itu awalnya hanya di niatkan pada dada lelaki yang tak mengenakan sehelai kain pun pada bagian atas tubuhnya. Dan kini tanpa sengaja Aruna memukul ubun-ubun suaminya sendiri, sebab lelaki itu terus menerus mengguncangnya.     

"Ciaaat," hantaman hebat tangan mengepal bertemu ubun-ubun menghasilkan keluhan, "Aduuuh... sakit.." sama berteriaknya dua manusia ini melepaskan diri satu sama lain.     

"kamu ini kenapa sih?" Hendra marah sebab mendapatkan pukulan di kepala.     

"kamu yang kenapa, bisa-bisanya mengguncang perempuan yang sebentar lagi melahirkan?" sergah Aruna.     

"kamu menakutkan," Hendra terlihat mengusap-usap ubun-ubunnya dengan telapak tangan kanan. Wajahnya cemberut.     

"kamu yang menakutkan tahu!" tidak mau kalah dengan suaminya, Aruna merasa dia tak layak di sebut menakutkan sebab pria di hadapannya lah yang jauh lebih aneh.     

"lalu siapa yang kehilangan nafas? Siapa yang tidak bisa bernafas?!" lebih aneh dari sebelumnya pria setengah sadar ini mengangkat benda-benda di sekitarnya. Bantal, guling, bahkan sempat-sempatnya ia menyingkap seluruh selimut, "siapa??" kesal Hendra.     

"aku!, aku Hendra!" Aruna meraup lengan Mahendra, memeluk lengan kanan lelaki tersebut. "lenganmu ini pelakunya! Terlalu berat, menindih dadaku, apa kamu tak sadar," menepuk-nepuk lengan solid milik lelaki yang menyipitkan matanya sejalan kemudian menggaruk sudut lehernya sisi belakang.     

"maaf sayang," dia tersenyum, merah dan malu-malu.     

"Kamu ini!" gerutu Aruna. Mata biru itu mengamati istrinya. Memberikan tatapan intens, Hendra mendekat dan menyentuhkan bibirnya pada bibir yang tengah di tekuk cemberut.     

Dan tiba-tiba saja lelaki tersebut menjatuhkan tubuh istrinya, "Argh!" Aruna terkejut bukan main tatkala badannya terpental di atas ranjang, "Hendra.."     

"Aku mau," Pria itu mengikuti gerakan jatuhnya tubuh perempuan, dia sudah berada di atas tubuh perempuan hamil tersebut dengan bertumpu pada kedua lutut dan dua telapak tangannya.     

"kamu cepat sekali berubah suasana hati?" Aruna menaikkan sedikit tubuhnya yang semula di permukaan ranjang kini dia hendak naik–menumpukan kepalanya ke atas bantal.     

Melihat gerakan lambat itu Hendra tangkas memegangi tubuh di bawah ketiak istrinya yang kemudian pria tersebut mengangkatnya naik–dengan sekali ayun.     

"Hen.. maaf, aku bukan ingin menolakmu," perempuan hamil tersebut berkata, mengungkapkan sesuatu dengan kesan kehati-hatian.     

"yah.. aku tahu," kepalanya merunduk lemas dan terlihat bersedih, layaknya anak kecil yang tak di ijin kan membeli mainan baru. "kamu perlu banyak istirahat," mengelusi wajah perempuan di bawah perangkapnya dengan perasaan berduka lelaki ini merelakan keinginan biologisnya.     

Kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang, ia mengamati temaram lampu pada langit-langit ruangan yang berkedip tiap beberapa detik–bergantian satu sama lain.     

Tak lama ia menyadari istrinya memeluk sebagian tubuhnya, tangan di balut perban itu merambati dadanya dan berakhir pada bagian pipinya.     

"Maafkan aku," bisik Aruna di dekat telinga Hendra.     

Pria itu menangkap tangan istrinya dan mengamati telapak tangan terbungkus gulungan perban tersebut. Perlahan wajahnya menoleh ke arah perempuan yang meletakkan kepalanya di atas dadanya.     

Dia tidak berbicara, namun mata itu menuntut. Aruna menurunkan tangan dalam genggaman, perempuan hamil tersebut memilih memeluk erat tubuh suaminya.     

"aku pergi, mengunjungi rumah belajar, aku selalu tidak jenak tiap kali berselisih paham denganmu, aku di terpa rasa ragu-ragu saat tindakanku berbeda dengan keinginanmu, aku mempertanyakan berulang kali pada diriku, apakah tindakan ku merupakan pilihan yang tepat, aku menjadi frustasi, aku butuh menenangkan diri selepas berdebat denganmu," Aruna mengangkat wajahnya. Meninggalkan dada bidang. Mengubah caranya meletakkan kepala.     

Perempuan ini meletakkan dagunya tepat di bawah dagu suaminya. "aku tidak sadar seseorang membuntutiku, ketika aku pulang mobil Rey menghentikan taksi online yang sedang membawaku, dia berbau alkohol menarikku masuk ke dalam mobilnya," Wajah Mahendra semakin kaku, matanya kian gelap. "Rey, Kesulitan bawa mobilnya karena pengaruh alkohol, lalu kami berakhir di pantai itu. Dan segalanya terjadi begitu cepat, aku.."     

"Hentikan. Sudah cukup untukku," manik mata biru itu tertelan kelopak mata.     

"Aku minta maaf.. membuatmu khawatir," desah Aruna.     

"Harusnya kamu sadar, bukan hanya bayi kita yang bertumpu hidup padamu, Aruna. Pria ini bisa gila andai kehilangan istrinya," Hendra mengucapkan pernyataan ini dengan mata bar terbuka, ia menyala-nyala.     

Demi meredam nuansa yang di penuhi kemelut tersebut, Aruna bangkit dan duduk, sesaat berikutnya perempuan ini terlihat meletakkan bibirnya di atas dua pelupuk mata secara bergantian.     

Yang kemudian berakhir dengan mengecap bibir bawah suaminya. "kamu masih ingin menyentuhku?"     

"hemmm.." enggan terlepas dari sentuhan bibir Aruna. Hendra menahan kepala perempuan itu. Tapi yang terjadi berikutnya membuat Hendra terkejut, lekas melepas caranya menahan kepala Aruna. Perempuan itu mengernyitkan alisnya. Dia kelihatan tersiksa.     

"kamu..?? Sayang??" Ekspresi panik ditunjukkan lelaki bermata biru.     

"Jangan menekan leherku," Aruna mengingat bagaimana Rey mencengkeram rambutnya dari belakang, termasuk menjerat lehernya. Pastilah tempat itu masih terasa nyeri karena kejadian tersebut.     

"ini yang aku hindari," tegas perempuan yang menyetuh lehernya sendiri, Memungut telapak tangan suaminya dan meminta lelaki itu tak banyak menggunakan tangan termasuk jemarinya untuk menyentuhnya, "aku dengar, berhubungan intim saat hamil besar mempermudah persalinan,"     

Mata mereka saling bertautan, ada tatapan penuh harap bercampur pasrah.     

Sekejap berikutnya senyum kecil tersungging di bibir Aruna. "Aku tidak punya banyak tenaga, walau sekedar berada di atasmu,"     

Bibirnya mengatakan kalimat tersebut, akan tetapi ujung-ujung jarinya tertangkap membuka kancing bajunya satu per satu. "aku pun juga sama, semoga aku bisa membuatmu lega dengan ini," sang perempuan mengeluarkan benda yang di idamkan lelakinya. Meletakkan kuncup mekar itu ke dalam bibir yang sigap melumat.     

Sejenak pria bermata biru menemukan kedamaian, sayangnya hanya bertahan sesaat, sebab kini yang mengeluh adalah dia yang di nikmati bagian tubuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.