Ciuman Pertama Aruna

IV-151. Mengunci Jendela



IV-151. Mengunci Jendela

0"Kau tidur dengan damai, ternyata," lelaki bermata biru mendekati wajah perempuan terlelap. Matanya tertutup rapat, begitu tenang hingga mengantarkan kedamaian pula pada Mahendra. Menatap lamat-lamat pipi cabi, dia tergoda untuk menapakinya, menyesap bau yang menguar dari tubuh wanita yang dia sayangi.     

Bersama dengan tangannya yang bergerak meraba perut membesar, Mahendra mendapati hatinya yang dipenuhi rasa berbangga, "Hemm," memejamkan matanya, menghirup sekali lagi bau tubuh sang perempuan dengan menyesap bibir mungil memabukkan versinya.     

Menyadari semua jendela terbuka dengan gorden yang bergerak-gerak terhempas oleh angin malam, Mahendra memberi jeda jarak dirinya dan tubuh istrinya. Berjalan mendekati jendela, mata birunya terus mengamati gerak-gerik yang disajikan perempuan terlelap.     

Gerakan hendak menutup jendela dia sajikan, seiring dengan senyum di bibirnya tatkala melihat apa yang tergantung di luar. Mahendra berdiam diri sejenak. Harusnya dia berpikir seperti cara momynya berpikir. Sang ibu memberitahu bahwa dia akan menyiapkan kamar untuk menantunya, sesuai dengan hal-hal yang disukai perempuan muda itu.     

Lelaki bermata biru mengalihkan pandangannya dari lonceng bambu angin yang ada di ujung-ujung kanopi jendela, ke arah langit-langit kamar ini. Pantas sekali ruangan ini menjadi temaram. Di atas ranjang mereka, terdapat banyak lampu-lampu kecil berwarna hangat bergelantungan.     

Desahan lega terdengar dari Mahendra, seiring dengan gerakan tangannya menutup jendela. Mengunci pengait, sambil sesekali mengamati tiap detail ruangan.     

Selepas usai mengunci jendela—yang semula terbuka—Mahendra menemukan sebuah keyakinan, bahwa dia mungkin saja bisa tidur di sini bersama istrinya. Untuk itu, lelaki bermata biru ini melepas sepatunya. Kaos kakinya. Bahkan, kemeja yang membalut tubuhnya. Sabuk yang melingkari pinggangnya pun, terlepas sembarang.     

Menyusup ke dalam selimut tebal, Mahendra menemukan sesuatu. Sebuah kehangatan yang dihantarkan oleh tubuh istrinya. 'Aku harus tidur, atau kau akan membuatku ingin melepas celana sekalian,'. Sesuatu di dalam kepalanya mulai kehilangan kendali. Dia sempat tersenyum sebelum tertidur.     

***     

"Apa kau menunggu kedatanganku?" seorang lelaki baru keluar dari mobil biru metaliknya. Tangannya membawa paket makanan—yang dia tahu—kesukaan adik bungsu si perempuan yang detik ini melangkah keluar rumah, sebab mengetahui kedatangannya.     

Dia yang disapa mendecih. Pandangan matanya ke arah berbeda, berpaling sedikit dan enggan menatap lelaki yang baru datang.     

"Aku akan lebih menyukaimu dengan gaya sadismu ini," dia yang bicara mengangkat paket makanan di tangannya. Mendorongnya untuk gadis yang berdiri malas, "Buat Lala, bukan untukmu, jadi jangan besar kepala dulu," ujar lelaki itu.     

"Kau datang terlalu malam," Kihrani mengabarkan bahwa adiknya sudah tidur dengan kalimat sederhananya ini.     

"Yah, bagaimana lagi? Aku sangat sibuk seharian. Kau pasti sudah menungguku lama, maafkan aku," tak menjawab kalimat pria tersebut, Kihrani berjalan menuju pintu rumahnya. Tangannya hendak memutar handle, namun tangan lelaki itu menahannya. Dia menggelengkan kepala, ketika gadis berambut hitam legam itu menoleh menatapnya.     

Tanpa berucap alasan, keduanya paham maksud dari tindakan pencegahan yang dilakukan lelaki itu. Masuk ke dalam rumah yang luasnya tak seberapa, terlebih waktu menunjukan larut malam, akan mengakibatkan seluruh anggota keluarga di dalam terganggu dengan obrolan mereka.     

"Apa kau ingin ikut aku sebentar?," Kihrani terlihat berfikir, "Aku akan memberitahumu kabar terbaru nona, kau mengkhawatirkannya, bukan?" dan akhirnya gadis berambut hitam legam itu mengangguk.     

"Tunggu sebentar," ucap Kihrani. Mengangkat tangannya ke atas, menunjukkan dia akan menyimpan paket ayam goreng dan burger yang dibawakan oleh lelaki tersebut untuk adik bungsunya.     

"Jangan lupa ambil jaketmu sekalian," perintah sang lelaki.     

Gadis itu sudah memasukan separuh tubuhnya ke sisi dalam rumahnya, namun dia muncul kembali beberapa saat demi mengkonfirmasi niat si lelaki yang memberinya instruksi, "Kita mau ke mana?,"     

"Kita akan pergi ke bulan!" jawab si lelaki dengan asal, dia tampak tak nyaman melihat kerutan alis lawan bicaranya.     

"Vian!"      

"Apa salahnya bawa jaket?," dia mendengus, menyadari tatapan selidik yang diberikan gadis berambut hitam panjang, "Jangan selalu curiga padaku, Bomb!"     

"Baiklah!" gadis itu menyusup dan hilang ditelan pintu rumahnya. Ada suara lari yang samar menyapa gendang telinga lelaki yang berdiri menunggunya di luar.     

***     

Kediaman keluarga Barga, dini hari. Rumah itu menjadi ramai selepas hilangnya putra bungsu mereka, Rey.     

Seorang pria dengan mata sipit dan kulit seputih susu, tampak lebih dewasa kali ini. Key sendiri yang memimpin pencarian adiknya. Mengerahkan seluruh anak buahnya dan sebuah unit yang baru dia bangun bersama gedung baru yang dimandatkan padanya. Kisruh antara keluarga Barga dan Atmodjo reda sejenak. Bahkan Heru yang biasanya bermusuhan dengan putra sulung itu, kini ikut terlibat dalam pencarian.     

Pernikahan yang akan di gelar CEO Tarantula pun, mau tidak mau tertunda. Para dewan—selain Adam Nalendra, ikut serta menyambut kedatangan suami istri Barga.     

Perempuan yang baru datang menanggalkan coat yang ia kenakan. Gerakan tersebut disambut seorang asisten rumah tangga yang lekas mengambil tas yang terkalung di lengan sang nyonya. Derai air mata mengiringi pelukan yang diberikan anak pertamanya. Terlihat jelas bahwa sang ibu dilanda sedih luar biasa.     

Di sisi lain, Untung Barga terlihat bercengkrama dengan para dewan, sebelum dehem Rio Diningrat menghentikan segala aktivitas dan ruang tamu menjadi lebih dingin hingga berbau asap tembakau.     

"Aku tidak mau banyak membuang waktu," suara Key memecah hawa dingin dan tegang ruangan tersebut, setelah melepas pelukan ibunya dan mendorong perempuan itu masuk bagian rumah yang lebih dalam. Tampaknya, malam ini akan menjadi malam panjang diskusi di antara para lelaki.     

Lebih dari sepuluh orang berada di dalam ruang tamu utama yang sangat luas. Selain enam orang anggota dewan, ada lima lainnya yang di dalamnya terdiri dari putra-putra mereka. Tentu saja, kecuali Tegar Markus Salim yang tidak memiliki putra.     

"Jangan gegabah, kita menghadapi sesuatu yang kita tidak tahu siapa dan seperti apa wujudnya," suara Rio Diningrat menekan Key untuk diam.     

"Maafkan putraku, dia masih terbawa emosi. Kau harus paham ini," Untung Barga, untuk pertama kalinya, tidak mengabaikan putra pertamanya. Lebih tepatnya, pria itu sempat terkejut sekaligus penuh rasa terima kasih pada Rio Diningrat yang memberi putranya sebuah kepercayaan. Dan, kini, pemuda itu tampak banyak berubah dengan kesibukan barunya. Key tak lagi di temukan terdampar setiap malam di berbagai bar untuk bersenang-senang.     

"Aku bicara sesuai fakta. Sampai detik ini, kita belum punya bukti apapun yang mengarah pada keluarga Djoyodiningrat," mata Rio mengarah pada Key, "Kalau kau mau membuat keputusan secara langsung dan tidak sesuai aturanku, aku akan lepas tangan," ancam pria yang mengepulkan asap putih dari cerutu yang berada di sela-sela jari tangannya.     

"Apa keluargamu memiliki musuh lain yang mungkin menginginkan putramu?" kalimat ini hadir dari bibir Ndaru Dirga Atmodjo.     

Untung Barga terdiam sejenak, "Aku bahkan tak pandai berbisnis, aku banyak mengandalkan putraku, Rey. Aku pikir, anak itu lebih banyak musuh dibandingkan diriku," dan suasana hening kembali menyelimuti ruangan megah bergaya eropa milik keluarga Barga.     

Hingga, Key mengalihkan tatapannya pada Gibran yang sedari tadi—dari sebelum rapat terbatas ini dimulai—lebih banyak terdiam, "Sebelum kejadian, kabarnya Rey pergi bersamamu? Ke mana kalian pergi?" todongnya pada putra Diningrat.     

Gibran yang awalnya lebih banyak mengamati handphonenya, spontan gugup, "Rey? Aku? Oh' kami hanya makan siang bersama,"     

'Dia berbohong,' batin Key. Matanya menyipit, menatap selidik pada pria yang saat ini memasang wajah tenang. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh putra Diningrat tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.