Ciuman Pertama Aruna

IV-148. Kamar Baru



IV-148. Kamar Baru

0"Em.. lain kali aja," Hendra mengubah keputusannya secara mendadak. Hal tersebut sejujurnya tidak lucu bagi Aruna yang sudah terlanjur penasaran.     

"Maaf kan aku," dia yang sedang bicara mulai duduk. "istirahatlah lagi,"     

"aku terlanjur enggak mengantuk Hendra," gerutu perempuan. Aruna ikut bangun.     

"kalian berdua?" percakapan mereka terhenti oleh kedatangan mommy Gayatri. "apakah kalian sungguh berkeinginan menginvasi kamar perempuan ini,"     

Keduanya tersenyum mendengar kalimat perempuan ayu tersebut. Hendra turun dari ranjang tidur sang mommy.     

"saya tidak ada niat seperti itu mommy," ini suara Aruna.     

"Dari pada naik turun ke lantai dua, terlebih perutmu kian membesar. sebenarnya aku dan oma Sukma sudah mencoba merenovasi ulang salah satu kamar di lantai pertama untuk kalian berdua," mommy menatap Aruna, sesaat kemudian tatapan itu berpindah. Lebih lengkap dan lebih erat, iya seolah berbicara dengan matanya pada sang putra, "sesuai rencana kita Hendra," mendengar sesuatu yang menarik hati. Tentu saja Aruna lekas mengambil bagian, menatap keduanya erat-erat.     

Raut wajah cerah di tunjukan oleh mommy, anehnya ada kerutan di dahi Mahendra.     

"aku ingin melihatnya," pinta Aruna.     

"ayo.." mommy membuka kembali pintu yang tadi dia dorong sebelum kedatangannya di kamar ini.     

Saat perempuan hamil itu berusaha menurunkan tubuhnya dari ranjang dan bangkit dengan sedikit kesusahan demi mengikuti gesitnya sang mertua membuka pintu mempersilahkan Aruna. Hendra malah tak bergerak sama sekali.     

"aku belum sepenuhnya-" ini suara Hendra. Tiba-tiba kalimatnya terhenti di tenggorokan tatkala mata sang mommy bertemu dengan putranya.     

Aruna memiringkan kepalanya dia merasa bingung, sekaligus tak percaya dengan apa yang     

"Ayo kita coba," suara lembut mommy sekali lagi membuat tanda tanya besar.     

Sepanjang langkah menuju sebuah ruangan yang tak pernah terbuka. Di mana ruangan tersebut berada tepat di antara kamar tidur utama, yakni di antara milik oma-opa dan mommy. Sebuah ruangan yang sempat Mahendra ingin tunjukan sehari sebelum lelaki ini membawa Aruna pergi, mengasingkan perempuan hamil pada hunian di tepi pantai.     

Aruna sesekali menoleh ke belakang melihat langkah dan keengganan suaminya.     

"ada apa sebenarnya?" Aruna menghentikan langkahnya. Memeluk lengan lelaki tersebut. Mencoba menariknya perlahan.     

Gayatri yang awalnya bersemangat kemudian menyadari dua orang di belakangnya tak lagi mengikutinya. Membalik badan dan melipat tangannya. Dia menggelengkan kepala. Sejalan kemudian perempuan ini melangkah menuju keberadaan putranya yang di coba di tarik istrinya.     

"aku dan oma sudah merapikannya. segalanya kami rubah, dan kamarmu. Kamar masa kecilmu, kini kami sulap menjadi kamar bayi perempuan, aku yakin kamu pasti menyukainya," perempuan ayu ini mengeluarkan kunci dari saku celananya. Menarik tangan kanan putranya lalu meletakan kunci tersebut pada permukaan telapak tangan sang putra, "belum sepenuhnya sempurna, aku yakin kau dan Aruna ingin menyempurnakannya sendiri," lalu mata perempuan ayu itu berpindah dari Mahendra ke perut Aruna.     

"Apa kamu yakin kamu tega membuatnya naik turun tangga?" itu kalimat terakhir mommy. Sebelum pergi meninggalkan suami istri tersebut.     

"jadi, itu kamar masa kecilmu?" Hendra menggaruk sudut lehernya. Dia tak menjawab maupun mengangguk. Namun gerak tubuhnya menunjukkan kebenaran.     

"apakah windos 98 ada di sana?" dia yang di tanya mengangguk lagi. Sebelum berkata, "tapi, mungkin sudah di pindahkan,"     

"kenapa kamu tak ingin menunjukkan kamar masa kecilmu pada istrimu?" perempuan ini mendera Mahendra berbagai pertanyaan tanpa henti. Rasa penasaran adalah alasannya.     

"aku tidak punya kenangan bagus di tempat itu," jujur Mahendra, "kamar itu punya pintu yang menghubungkan ke kamar-"     

"aku tak mau tahu, ayo kita lihat hasil kerja keras mommy dan oma sukma untuk kita," Aruna tak tahan dengan jawaban lambat suaminya, Aruna menarik dan mendorong suaminya sampai pada pintu yang belum pernah terlihat terbuka selama ini.     

Rumah ini cukup luas ada banyak lorong dan ruangan, Aruna bahkan belum yakin apakah dia sudah menjelajahi rumah ini dengan benar. Dia bahkan belum yakin sebanyak apa dia naik sampai lantai empat. Dia lebih banyak di lantai pertama dan kedua yang juga kamarnya. Sesekali naik ke lantai tiga untuk mencari Susi, Tika bahkan ratna. Selebihnya dia tak begitu tertarik.     

.     

"em.." Hendra menatap kunci berwarna emas pada telapak tangannya. "aku rasa sebaiknya kamu yang membukanya," menggenggamkan tangan hendak menyerahkannya pada Aruna.     

Keraguan yang hadir di wajah Mahendra saat ini sangat kontras dengan kebiasaannya. Dia lelaki percaya diri yang selalu memimpin kawanan. Ketika lelaki ini ragu sudah dapat dipastikan ada sesuatu yang besar yang tengah ia pikirkan.     

"Kenapa kamu begini Hendra?" Aruna menerima kunci dari Mahendra. Perempuan itu memasukkan anak buah kunci ke dalam lubang kecil di bawah hendel pintu kemudian memutarnya dua kali.     

Sebelum ia dorong ia memastikan ekspresi wajah suaminya.     

Tegang dan berkeringat dingin. Hingga pintu berderit terbuka sepenuhnya. Sejujurnya Aruna tidak melihat apapun selain kamar yang cukup luas seluas kamarnya di lantai 2. Bahkan desainnya tidak jauh berbeda termasuk tata letak ruangan ini. Pada sudut kanan ruangan menyajikan meja kerja rak-rak buku yang menjulang tinggi walaupun isinya masih kosong. Sedangkan di sisi kiri meja rias dan sofa yang terlihat nyaman.     

Aruna masuk. Melangkah dan mulai memperhatikan tiap sisi ruangan. Berbeda dengan Mahendra yang masih berdiri di ambang pintu. Melirik dengan hati-hati sudut di dalam ruangan.     

Arjuna duduk di ranjang dan mulai mencoba seberapa empuk panjang yang akan ia gunakan tidur.     

"Sangat nyaman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku bisa tidur seharian di sini seperti kukang si pemalas," mendengarkan kalimat Aruna, pria itu sekedar menjorokkan sedikit kepalanya masuk. Ia menatap dinding dengan hati-hati.     

"Letak ranjangnya di rubah," kemudian bergumam lirih.     

Aruna tampaknya tidak peduli dengan ekspresi kekawatiran yang ditunjukkan suaminya, "di mana letak pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar masa kecilmu?" kepalanya menoleh ke berbagai sisi, "oh, apakah pintu itu," tepat di sisi kanan panjang. Di antara rak buku, sebuah pintu berwarna krem hangat senada dengan warna dinding terdapat pintu.     

Aruna terdiri hati-hati dengan perutnya yang mulai menyusahkan. Menuju pintu tersebut. Ia benar-benar tersurut oleh rasa penasaran. Ketika membuka pintu warna krem hangat.     

"Woo.." suara antusiasnya menjadikan laki-laki itu maju satu langkah, "kamar baby kita bertema salju," Aruna menoleh pada suaminya.     

Tangannya bergerak-gerak, meminta lelaki itu masuk untuk melihat-lihat bersama dirinya, "Ah aku tahu.. kamar ini bertemakan princess Elsa," pekik Aruna sengaja dikeraskan supaya suaminya masuk ke dalam.     

"aku tidak setuju," pria tersebut tanpa sadar melangkah dua langkah masuk lebih dalam lagi, "sudah membayangkan di dalam pikiranku, semua tentang baby kita berwarna pink dan yellow, bukan biru," Mahendra mengomel. Dia mulai melangkah menuju pintu yang warnanya senada dengan dinding. Lupa akan keengganannya memasuki kamar ini.     

"Pink dan yellow, bukankah itu sedikit norak?"     

"Tidak tidak," ia menggelengkan kepala, "pink dan yellow adalah lambang summer, hangat cantik dan ceria, aku ingin dia sepertimu. Jati dirinya harus dicat warna yellow dan pink," Mahendra keras kepala.     

"idih, begini sudah bagus, pink dan yellow terlalu mencolok dan norak,"     

"tidak! Aku tidak lagi suka dengan dasar lautan, hawa dingin, apalagi tema salju semacam ini, walaupun dia nanti terlahir bermata biru. Aku ingin dia dikelilingi warna-warna cerah dan ceria," pria ini mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, "aku akan menelepon Herry dan yang lainnya untuk mengecat ulang,"     

"segitunya, biasa saja tak usah buru-buru," Aruna menekuk bibirnya. Kabar ini baginya amat sangat indah. Sang perempuan hamil berjalan-jalan dengan menuju boneka kecil. Berhidung wortel. Olaf. "Begini sudah cantik Hendra," protes Aruna.     

"Aku tidak mau gadis kecilku dingin. Aku ingin dia mirip denganmu Aruna,"     

"apakah kamu yakin tema salju mempengaruhi psikologis seorang bayi. Dan kalau kamu mengubahnya dengan pink dan yellow, secara psychologist dia juga akan jadi gadis ceria?" kalimat Aruna menjadikan lelaki itu menurunkan handphone dari telinganya dan mematikan handphone tersebut.     

"benar kata-katamu, sebaiknya aku tanya pada Diana," menjadi lebih serius dua kali lipat.     

"Hendra pertanyaan ku, sekedar pertanyaan random?! Ada apa denganmu??"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.