Ciuman Pertama Aruna

IV-150. Lonceng Bambu Angin



IV-150. Lonceng Bambu Angin

0Makan malam menjadi berbeda, seseorang yang biasanya memimpin acara makan bersama keluarga tidak ada di tempatnya.     

Aruna hendak bertanya, tapi tampaknya dua perempuan lain yang menghuni meja makan enggan membahas apa pun kecuali menu malam ini.     

Setiap Aruna mencoba mempersiapkan susunan kata berakhiran tanda tanya, Kalimat tersebut di tepis oleh susunan tanda tanya lain: " supnya enak? Malam ini aku sendiri yang memasaknya, makanlah yang banyak jangan takut gemuk, cicitku membutuhkan asupan makanan yang lebih banyak, " Gaya bicara Oma jelas memberi tahu bahwa ia sedang tidak ingin membahas kursi kosong di ujung meja.     

Selebihnya mommy Gayatri terlihat mengaduk-aduk makanannya. Konsisten membuat senyuman janggal atau mengangguk sekilas setiap kali Aruna kedapatan mengintip kursi kosong tersebut.     

Aruna meninggalkan meja makan dengan pikiran yang masih carut-marut. Malam ini Mahendra tidak ada bersamanya, pria itu mohon izin sejak sore untuk kembali ke kantor.     

Aruna yakin bukan masalah kantor yang perlu Mahendra selesaikan. Melainkan masalah yang dia timbulkan.     

Membuka pintu dan menutupnya kembali perlahan-lahan. Perempuan ini memasuki kamar barunya. Kamar yang menguarkan bau cat dinding. Harum seprei, gorden dan perabotan baru. Termasuk nuansa serba cerah.     

Aruna masih belum mengerti mengapa Hendra tidak suka tempat ini. Padahal desain interiornya dan apa pun yang ada di dalamnya menurut Aruna tidak ada bedanya dengan kamar mereka di lantai 2. Hanya saja perpaduan warnanya dibuat lebih cerah.     

Kamar di lantai 2, masih menawarkan terkesan maskulin. Terdapat warna abu-abu dan hitam di sana, mewakili pembawaan Hendra yang cenderung dingin dan kaku. Akan tetapi, Kali ini Aruna tidak melihat kesan tersebut, dia bisa merasakan rasa hangat oleh lampu-lampu warna kuning dan gorden putih cerah.     

Di balik gorden yang iya buka. Lonceng lonceng kecil yang tersusun dari bambu bambu cantik. Tergantung di kanopi setiap jendela yang tersedia.     

Lonceng angin bambu. Sangat familier. Suaranya pun menyenangkan. Aruna melangkahkan kakinya kian dekat. Semakin dekat sampai ia tak kuasa untuk menahan haru kali ini. Lonceng lonceng bambu yang mengirimkan suara jernih bak berada di tengah-tengah pedesaan tepi sawah menghijau nan asri. Tatkala jendela dibuka lebar-lebar nyatanya lonceng lonceng itu adalah barang buatannya. Entah siapa yang membawanya dari roof top di atas outlet surat ajaib. Dulunya lonceng-lonceng itu berada di teras roof top tersebut.     

Karenanya, karena bunyi-bunyian favoritnya. Aruna memutuskan tidak akan kembali ke kamarnya di lantai 2. ia akan beristirahat di sini. Dan menghabiskan malam ini bersama bunyi lonceng angin bambu tersebut, Aruna buka tiap-tiap jendela selebar mungkin.     

Hingga pikirannya menjadi jernih, lantas tertuju pada suatu titik, ia mengingat sesuatu, perban di tangannya perlu diganti. Perempuan itu berjalan mendekati telepon rumah. Mengingat sebuah nama yang sempat mengganti perban di tangannya.     

'kihran? Bagaimana nasibnya?'     

Diam sesaat dan mencoba memikirkan apa yang harus Aruna lakukan. Apakah dirinya perlu Memanggilnya dan kembali bekerja di rumah ini? Namun, hal tersebut bisa melukai martabat suaminya yang sudah terlanjur mengusirnya. Walaupun pria itu jelas salah.     

Aruna menanggalkan telepon rumah, meraih dan mencari handphone pribadinya ia lupa alat komunikasi pribadinya itu tidak ada. Satu orang yang ia ingat—yang mungkin bisa menyelesaikan semua kemelut yang ada di pikirannya—ialah Lelaki yang punya julukan senior Vian.     

[Kamu sudah menemukannya?] Ini kalimat tanya Aruna tatkala lelaki tersebut bercerita bagaimana timnya telah berupaya membuntuti lelaki yang melaporkan berita kehilangan seorang penumpang perempuan hamil.     

Menyusup ke dalam rumah sopir taksi diam-diam untuk mengambil barang bukti berupa handphone sang nona. Semua itu diupayakan demi menghilangkan jejak adanya keterkaitan antara Aruna dengan lelaki yang detik ini dicari-cari keberadaannya oleh tarantula.     

Sama sekali tidak ada yang meleset dari prediksi yang diciptakan Pradita maupun Vian, sekelompok orang yang mencurigakan menyelubungi kantor kepolisian demi mencari data laporan yang dibuat sopir taksi tersebut.     

Andai mengambil barang bukti itu tidak berhasil, kesaksian sopir taksi akan menjadi kebenaran. Dan kini saat handphone itu tidak berada di tangan si pembuat laporan. Otomatis semua laporan yang ia ciptakan sekedar bualan. Sebab, kenyataannya Aruna tidak dinyatakan hilang oleh keluarganya.     

[Anda harus muncul di depan publik secepatnya, dengan cara apa pun]     

[Kenapa harus begitu, Vian?]     

[Ya.. ini sangat penting, perihal Anda harus terlihat baik-baik saja. Untuk menepis berbagai dugaan yang mungkin akan diciptakan pihak Tarantula. Ah' suami Anda akan menemui saya sebentar lagi. Nanti tuan Mahendra pasti bakal mengaturnya untuk anda, Anda bisa bertanya langsung padanya]     

Sebelum menutup telepon, Aruna mempertanyakan satu hal. Bagaimana nasib gadis bernama Kihrani.     

Pertanyaan balik yang dikirim Vian kepadanya, [kalau anda harus mempertimbangkan kihrani demi menghormati suami Anda, apakah saya diperkenankan mengambilnya, dia bisa membantu kehidupan pribadi saya, ada beberapa hal yang kesulitan saya penuhi sendiri semenjak tubuh saya tertembak?]     

Aruna merasa lega dengan pertanyaan yang diajukan Vian. Pria itu paling cocok berada di dekat gadis bernama Kirani. Walaupun kadang kala terlihat tidak sabaran, Vian sampai sejauh ini adalah satu-satunya tim dari lantai bawah tanah–yang tak tersentuh itu–yang begitu terbuka bekerja sama dengan dirinya.     

Kihrani bakal banyak belajar dari kecermatan dan cara lelaki itu menyelesaikan tiap-tiap masalah yang ia hadapi. Termasuk caranya berkilah ketika Vian sering kali kedapatan berbuat di luar kendali Mahendra.     

Malam ini Aruna bisa tidur lebih nyaman, di ranjang barunya, bersama suara gemerincing bambu angin yang terbang menembus pintu-pintu jendela.     

***     

Pukul 10 malam, Djoyo Rizt hotel.     

Di lantai tertinggi hotel berbintang. Beberapa kali, lelaki paruh baya harus memencet tombol telepon yang terletak pada nakas tepat di sisi kanan ranjangnya.     

[Di mana vitamin yang harus aku minum tiap malam? Apa kau melupakannya lagi?]     

[Ah' mohon maaf tetua, saya bakal kembali ke rumah induk,] mendengar kalimat dari sekretarisnya, Wiryo terdiam.     

Sejauh ini, semenjak ia meninggalkan rumah induk, ia tidak melakukan aktivitas apa-apa. Berdiam diri di dalam kamar. Bingung harus menjalankan apa.     

Di usia senjanya, beberapa jam lalu ketika masih di rumahnya sendiri. Lelaki tua ini bisa menghabiskan waktu seharian dengan berkebun. Memangkas dedaunan yang kering yang menghambat pertumbuhan tanaman. Atau merawat, memperhatikan ikan-ikannya koi-nya yang mulai membesar. Dan yang paling senang ia lakukan adalah berdiam diri di perpustakaan rumah megah tersebut.     

Kemudian membuat catatan pada note pribadinya. Hal-hal remeh tersebut kadang kala bisa membawanya kembali ke dalam kesenangan yang di masa lalu banyak ia lewatkan. Wiryo banyak bersenang-senang Ala dirinya akhir-akhir ini.     

Sekarang ia kebingungan.     

[Ya sudah, sekalian ambil besok pagi. Ini sudah malam. Sukma pasti sudah terbaring di kamarnya, kemungkinan besar ia tertidur. Aku tak ingin Sukma terganggu oleh kedatanganmu]     

Menutup telepon, di mana penerima panggilan nya adalah seseorang yang tengah tertidur dalam penthouse yang sama, hanya beda kamar saja.     

Wiryo bangkit kembali dari tidurnya. Dia sudah mencoba terbaring dengan segala cara. Bersedekap dan terlentang seperti biasanya ia tidur. Maupun mencari posisi lain seperti miring ke kanan dan miring ke kiri. Kenyataannya semua itu tidak bisa mendorongnya menemukan rasa kantuk.     

Ia menoleh pada ranjang sisi kanan yang kosong.     

Ada rasa hampa yang menyiksa menatapnya, Bukan lagi 10 atau 20 tahun. Wiryo tidur ditemani seseorang di sampingnya. Perempuan yang bakal tergopoh-gopoh terbangun ketika ia sekedar membuka pelupuk matanya. Lalu bertanya dengan kalimat sederhana, "butuh apa?" atau "kamu ingin apa?" kadang kala "apa yang bisa aku bantu?"     

Sukma akan bertanya seperti itu, sampai mulutnya membuat jawaban dan perempuan itu benar-benar Memenuhi kebutuhannya.     

Kini ia bukan hanya membuka mata, dia duduk kembali selepas mencoba tidur selama 1 jam dan tidak berhasil. Tidak ada yang peduli apakah ia tengah menutup mata atau bahkan terduduk bangun.     

Lelaki paruh baya ini mendesah, membuat ketukan di atas busa menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kebiasaan yang tanpa sadar ia turunkan kepada cucunya sendiri.     

"Harus bagaimana?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.