Ciuman Pertama Aruna

IV-149. Misi Penting



IV-149. Misi Penting

0"Hendra pertanyaanku, sekedar pertanyaan random?! Ada apa denganmu??"     

Lelaki yang berdiri di tengah-tengah ruangan menoleh, dia menatap perempuan yang memberinya ekspresi terheran-heran, "aku ingin yang terbaik untuknya, yang paling baik," ada anggukkan ringan, dalam, dari gerakan samar sang calon ayah.     

Sedangkan perempuan hamil yang awalnya memilih duduk memeluk boneka mereplika salju kini ia bangkit. Ia Berjalan mendekat : "semua orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya," dia yang bicara menggerakkan tangannya menyusup di sela pinggang suaminya. Kepalanya bersandar di bahu sang suami, kenyataannya lengan di bawah bahu sebab perbedaan tinggi yang terlalu kentara.     

"aku rasa bukan warna yang membuat seorang anak memiliki karakter hangat atau dingin, orang tua dan lingkungannya, pengaruh utama," imbuh Aruna.     

"teori konstruktivisme masih paling populer sejauh ini," sang lelaki memeluk perempuannya.     

"Siapa yang sedang membahas teori entah berantah Hendra? Ya Tuhan, bisa kah kamu santai sekejap saja?" Aruna melepas diri dari dekapan tangan lelaki di punggungnya.     

"Kita sedang membicarakan bagaimana bayi kita nanti belajar, bukan?" isi kepala Mahendra tampaknya tidak sinkron dengan istrinya.     

"Ya, tapi tidak perlu kamu bawa tema seperti itu dalam percakapan kita," mata Aruna tertuju tajam pada suaminya, "Ah' entah lah kamu memang aneh,"     

"tidak ada yang aneh sama sekali sayang," dia melihat istrinya berjalan ke arah yang menuju kamar sebelah.     

"konstruktivisme, behaviorisme, kognitivisme, atau humanistik? Sepertinya mulai sekarang kita harusnya sudah memikirkan teori mana yang akan kita gunakan untuk merancang sistem pembelajaran baby kita," Mahendra memburu langkah kaki istrinya.     

"Aku tidak tahu itu makanan jenis apa?" kesal Aruna.     

"ah' masak?" matanya melebar.     

"makanya, izinkan aku kuliah!" Aruna kini duduk di atas ranjang barunya. Busa empuk terlapisi tema seprei yang serupa dengan yang biasa ia dapatkan. Sulur bunga lili.     

"kok' jadi marah?" keluh Mahendra duduk di dekat istrinya, "nanti kalau sudah melahirkan kuliah lagi," ikut duduk di atas sulur bunga Lily pria ini menatap mata coklat yang mengerut memalingkan wajahnya, "jangan lupakan pesan ayah, mari kita cari kebahagiaan kecil apa pun keadaan kita," suaranya menjadi lebih rendah.     

Lalu lawan bicaranya mengangguk. Mendekat. Meletakkan kepalanya di dada sang pria.     

"aku ingin kita tumbuh bersama menjadi lebih baik, berjalan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri," Hendra memeluk dan mengusap-usap lengan Aruna.     

"Aku," ini suara Aruna yang kemudian menghilang.     

"ungkapkan saja, aku minta maaf, selama ini tidak memberimu kesempatan mengutarakan pendapat atau mengungkapkan isi hatimu," bibir pria itu berkata, yang kemudian jatuh di ubun-ubun perempuannya.     

"Aku hanya ingin keluar dari cara keluarga ini mengatur kehidupan para perempuan, aku mau putriku punya banyak kesempatan, aku tahu kamu sulit memahaminya sebab kamu tinggal dan tumbuh dari keluarga ini," Aruna menjabarkan unek-uneknya.     

"ya, kamu tak salah, kehidupanku sangat terbatas. Hanya tahu segalanya berdasarkan teori," dia yang bicara menarik bibirnya, "supaya aku tahu, ajak aku bicara dan jelaskan,"     

"kadang kamu lebih sibuk di luar dan mendengarkan pekerjamu dari pada istrimu, apakah aku salah?"     

"maafkan aku," kembali sang pria mengusap lengan istrinya.     

"Hen? Kenapa tanganmu dingin?"     

"Interior frozen membuatku kedinginan," ujar Mahendra.     

"sepertinya bukan itu," Aruna menduga. Pandangan matanya mengarah ke wajah pria itu lalu menuju telapak tangannya. Ia menyentuhnya sekali lagi dan memastikan tangan pria ini benar-benar tengah mendingin.     

"malam ini aku belum siap tidur di sini?" Hendra bangkit menarik telapak tangannya dari sentuhan istrinya. Dia yang bicara menatap sebuah sudut ruangan, berpindah keranjang, langit-langit dan sekali lagi sebuah sudut ruangan.     

"apa yang kamu pikirkan," Aruna menatap sudut yang sama mengikuti gerakan mata Mahendra.     

"tidak, ada," lalu pria bermata biru itu memilih melangkah menuju pintu. Membukannya cepat dan menutupnya kembali meninggalkan istrinya begitu saja.     

Aruna tertegun dengan apa yang di tunjukan Mahendra. 'ada apa dengan ruangan ini?'     

***     

"ada laporan di salah satu kantor kepolisian pinggir kota," langkah kaki dua orang pria menapaki lantai terdengar nyaring memecahkan kesunyian di lantai bawah tanah.     

Seorang lelaki berkaca mata menyusupkan informasi pada pria lain yang 5 ceti meter lebih tinggi darinya. Lelaki tersebut membawa berkas menggunakan tangan kirinya. Langkah kakinya tak begitu cepat namun bukan dalam takaran lambat.     

Lelaki ini sedang berusaha berjalan secepat ia bisa menuju meja kerjanya yang cukup lama ia tinggalkan. "bantu aku membuka pintu," dia belum menimpali informasi penting yang di sampaikan lawan bicaranya.     

Si kaca mata dengan senang hati memutar hendel pintu untuk pria yang terdapati tak banyak menggerakkan tangan kanannya. Sesuatu di balik jas dan bajunya adalah sebuah penyangga yang ketat demi meredam sebuah luka di pada bagan dada. Luka tembak yang belum sepenuhnya pulih.     

Tepat ketika dia melangkah masuk dan mendapati pasang-pasang mata menatapnya, pria ini secara berangsur-angsur mendapatkan sambutan berupa salam selamat datang, "senior," dan punggung sedikit membungkuk adalah yang paling banyak ia dapatkan.     

Meletakkan berkas di meja memanjang yang tersaji pada tengah ruangan. Vian berhasil menggiring anggota timnya untuk mendekat padanya.     

"kita punya misi penting," dia to the poin tanpa pembuka. "pertama, Pradita tunjukan posisi kantor polisi yang mendapatkan laporan tentang perempuan hamil yang di culik,"     

"aku sudah mengirimkan titik lokasi pada hanphone divisi ini," Pradita menimpali. Pemuda berkaca mata tersebut berdiri di dekat Vian yang enggan duduk. Dia Leader. Dia menjaga etika bahwa seorang Leader haruslah terkesan lebih serius di bandingkan yang lain.     

"baiklah, terima kasih," mengarahkan telunjuknya pada salah satu anggotanya yang sedang menghadap pada komputer, detik berikutnya Vian mendapati dinding di ujung meja, di hadapannya menampilkan lokasi yang di kirim Pradita, "dua kari kalian segera datangi kantor kepolisian tersebut, dan pastikan kalian bisa menemukan sopir yang membawa handphone nona Aruna,"     

"sayembara yang di lakukan pihak tarantula kali ini lebih dari ekstrem, mereka siap memberi siapa pun imbalan asal menemukan Rey, hidup atau mati," Pratdita menambahkan.     

"kamu berdua bangkit dan berangkat sekarang," Vian meminta anggotanya lekas menyambut tugas dan dalam hitungan detik kalimatnya di imani. Dua orang menyingkir dari ruangan.     

"Sopir itu sebaiknya tutup mulut," ini suara Pradita.     

"kita bisa melakukannya kalau kita sudah menemukannya," Vian menenangkan pemuda di sampingnya.     

"yang ke dua," dia mendesah berat, "pembangunan di wilayah timur akan di mulai, perbualan ini assessment pemerintah daerah mulai di jalankan, aku dan tentu saja atas perintah presdir, tidak akan mentolelir segala kesalahan pemilihan mitra pemerintah yang tepat, kita menggelontorkan banyak dana untuk pembangunan bertema Charity ini. jika pembangunan ini gagal bukan hanya uang yang hilang namun reputasi anak perusahaan yang paling potensial Djoyo Makmur grup bakal hancur lebur," Vian menatap masing-masing anggota timnya.     

"kali ini Pradita bakal mengambil data pribadi mereka, dan tim kita yang bertanggungjawab menyusun rekomendasi, tidak ada toleransi untuk kesalahan. Apa kalian paham?" mata Vian berhenti mengembara tatkala tiap-tiap anggotanya mengaguk ringan.     

"kita semua hanya tinggal menunggu waktu, sebelum gunung es itu mencair dan gunung api yang terkubur bertahun-tahun siap meledak. menghancurkan segalanya," Pradita mengimbuhkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.