Ciuman Pertama Aruna

IV-147. Berhentilah Menangis



IV-147. Berhentilah Menangis

0"Ayah pulang," aku mendengar suara ayahku berbisik di sela rambutku, di antara ciuman hangatnya pada pelipisku. Momen yang indah tiap kali melakukannya, seolah semua masalah runtuh dalam seketika. Tentang aku yang tak bisa menyelesaikan kuliah, atau tentang aku yang bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan setelah ini.     

'Aku sudah berbuat yang benar,' Ku ujarkan bisikan itu untuk diriku sendiri. Menggigit bibir bawahku selepas kusadari, aku bahkan tak sanggup bangun untuk berlari memeluk lelaki itu. Bukan karena aku tak sanggup bangkit dari ranjang ini, aku takut benar-benar menangis dan memintanya membawaku.     

Selepas pintu kamar terbuka dan kudapati suamiku menutup pintu—mengantar kepergian ayahku—aku menarik selimut dan memuaskan diri untuk menangis sejadi-jadinya.     

Dua hari yang gila untukku. Aku lelah dalam wujud sesungguhnya. Aku akan jadi ibu dan aku tak tahu, apakah aku bisa menjadi ibu yang baik untuk bayiku. Aku takut menghadapinya dan aku butuh teman bicara.     

Menjadi tak terkendali dengan semua keterkekangan ini, apakah artinya aku tak boleh punya mimpi?. Mewujudkan impianku, seperti ketika aku berbicara di atas panggung TEDx, dulu.     

Terlalu banyak yang aku korbankan untuk pernikahan ini, bukankah begitu?. Aku bahkan menjadi seorang pembunuh jika pria itu tidak juga bangun dari tidurnya.     

.     

.     

"Berhentilah menangis,"     

Aku tak bisa. Sungguh, aku tak bisa melakukannya. Atau lebih tepatnya, aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri.     

"Kumohon,"     

Aku tak mengerti, aku lelah hari ini dan ingin menumpahkan segalanya selepas tak sanggup kukendalikan diriku.     

"Aruna, aku mohon,"     

Kudengar suaranya bergetar, dan kurasakan tangannya menyusup ke dalam selimut. Dia mencari telapak tanganku. Aku tahu dia tersiksa atas tindakanku. Aku tahu dia berusaha keras menjadi yang terbaik versinya.     

Dia lelaki yang punya segalanya kecuali satu hal, yaitu kesempatan untuk bersantai.     

Jadi hari ini, aku hanya ingin tidur di bawah selimut ini, selepas berusaha keras selama dua hari menjadi seolah tak merasakan sakit, setelah pergulatanku dengan Rey.     

Dan kuharap, Hendra pun punya pemikiran yang sama denganku. Bergelung dalam selimut hangat, menikmati waktu bersama yang terasa semakin sulit untuk kami dapatkan.     

***     

"Mau kemana, opa?"     

"Kita lihat saja," jawaban Gayatri terdengar ringan. Matanya menatap kursi roda berjalan menuju pintu keluar utama.     

Kerutan samar tercipta dari pria ini, "Apa yang terjadi?" tanyanya, terlihat jelas dia diburu penasaran.     

"Oma tak menginginkan tetua Wiryo terlihat di rumah ini," jawaban yang mampu membuat kerutan—di dahi pria di sebelahnya—yang tadinya samar, kini menjadi dalam.      

"Bagaimana bisa?"     

"Tentu saja bisa," Gayatri berbalik, menepuk bahu putranya. Dia menanggalkan tatapannya dari kursi roda yang menghilang, berbeda dengan Mahendra yang melangkah membuntuti laju dua buah roda ditelan pintu.     

Hampir sampai Mahendra pada tujuannya, lelaki berjenggot yang mendorong kursi roda itu menoleh, sebab mendengar langkah kaki. Dia menggeleng, kemudian membuat sebuah tanda dengan tangan kanannya. Dia akan menjelaskan dengan menelepon Mahendra.     

Andos, bukan lelaki biasa dalam lingkungan keluarga ini. Dia banyak membantu. Dia juga mempunyai ketulusan yang sudah terbukti, walaupun kadang kala memiliki pemikiran tersendiri. Melihat tanda yang dikirim sekretaris kakeknya, Mahendra terdiam. Mengurungkan niatnya.     

Lelaki paruh baya itu telah sampai pada tangga teras rumah megah. Dia meminta kedua tangannya mendapatkan alat bantu jalan.     

Sekedar menatap dari balik jendela yang terlapisi gorden panjang, yang tersingkap sedikit oleh gerakan tangannya, pria bermata biru ini mengamati bagaimana kakeknya pergi. Memandang sekilas rumah megahnya, sebelum menghilang di balik mobil hitam legam.     

Dia membawa satu koper saja. Secara kasat mata, sesuatu yang tidak konkret di balik kepergiannya adalah nilai-nilai tak tertulisnya, budaya yang dia bangun dan tatanan kehidupan di rumah ini. Mahendra tidak mengerti kenapa dia bisa pergi.     

.     

.     

Menjadi hampa dan bingung akibat kepergian kakeknya yang cukup mencengangkan, Mahendra menemui istrinya. Dia kembali ke kamar mommynya. Mendekati perempuan yang tanpa sadar, sudah tersingkap separuh wajahnya dari balik selimut.     

Melepas sepatunya dan ikut terbaring di sisi perempuannya, Mahendra menarik selimut hati-hati supaya wajah Aruna terlihat secara menyeluruh.     

Meraba pelipis istrinya dan mulai menyisihkan rambut-rambut halus yang menutupi wajah sang istri, dia mendesah pelan. Lelaki bermata biru jengkel dengan isi kepalanya yang tak berkenan berhenti berpikir.     

'Mungkinkah seseorang jatuh cinta pada satu pasangan seumur hidupnya?' pria ini beranalogi, sebuah pemikiran fatal yang dia dapatkan dari kejadian omanya mengusir kakeknya sendiri.     

Mahendra masih meyakini sampai sekarang, bahwa satu-satunya yang bisa di banggakan dari keluarga ini adalah perjuangan dan kerelaan seorang perempuan bernama Sukma dalam mendampingi kehidupan sang kakek yang keras dan penuh tanggung jawab.     

Menikah dan hidup mendampingi seorang pria dengan tanggung jawab besar, sama beratnya. Dan sampai sejauh ini, ima Sukma terbukti bisa melewatinya. Kalau omanya kini menyerah, lalu bagaimana dengan perempuan muda di hadapannya?.     

Dunianya bukan lagi berantakan, kalau-kalau Aruna menghilang atau menyuruhnya pergi. Dia punya kehidupan normal dan mulai berani merajut harapan, sebab perempuan ini. Dia tak punya banyak teman. Kehidupannya sangat terbatas dan penuh dengan tekanan.     

Tapi itu bukan apa-apa. Sebab, tiap kali dia membayangkan untuk pulang dan melihat mata coklat itu menyipit sambil tersenyum hangat, runtuh sudah semua lelah yang dia rasa pada detik itu juga.     

"Apa yang kau pikirkan?," Mahendra bahkan tak sadar jika Aruna telah membuka mata.     

"Tak ada," dia menggeleng ringan. Merebahkan punggungnya pada permukaan empuk terselimuti selimut tebal biru muda, tangannya naik ke atas dan lengannya tanpa dia duga, diturunkan perempuan di sampingnya yang berangsur-angsur mendekat. Bergerak lambat meletakan kepalanya pada lengan suaminya, Aruna memeluk separuh tubuhnya.     

"Kau pikir aku bisa di bohongi?," ujar bibir mungil itu.     

Mata biru cemerlang menatap langit-langit, saat bibir Mahendra berujar, "Itu kata-kataku,"     

"Kau sedang gelisah," dia menggerakkan kepalanya, mencari kenyamanan untuk posisinya.     

"Sebab kau menangis," suara ini terdengar sesak, "Itu sangat menggelisahkan,"     

"Apa sesuatu di sini sesak?" Aruna meraba hem sang lelaki pada seputar dadanya.     

"Ya. Tentu saja," jujur Mahendra. Mendapati sebuah bibir ditarik lurus dan manik mata coklat terang yang menatapnya.     

"Perempuan kadang butuh menangis, saat dia lelah," jawaban seseorang yang menyembunyikan alasan khusus dibalik tangisannya, "Setelah menangis sembunyi-sembunyi, dia akan lega dan mendapat bonus merasa cantik,"     

Mahendra menyuguhkan tawa kecil saat mendengarkan kata 'cantik', "Tidak masuk akal," protesnya.     

"Kami menggunakan perasaan melebihi logika, jadi kami memang selalu tidak masuk akal," gurauan yang berdasar, "Kau sebaiknya membaca buku, Seni Memahami Perempuan," Aruna terkekeh di akhir kalimatnya.     

Dan, tanpa sadar, lelaki bermata biru ikut tersenyum. Perempuan yang meletakkan kepala di atas lengannya, tadi pagi terdapati marah meledak-ledak, lalu menangis tersedu-sedu dan sekarang, dia terkekeh ringan. Mungkin Mahendra memang harus membaca buku yang disarankan Aruna, Seni Memahami Perempuan.     

"Aku harus membeli buku itu secepat mungkin," wajahnya menampilkan ekspresi sok serius.     

"Sebelum putrimu lahir, dan kau harus menghadapi dua perempuan manja yang membuat isi kepalamu error, lalu meledak," Aruna bergerak naik dan tiba-tiba saja, perempuan itu menghadiahkan sebuah ciuman pada permukaan pipi.     

"Kau pikir kepalaku windows 98?," dia yang bicara menawarkan lesung pipi, sebab ada senyum di guratan wajahnya.     

"Yang, kalau menyimpan data eksternal pakai disket," Aruna tertawa ringan, selepas menambahkan kalimat ujaran Mahendra.     

"Supaya keren, CPU-nya diberi lampu warna-warni," sahut Mahendra, "Dia akan menyala seperti lampu klub malam, saat bekerja keras,"     

Tawa Aruna semakin lantang, "Benar juga, ya?" jawabnya, disela tawanya.     

"Memangnya kau tahu?," Mahendra menoleh pada istrinya, "Aku yakin, kau masih sangat kecil saat windows 98 tiba di Indonesia, atau jangan-jangan sudah menjadi pajangan museum barang antik,"     

"Aku tahu," jawabnya, setelah meredakan tawa, "Aku melihatnya di televisi," dia mengangkat bahunya saat mengatakan ini.     

"Kau bicara sambil berimajinasi, ya??" dia memberi tatapan menyelidik pada perempuan yang masih bergelayut manja di lengannya.     

"Bagaimana denganmu?," Aruna tak mau kalah, "Kau pun, pasti begitu"     

"Aku punya, apa kau—" kata-kata Mahendra dipotong lawan bicaranya.     

"Lupa, aku siapa?" sebab, Aruna menyambungnya.     

Dan, pria tersebut tak mengelak ketika dia mengkonfirmasi, "Aku sungguh-sungguh memilikinya,"     

"Tidak ada bukti, artinya mengigau," dia mengibaskan tangan ke udara, tanda tak percaya ucapan Mahendra.     

"Mau aku tunjukan?" si tuan muda tertantang menunjukan benda yang sedari tadi menjadi bahan obrolan remeh temeh mereka.     

Dan tanpa mereka sadari, suasana kamar yang awalnya beku, kini sudah mencair ketika Aruna tampak antusias menyambut ajakan Mahendra, "Boleh,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.